Senin, 08 Juni 2015

KEKUFURAN MEYAKINI ALLOH SWT BERTEMPAT

PERNYATAAN ULAMA AHLUSSUNNAH TENTANG KEKUFURAN ORANG YANG MENETAPKAN TEMPAT BAGI ALLAH

Oleh : ( Akhi fillah ) Nurul Huda Al-Junaidy Al-Jamby.

Berikut ini adalah adalah pernyataan para ulama Ahlussunnah dalam menetapkan kekufuran orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada pada tempat dan arah, seperti mereka yang menetapkan arah atas bagi- Nya, atau bahwa Dia berada di langit, atau berada di atas arsy, atau mereka yang mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat. Berikut nama ulama Ahlussunnah dengan pernyataan mereka di dalam karyanya masing-masing yang kita sebutkan di sini hanya sebagian kecil saja.

 

﴾﴾ 1 ﴿﴿

Al-Imâm al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi (w 150 H), al-Imâm agung perintis madzhab Hanafi, dalam salah satu karyanya berjudul al-Fiqh al-Absath menuliskan bahwa orang yang berkeyakinan Allah berada di langit telah menjadi kafir, beliau menuliskan sebagai berikut:

"من قال لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقد كفر، وكذا من قال إنه على العرش، ولا أدري العرش أفي السماء أو في الأرض "اهـ.

“Barangsiapa berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah ia berada di langit atau berada di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula telah menjadi kafir orang yang berkata: “Allah berada di atas arsy, dan saya tidak tahu apakah arsy berada di langit atau berada di bumi?!”
[al-Fiqh al-Absath, h. 12 (Lihat dalam kumpulan risalah al-Imâm Abu Hanifah yang di-tahqîq oleh al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari)]

 

﴾﴾ 2 ﴿﴿

Pernyataan al-Imâm Abu Hanifah di atas lalu dijelaskan oleh al-Imâm asy-Syaikh al-‘Izz ibn Abdissalam (w 660 H) dalam karyanya berjudul Hall ar-Rumûz sekaligus disepakatinya bahwa orang yang berkata demikian itu telah menjadi kafir, adalah karena orang tersebut telah menetapkan tempat bagi Allah. Al-Imâm al-Izz ibn Abdissalam menuliskan:

" لأن هذا القول يوهم أن للحق مكانا، ومن توهم أن للحق مكانا فهو مشبه " اهـ.

“Hal itu menjadikan dia kafir karena perkataan demikian memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat, dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka dia adalah seorang Musyabbih (Seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)”.
[Dikutip oleh asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 198]

 

﴾﴾ 3 ﴿﴿

Pemahaman pernyataan al-Imâm Abu Hanifah di atas sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imâm al-Izz ibn Abdissalam telah dikutip pula oleh asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari’ (w 1014 H) dalam karyanya Syarh al-Fiqh al-Akbar sekaligus disetujuinya. Tentang hal ini beliau menuliskan sebagai berikut:

"ولا شك أن ابن عبد السلام من أجل العلماء وأوثقهم، فيجب الاعتماد على نقله" اهـ.

“Tidak diragukan lagi kebenaran apa yang telah dinyatakan oleh al-Izz Ibn Abdissalam (dalam memahami maksud perkataan al-Imâm Abu Hanifah), beliau adalah ulama terkemuka dan sangat terpercaya. Dengan demikian wajib berpegang teguh dengan apa yang telah beliau nyatakan ini”.
[Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 198]
 

Pernyataan al-Imâm Abu Hanifah di atas seringkali disalahpahami oleh kaum Wahhabiyyah untuk menetapkan keyakinan mereka bahwa Allah bersemayam di atas arsy. Mereka berkata bahwa al-Imâm Abu Hanifah telah sangat jelas menetapkan bahwa Allah bertempat di atas arsy. Sandaran mereka dalam pemahaman yang tidak benar ini adalah Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah; murid Ibn Taimiyah. Ibn al-Qayyim mencari-cari siapa di antara ulama Salaf yang menetapkan akidah tasybîh untuk menguatkan akidahnya sendiri dan akidah gurunya; Ibn Taimiyah, tapi ternyata ia tidak mendapatkan siapapun kecuali pernyataan beberapa orang yang telah disepakati oleh para ulama Salaf sendiri sebagai orang -orang yang sesat. Lalu Ibn al-Qayyim mendapatkan perkataan al-Imâm Abu Hanifah di atas, dan kemudian ia “pelintir” pemahamannya agar sejalan dengan akidah tasybîh-nya, dengan demikian ia dapat berpropaganda bahwa akidah sesatnya adalah akidah yang telah diyakini para ulama Salaf. Silahkan anda baca kembali dari buku ini dalam pembahasan bantahan terhadap Ibn al-Qayyim yang telah mengklaim akidah tasybîh sebagai akidah al-Imâm Abu Hanifah.

 

﴾﴾ 4 ﴿﴿

Al-Imâm al-Hâfizh al-Faqîh Abu Ja’far ath-Thahawi (w 321 H) dalam risalah akidahnya; al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, yang sangat terkenal sebagai risalah akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, menuliskan sebagai berikut:

"ومن وصف الله بمعنى من معاني البشر فقد كفر" اهـ.

“Barangsiapa mensifati Allah dengan satu sifat saja dari sifat-sifat manusia maka orang ini telah menjadi kafir”.
[Lihat matan al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah dengan penjelasannya; Izh-hâr al-‘Aqîdah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah karya al-Hâfizh al-Habasyi, h. 124]

  

﴾﴾ 5 ﴿﴿

Salah seorang sufi terkemuka, al-‘Ârif Billâh al-Imâm Abu al-Qasim al-Qusyairi (w 465 H) dalam karya fenomenalnya berjudul ar-Risâlah al-Qusyairiyyah menuliskan sebagai berikut:

"سمعت الإمام أبا بكر ابن فورك رحمه الله تعالى يقول: سمعت أبا عثمان المغربي يقول: كنت اعتقد بشيء من حديث الجهة، فلما قدمت بغداد زال ذلك عن قلبي فكتبت الى اصحابنا بمكة: إني أسلمت الآن إسلاما جديدًا" اهـ.

“Aku telah mendengar al-Imâm Abu Bakr ibn Furak berkata: Aku telah mendengar Abu Utsman al-Maghribi berkata: Dahulu aku pernah berkeyakinan sedikit tentang adanya arah bagi Allah, namun ketika aku masuk ke kota Baghdad keyakinan itu telah hilang dari hatiku. Lalu aku menulis surat kepada teman-temanku yang berada di Mekah, aku katakan kepada mereka bahwa aku sekarang telah memperbaharui Islamku”.
[ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 5]

﴾﴾ 6 ﴿﴿

Teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah al-Imâm Abu al-Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-Nasafi al-Hanafi (w 508 H) dalam kitab Tabshirah al-Adillah menuliskan sebagai berikut:

"والله تعالى نفى المماثلة بين ذاته وبين غيره من الأشياء، فيكون القول باثبات المكان له ردا لهذا النص المحكم- أي قوله تعالى ﴿ليس كمثله شيء﴾ - الذي لا احتمال فيه لوجهٍ ما سوى ظاهره، ورادُّ النص كافر، عصمنا الله عن ذلك" اهـ.

“Allah telah menafikan keserupaan antara Dia sendiri dengan segala apapun dari makhluk-Nya. Dengan demikian pendapat yang menetapkan adanya tempat bagi Allah adalah pendapat yang telah menentang ayat muhkam; yaitu firman-Nya: “Laysa Kamitslihi Syai’” (QS. asy-Syura: 11). Ayat ini sangat jelas pemaknaannya dan tidak dimungkinkan memiliki pemahaman lain (takwil). Dan barangsiapa menentang ayat-ayat al-Qur’an maka ia telah menjadi kafir. Semoga Allah memelihara kita dari kekufuran”.
[Tabshirah al-Adillah Fî Ushûliddîn, j. 1, h. 169]

﴾﴾ 7 ﴿﴿

Asy-Syaikh al-‘Allâmah Zainuddin Ibn Nujaim al-Hanafi (w 970 H) dalam karyanya berjudul al-Bahr ar-Râ-iq Syarh Kanz ad-Daqâ-iq berkata:

ويكفر باثبات المكان لله تعالى، فإن قال: الله في السماء، فإن قصد حكاية ما جاء في ظاهر الأخبار لا يكفر، وإن أراد المكان كفر

“Dan seseorang menjadi kafir karena berkeyakinan adanya tempat bagi Allah. Adapun jika ia berkata “Allâh Fi as-Samâ’” untuk tujuan meriwayatkan apa yang secara zhahir terdapat dalam beberapa hadits maka ia tidak kafir. Namun bila ia berkata demikian untuk tujuan menetapkan tempat bagi Allah maka ia telah menjadi kafir”.
[al-Bahr ar-Râ-iq, j. 5, h. 129]

﴾﴾ 8 ﴿﴿

Asy -Syaikh al-‘Allâmah Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad al-Mishri asy - Syafi’i al-Asy’ari (w 974 H) yang lebih dikenal dengan nama Ibn Hajar al- Haitami dalam karyanya berjudul al-Minhâj al-Qawîm ‘Alâ al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah menuliskan sebagai berikut:

"واعلم أن القَرَافي وغيره حكوا عن الشافعي ومالك وأحمد وأبي حنيفة رضي الله عنهم، القول بكفر القائلن بالجهة والتجسيم، وهم حقيقون بذلك" اهـ.

“Ketahuilah bahwa al-Qarafi dan lainnya telah meriwayatkan dari al- Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm Malik, al- Imâm Ahmad dan al-Imâm Abu Hanifah bahwa mereka semua sepakat mengatakan bahwa seorang yang menetapkan arah bagi Allah dan mengatakan bahwa Allah adalah benda maka orang tersebut telah menjadi kafir. Mereka semua (para Imam madzhab) tersebut telah benar-benar menyatakan demikian”.
[al-Minhâj al-Qawîm ‘Alâ al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah, h. 224]

 
﴾﴾ 9 ﴿﴿

Dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar yang telah disebutkan di atas, asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari menuliskan sebagai berikut:

"فمن أظلم ممن كذب على الله أو ادعى ادعاء معينا مشتملا على اثبات المكان والهيئة والجهة من مقابلة وثبوت مسافة وأمثال تلك الحالة، فيصير كافرا لا محالة) اهـ.

“Maka barangsiapa yang berbuat zhalim dengan melakukan kedustaan kepada Allah dan mengaku dengan pengakuan-pengakuan yang berisikan penetapan tempat bagi-Nya, atau menetapkan bentuk, atau menetapkan arah; seperti arah depan atau lainnnaya, atau menetapkan jarak, atau semisal ini semua, maka orang tersebut secara pasti telah menjadi kafir”.
[Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 215]

Masih dalam kitab yang sama, asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari juga menuliskan sebagai berikut:

من اعتقد أن الله لا يعلم الأشياء قبل وقوعها فهو كافر وان عد قائله من أهل البدعة، وكذا من قال: بأنه سبحانه جسم وله مكان ويمر عليه زمان ونحو ذلك كافر، حيث لم تثبت له حقيقة ا لإيمان " اهـ.

“Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah tidak mengetahui segala sesuatu sebelum kejadiannya maka orang ini benar-benar telah menjadi kafir, sekalipun orang yang berkata semacam ini dianggap ahli bid’ah saja. Demikian pula orang yang berkata bahwa Allah adalah benda yang memiliki tempat, atau bahwa Allah terikat oleh waktu, atau semacam itu, maka orang ini telah menjadi kafir, karena tidak benar keyakinan iman - yang ada pada dirinya-”109.
[Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 271-272]

Dalam kitab karya beliau lainnya berjudul Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Syaikh Ali Mulla al-Qari’ menuliskan sebagai berikut:

"بل قال جمع منهم- أي من السلف- ومن الخلف إن معتقد الجهة كافر كما صرح به العراقي، وقال: إنه قول لأبي حنيفة ومالك والشافعي والأشعري والباقلاني " اهـ.

“Bahkan mereka semua (ulama Salaf) dan ulama Khalaf telah menyatakan bahwa orang yang menetapkan adanya arah bagi Allah maka orang ini telah menjadi kafir, sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh al-Iraqi. Beliau (al-Iraqi) berkata: Klaim kafir terhadap orang yang telah menetapkan arah bagi Allah tersebut adalah pernyataan al-Imâm Abu Hanifah, al-Imâm Malik, al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm al-Asy’ari dan al-Imâm al-Baqillani”.
[Mirqât al-Mafâtîh, j. 3, h. 300]

﴾﴾ 10 ﴿﴿

Asy-Syaikh al-‘Allâmah Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H) dalam karyanya berjudul Isyârât al-Marâm Min ‘Ibârât al-Imâm, sebuah kitab akidah dalam menjelaskan perkataan-perkataan al-Imâm Abu Hanifah, menuliskan sebagai berikut:

الشيخ العلامة كمال الدين البياضي الحنفي (1098 هـ) في شرح كلام الإمام أبي حنيفة ما نصه : "فقال- أي أبو حنيفة- (فمن قال: لا أعرف ربي أفي السماء أم في الأرض فهو كافر) لكونه قائلا باختصاص البارىء بجهة وحيز وكل ما هو مختص بالجهة والحيز فإنه محتاج محدث بالضرورة، فهو قول بالنقص الصريح في حقه تعالى (كذا من قال إنه على العرش ولا أدري العرش أفي السماء أم في الأرض) لاستلزامه القول باختصاصه تعالى بالجهة والحيز والنقص الصريح في شأنه سيما في القول بالكون في الأرض ونفي العلو عنه تعالى بل نفي ذات الإله المنزه عن التحيز ومشابهة الأشياء. وفيه اشارات:

الأولى: ان القائل بالجسمية والجهة مُنكر وجود موجود سوى الأشياء التي يمكن الإشارة اليها حسّا، فمنهم منكرون لذات الإله المنزه عن ذلك، فلزمهم الكفر لا محالة. واليه أشار بالحكم بالكفر.

الثانية: اكفار من أطلق التشبيه والتحيز، وإليه أشار بالحكم المذكور لمن اطلقه، واختاره الإمام الأشعري، فقال في النوادر: من اعتقد أن الله جسم فهو غير عارف بربه لانه كافر به، كما في شرح الإرشاد لأبي القاسم الأنصاري"اهـ.

“Beliau (al-Imâm Abu Hanifah) berkata: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau berada di bumi maka orang ini telah menjadi kafir”. Hal ini karena orang yang berkata demikian telah menetapkan tempat dan arah bagi Allah. Dan setiap sesuatu yang memiliki tempat dan arah maka secara pasti ia adalah sesuatu yang baharu (yang membutuhkan kepada yang menjadikannya pada tempat dan arah tersebut). Pernyataan semacam itu jelas merupakan cacian bagi Allah. Beliau (al-Imâm Abu Hanifah) berkata: “Demikian pula menjadi kafir orang yang berkata: “Allah berada di atas arsy , namun saya tidak tahu arsy, apakah berada di langit atau berada di bumi”. Hal ini karena orang tersebut telah menetapkan adanya tempat bagi Allah, menetapkan arah, juga menetapkan sesuatu yang nyata sebagai kekurangan bagi Allah, terlebih orang yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas, atau menfikan keagungan-Nya, atau menafikan Dzat Allah yang suci dari arah dan tempat, atau mengatakan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya. Dalam hal ini terdapat beberapa poin penting:

- Pertama: Orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah bentuk yang memiliki arah maka orang ini sama saja dengan mengingkari segala sesuatu yang ada kecuali segala sesuatu tersebut dapat diisyarat (dengan arah) secara indrawi. Dengan demikian orang ini sama saja dengan mengingkari Dzat Allah yang maha suci dari menyerupai makhluk-Nya. Oleh karena itu orang semacam ini secara pasti adalah seorang yang telah kafir. Inilah yang diisyaratkan oleh al-Imâm Abu Hanifah dalam perkataannya di atas.

- Kedua: Pengkafiran terhadap orang yang menetapkan adanya keserupaan dan tempat bagi Allah. Inilah yang diisyaratkan oleh al-Imâm Abu Hanifah dalam perkataannya di atas, dan ini berlaku umum. (Artinya yang menetapkan keserupaan dan tempat apapun bagi Allah maka ia telah menjadi kafir). Dan ini pula yang telah dipilih oleh al-Imâm al-Asy’ari, sebagaimana dalam kitab an-Nawâzdir beliau (al-Imâm al-Asy’ari) berkata: “Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah benda maka orang ini tidak mengenal Tuhannya dan ia telah kafir kepada-Nya”. Sebagaimana hal ini juga dijelaskan dalam kitab Syarh al-Irsyâd karya Abu al-Qasim al-Anshari”
(Isyârât al-Marâm, h. 200)

 

﴾﴾ 11 ﴿﴿

Asy-Syaikh al-‘Allâmah Abdul Ghani an-Nabulsi al-Hanafi (w 1143 H) dalam karyanya berjudul al-Fath ar-Rabbâny Wa al-Faydl ar-Rahm âny menuliskan sebagai berikut:

"وأما اقسام الكفر فهي بحسب الشرع ثلاثة أقسام ترجع جميع أنواع الكفر اليها، التشبيه، والتعطيل، والتكذيب... وأما التشبيه: فهو الاعقاد ان الله تعالى يشبه شيئا من خلقه، كالذين يعتقدون أن الله تعالى جسم فوق العرش، أو يعتقدون أن له يدين بمعنى الجارحتين، وأن له الصورة الفلانية أو على الكيفية الفلانية، أو أنه نور يتصوره العقل، أو أنه في السماء أو في جهة من الجهات الست، أو أنه في مكان من الاماكن، او في جميع الأماكن، أو أنه ملأ السموات والأرض، أو أن له حلول في شىء من الأشياء، أو في جميع الأشياء، أو أنه متحد بشىء من الاشياء، أو في جميع الأشياء، أو أن الأشياء منحلة منه، أو شيئا منها. وجميع ذلك كفر صريح والعياذ بالله تعالى، وسببه الجهل بمعرفة الامر غلى ما هو عليه" اهـ.

“Kufur dalam tinjauan syari’at terbagi kepada tiga bagian. Segala macam bentuk kekufuran kembali kepada tiga macam kufur ini, yaitu at-Tasybîh (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Ta’thil (menafikan Allah atau sifat-sifat-Nya), dan at- Takdzib (mendustakan). Adapun at-Tasybîh adalah keyakinan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya , seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy, atau yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki dua tangan dalam pengertian anggota badan, atau bahwa Allah berbentuk seperti si fulan atau memiliki sifat seperti sifat -sifat si fulan, atau bahwa Allah adalah sinar yang dapat dibayangkan dalam akal, atau bahwa Allah berada di langit, atau barada pada semua arah yang enam atau pada suatu tempat atau arah tertentu dari arah-arah tersebut, atau bahwa Allah berada pada semua tempat, atau bahwa Dia memenuhi langit dan bumi, atau bahwa Allah berada di dalam suatu benda atau dalam seluruh benda, atau berkeyakinan bahwa Allah menyatau dengan suatu benda atau semua benda , atau berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang terpisah dari Allah, semua keyakinan semacam ini adalah keyakinan kufur. Penyebab utamanya adalah karena kebodohan terhadap kewajiban yang telah dibebankan oleh syari’at atasnya”
(al-Fathar-Rabbâny, h. 124)
 

﴾﴾ 12 ﴿﴿

Asy-Syaikh al -‘Allâmah Muhammad ibn Illaisy al -Maliki (w 1299 H) dalam menjelaskan

perkara-perkara yang dapat menjatuhkan seseorang di dalam kekufuran dalam kitab Minah al-Jalîl Syarh Mukhtashar al-Khalîl menuliskan sebagai berikut:

"وكاعتقاد جسمية الله وتحيزه، فانه يستلزم حدوثه واحتياجه لمحدث" اهـ.

“Contohnya seperti orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda atau berkayakinan bahwa Allah berada pada arah. Karena pernyataan semacam ini sama saja dengan menetapkan kebaharuan bagi Allah, dan menjadikan-Nya membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya dalam kebaharuan tersebut”.
[Minah al-Jalîl, j. 9, h. 206]
 

﴾﴾ 13 ﴿﴿

Al-‘Allâmah al-Muhaddits al -Faqîh asy-Syaikh Abul Mahasin Muhammad al -Qawuqji ath-Tharabulsi al-Hanafi (w 1305 H) dalam risalah akidah berjudul al-I’timâd Fî al-I’tiqâd menuliskan sebagai berikut:

"ومن قال لا أعرف الله في السماء هو أم في الأرض كفر- لأنه جعل أحدهما له مكانا"اهـ.

“Barangsiapa berkata: “Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau berada di bumi”; maka orang ini telah menjadi kafir. (Ini karena ia telah menetapkan tempat bagi Allah pada salah satu dari keduanya)”.
[al-I’timâd Fî al-I’tiqâd, h. 5] 

﴾﴾ 14 ﴿﴿

Dalam kitab al-Fatâwâ al-Hindiyyah, sebuah kitab yang memuat berbagai fatwa dari para ulama Ahlussunnah terkemuka di daratan India, tertulis sebagai berikut:

"يكفر باثبات المكان لله تعالى. ولو قال: الله تعالى في السماء فإن قصد له حكاية ما جاء فيه ظاهر الأخبار لا يكفر وإن أراد به المكان يكفر" اهـ.

“Seseorang menjadi kafir karena menetapkan tempat bagi Allah. Jika ia berkata Allâh Fi as-Samâ’ untuk tujuan meriwayatkan lafazh-Zhahir dari beberapa berita (hadits) yang datang maka ia tidak menjadi kafir. Namun bila ia berkata demikian untuk tujuan menetapkan bahwa Allah berada di langit maka orang ini menjadi kafir”.
[al-Fatâwâ al-Hindiyyah, j. 2, h. 259]

﴾﴾ 15 ﴿﴿

Asy-Syaikh Mahmud ibn Muhammad ibn Ahmad Khaththab as-Subki al-Mishri (w 1352 H) dalam kitab karyanya berjudul Ithâf al-Kâ-inât Bi Bayân Madzhab as-Salaf Wa al-Khalaf Fi al-Mutasyâbihât, menuliskan sebagai berikut:

"سألني بعض الراغبين في معرفة عقائد الدين والوقوف على مذهب السلف والخلف في المتشابه من الآيات والأحاديث بما نصه: ما قول السادة العلماء حفظهم الله تعالى فيمن يعتقد أن الله عز وجل له جهة وأنه جالس على العرش في مكان مخصوص ويقول ذلك هو عقيدة السلف ويحمل الناس على أن يعتقدوا هذا الاعتقاد، ويقول لهم: من لم يعتقد ذلك يكون كافرا مستدلا بقوله تعالى: ﴿الرحمن على العرش استوى ﴾ وقوله عز و جلّ ﴿ءأمنتم من السماء ﴾ (سورة الملك/۱۱) أهذا الأعتقاد صحيح ام باطل ؟وعلى كونه باطلا أيكفر ذلك القائل باعتقاده المذكور ويبطل كل عمله من صلاة وصيام وغير ذلك من الأعمال الدينية وتبين منه زوجته، وإن مات على هذه الحالة قبل أن يتوب لا يغسل ولا يدفن في مقابر المسلمين، وهل من صدقه في ذلك كافرا مثله؟ فأجبت بعون الله تعالى، فقلت: بسم الله الرحمن الحمد لله الهادي إلى الصواب، والصلاة والسلام على من أوتي الحكمة وفصل الخطاب، وعلى ءاله وأصحابه الذين هداهم الله ورزقهم التوفيق والسداد. أما بعد: فالحكم أن هذا الاعتقاد باطل ومعتقد كافر باجماع من يعتد به من علماء المسلمين، والدليل العقلي على ذلك قِدَم الله تعالى ومخالفته للحوادث، والنقلي قوله تعالى: ﴿ليس كمثلهء شيء وهو السميع البصير ﴾، فكل من اعتقد أنه تعالى حل في مكان أو اتصل به شىء من الحوادث كالعرش أو الكرسي أو السماء أو الأرض او غير ذلك فهو كافر قطعا، ويبطل جميع عمله من صلاة وصيام وحج وغير ذلك وتبين منه زوجه، ووجب عليه أن يتوب فورا، واذا مات على هذا الاعتقاد والعياذ بالله تعالى لا يغسل ولا يصلى عليه ولا يدفن في مقابر المسلمين، ومثله في ذلك كله من صدقه في اعتقاده أعاذنا الله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا. وأما حمله الناس على ان يعتقدوا هذا الاعتقاد المكفر، وقوله لهم: من لم يعتقد ذلك يكون كافرا، فهو كفر وبهتان عظيم" ا هـ.

“Telah berkata kepadaku sebagian orang yang menginginkan penjelasan tentang dasar-dasar akidah agama dan ingin berpijak di atas pijakan para ulama Salaf dan ulama Khalaf dalam memahami teks-teks Mutasyâbihât, mereka berkata: Bagaimana pendapat para ulama terkemuka tentang hukum orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada pada arah, atau bahwa Dia duduk satu tempat tertentu di atas arsy, lalu ia berkata: Ini adalah akidah salaf, kita harus berpegang teguh dengan keyakinan ini. Ia juga berkata: Barangsiapa tidak berkeyakinan Allah di atas arsy maka ia telah menjadi kafir. Ia mengambil dalil untuk itu dengan firman Allah: “ar-Rahmân ‘Alâ al-‘Arsy Istawâ” (QS. Thaha: 5) dan firman-Nya: “A-amintum Man Fî as-Samâ’ (QS. al-Mulk: 16). Orang yang berkeyakinan semacam ini benar atau batil? Dan jika keyakinannya tersebut batil, apakah seluruh amalannya juga batil, seperti shalat, puasa, dan lain sebagainya dari segala amalan-amalan keagamaannya? Apakah pula menjadi tertalak pasangannya (suami atau istrinya)? Apakah jika ia mati dalam keyakinannya ini dan tidak bertaubat dari padanya, ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dimakamkan di pemakaman kaum muslimin? Kemudian seorang yang membenarkan keyakinan orang semacam itu, apakah ia juga telah menjadi kafir?

Jawaban yang aku tuliskan adalah sebagai berikut: Bismillâh ar-Rahmân ar-Rahîm. Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Keyakinan semacam ini adalah keyakinan batil, dan hukum orang yang berkeyakinan demikian adalah kafir, sebagaimana hal ini telah menjadi Ijma’ (konsensus) ulama terkemuka. Dalil akal di atas itu adalah bahwa Allah maha Qadim; tidak memiliki permulaan, ada sebelum segala makhluk, dan bahwa Allah tidak menyerupai segala makhluk yang baharu tersebut (Mukhâlafah Li al-Hawâdits). Dan dalil tekstual di atas itu adalah firman Allah: “Laysa Kamitaslihi Syai’” (QS. asy-Syura: 11). Dengan demikian orang yang berkayakinan bahwa Allah berada pada suatu tempat, atau menempel dengannya, atau menempel dengan sesuatu dari makhluk-Nya seperti arsy, al-kursy, langit, bumi dan lainnya maka orang semacam ini secara pasti telah menjadi kafir. Dan seluruh amalannya menjadi sia-sia, baik dari shalat, puasa, haji dan lainnya. Demikian pula pasangannya (suami atau istrinya) menjadi tertalak. Ia wajib segera bertaubat dengan masuk Islam kembali (dan melepaskan keyakinannnya tersebut). Jika ia mati dalam keyakinannya ini maka ia tidak boleh dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dimakamkan dipemakaman orang-orang Islam. Demikian pula menjadi kafir dalam hal ini orang yang membenarkan keyakinan batil tersebut, semoga Allah memelihara kita dari pada itu semua. Adapun pernyataannya bahwa setiap orang wajib berkeyakinan semacam ini, dan bahwa siapapun yang tidak berkeyakinan demikian adalah sebagai seorang kafir maka itu adalah kedustaan belaka, dan sesungguhnya justru penyataannya yang merupakan kekufuran”.
[Ithâf al-Kâ’inât, h. 3-4]

 

﴾﴾ 16 ﴿﴿

Al-Muhaddits al-‘Allâmah asy-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari (w 1371 H), Wakil perkumpulan para ulama Islam pada masa Khilafah Utsmaniyyah Turki menuliskan:

"إن القول بإثبات الجهة له تعالى كفر عند الأئمة الأربعة هداة الأمة كما نقل عنهم العراقي على ما في "شرح المشكاة" لعلي القاري " اهـ.

“Perkataan yang menetapkan bahwa Allah berada pada tempat dan arah adalah kakufuran. Ini sebagaimana dinyatakan oleh para Imam madzhab yang empat, seperti yang telah disebutkan oleh al-Iraqi -dari para Imam madzhab tersebut- dalam kitab Syarh al-Misykât yang telah ditulis oleh asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari”.
[Maqâlât al-Kautsari, h. 321]

 

﴾﴾ 17 ﴿﴿

al-Muhaddits al-Faqîh al- Imâm al -‘Allâmah asy-Syaikh Abdullah al-Harari yang dikenal dengan sebutan al-Habasyi dalam banyak karyanya menuliskan bahwa orang yang berkeyakinan Allah berada pada tempat dan arah maka ia telah menjadi kafir, di antaranya beliau sebutkan dalam karyanya berjudul ash-Shirâth al-Mustaqîm sebagai berikut:

قال العلامة الشيخ المحدث الفقيه عبد الله الهرري المعروف بالحبشي حفظه الله ما نصه : "وحكم من يقول: (إن الله تعالى في كل مكان أو في جميع الأماكن) التكفير إذا كان يفهم من هذه العبارة أن الله بذاته منبثٌّ أو حالٌّ في الأماكن، أما إذا كان يفهم من هذه العبارة أنه تعالى مسيطر على كل شيء وعالم بكل شىء فلا يكفر. وهذا قصد كثير ممن يلهج بهاتين الكلمتين، ويجب النهي عنهما في كل حال " اهـ.

“Hukum orang yang berkata: “Allâh Fi Kulli Makân” atau berkata “Allâh Fi Jami’ al-Amâkin” (Allah berada pada semua tempat) adalah dikafirkan; jika ia memahami dari ungkapannya tersebut bahwa Dzat Allah menyebar atau menyatu pada seluruh tempat. Adapun jika ia memahami dari ungkapannya tersebut bahwa Allah menguasai segala sesuatu dan mengetahui segala sesuatu maka orag ini tidak dikafirkan. Pemahaman yang terakhir ini adalah makna yang dimaksud oleh kebanyakan orang yang mengatakan dua ungkapan demikian. Namun begitu, walau bagaimanapun dan dalam keadaan apapun kedua ungkapan semacam ini harus dicegah”.
[ash-Shirât al-Mustaqîm, h. 26]

Dalam kitab yang sama, al-Imâm al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah juga menuliskan sebagai berikut:

وقال أيضا : "ويكفر من يعتقد التحيز لله تعالى، أو يعتقد أن الله شىء كالهواء أو كالنور يملأ مكانا أو غرفة أو مسجدا، ونسمي المساجد بيوت الله لا لأن الله يسكنها بل لأنها أماكن يعبد الله فيها. وكـذلك يكفر من يقول (الله يسكن قلوب أوليائه) إن كان يفهم الحلول. وليس المقصود بالمعراج وصول الرسول إلى مكان ينتهي وجود الله تعالى إليه ويكفر من اعتقد ذلك، إنما القصد من المعراج هو تشريف الرسول- صلّى الله عليه و سلّم- باطلاعه على عجائب في العالم العلوي، وتعظيم مكانته ورؤيته للذات المقدس بفؤاده من غير أن يكون الذات في مكان " اهـ.

“Orang yang berkeyakinan Allah berada pada tempat maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda seperti udara, atau seperti sinar yang menempati suatu tempat, atau menempati ruangan, atau menempati masjid. Adapaun bahwa kita menamakan masjid-masjid dengan “Baitullâh” (rumah Allah) bukan berarti Allah bertempat di dalamnya, akan tetapi dalam pengertian bahwa masjid-masjid tersebut adalah tempat menyembah (beribadah) kapada Allah. Demikian pula menjadi kafir orang yang berkata: “Allâh Yaskun Qulûb Awliyâ-ih” (Allah bertempat di dalam hati para wali-Nya) jika ia berpaham hulûl. Adapun maksud dari Mi’raj bukan untuk tujuan Rasulullah sampai ke tempat di mana Allah berada padanya. Orang yang berkeyakinan semacam ini maka ia telah menjadi kafir. Sesungguhnya tujuan Mi’raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dengan diperlihatkan kepadanya akan keajaiban-keajaiban yang ada di alam atas, dan untuk tujuan mengagungkan derajat Rasulullah dengan diperlihatkan kepadanya akan Dzat Allah yang maha suci dengan hatinya dari tanpa adanya Dzat Allah tersebut pada tempat”. [Ibid].

Wallohu a'lamu bisshowab.

Danny Ma'shoum, Sidoarjo 9 Juni 2015

Minggu, 07 Juni 2015

PETUAH DARI KEBUN MAWAR

PETUAH - PETUAH DARI KEBUN MAWAR SYAIKH SA'DI SYIROZY.
BAGIAN 1.
Nukilan Petuah, nasehat, peringatan, syair, fragmen maupun hikayat Syaikh Sa'di Asy-Syirozy dibawah ini saya terjemahkan secara bebas dari kitabnya yang berjudul   " كلستان - روضة الورد ( Kalistan - Kebun Mawar ).
حكاية
حكي عن بعض الملوك انه ركب سفينة وبصحبتة غلام اعجمي لم ير البحر اصلا ولم يجرب محنة السفينة فابتدأ يصرخ ويئن وقد تهافت علي نفسه وهو يرتعد من الفرق وبمقدار مالاطفه الناس لم يستقر له قرار فتنغص عيش الملك حيث اعيته به الحيلة وصادف ان كان في تلك السفينة حكيم فقال للملك اذا امرت فانني سأسكته فأجابه الملك تكون بذلك قد بلغت غاية اللطف . فأمر بان يلقي الغلام في البحر فتقاذفته الأمواج حتى اذا اشفى علي الهلاك امر ان يجذب من شعره الي السفينة فتشبث الغلام بكلتا يديه بسكانها ولما احس انه اصبح على سطحها جلس منزويا واستقر آمنا . فكبر عند ئذ تدبير الحكيم بعين الملك وسأله ان يوضح له السبب فقال : ان الغلام يا سيدي لم يتجرع قبل غصة الغرق حتى يعرف قدر السلامة في السفينة وكذالك لا يعرف احد قيمة العافية من النوائب مالم تمر علي رأسه المصائب وتحنكه التجارب .
( كلستان، روضة الورد  ص. ٤٠ )
HIKAYAT
" Suatu kala ada seorang raja melakukan tamasya. Seorang pemuda yang belum punya pengalaman ikut diantara mereka yang menemani beliau. Ia belum pernah berlayar dan gentar pada hamparan lautan luas sampai pemuda tersebut menangis, dan orang-orang pun berusaha menenangkannya. Suasana darma wisata pun menjadi kacau karena tangisan pemuda tersebut yang tak mau diam, dan Raja pun menjadi gusar.
Didalam kapal terdapat juga seorang yang bijak. Ia memohon kepada Raja agar memperkenankannya menyadarkan pemuda tersebut. Setelah Raja memberinya izin, si Bijak tersebut lantas menyuruh awak kapal agar melemparkan pemuda tersebut kedalam lautan.
Akan halnya si pemuda, betapapun ia berusaha sekuat tenaga mengapung dengan berpegang pada sebuah rakit, pada akhirnya ia dibolehkan bergelayut pada buritan kapal, dan beberapa saat kemudian ia ditarik kedalam kapal.
Ketika ia berada dalam kapal, ia pun duduk dengan tenang dan nyaman. Raja pun senang dengan tindakan si Bijak, dan memintanya bicara didepan orang banyak. Si Bijak itu berkata, " Anak muda ini kurang menghargai keamanan didalam kapal tanpa pernah dihadapkan pada bahaya maut didalam lautan. Orang-orang pada umumnya tidak menghargai nilai kesehatan sampai mereka menjadi sakit ".  [ Kalistan, Roudhotul Wardi ( Kebun Mawar ), Hal. 40 ]
حكاية
حكوا ان ملكا قليل الإنصاف سأل عابدا : " اي العبادات افضل ؟  فاجاب به : نوم نصف النهار ، حتى تستريح الخلق من أذاك في تلك الفترة من الزمان .
( كلستان، روضة الورض   ص ٤٥ )
HIKAYAT
Seorang raja yang tidak adil bertanya kepada seorang ahli ibadah : " Manakah jenis ibadah yang lebih utama ?". Maka dijawab oleh si ahli ibadah, " Jenis ibadah yang lebih utama adalah tidur sampai tengah hari agar paling tidak selama dalam jangka waktu itu hamba-hamba paduka selamat dari ketidak adilan paduka ".  [ Kalistan, Roudhotul Wardi ( Kebun Mawar ), Hal. 45 ]
حكمة
كل شيئ يأتى عاجلا لا يمكن ان يثبت على الزمن
HIKMAH.
" Segala sesuatu yang datangnya seketika, tidak mungkin bisa diprediksi waktunya ".
[ Kalistan - Roudhotul Ward, Hal. 273 ]
تربية
المتكلم ما دام لم ينبهه احد على عيوبه فكلامه لا يقبل الصلاح في أسلوبه
TARBIYAH.
" Seorang pembicara itu, selama belum mampu mengingatkan seseorang atas kekeliruannya, maka perkataannya tidak dapat mendatangkan kemanfaatan pada gaya bahasanya ".
[ Kalistan - Roudhotul Ward, Hal. 270 ]
تنبيه
ليس كل من يرغب فى المجادلة يكون مستقيما فى المعاملة
PERINGATAN.
" Setiap orang yang sangat berhasrat dalam  perdebatan, tidak akan bisa menjadi orang yang konsekwen dalam berperilaku ".
[ Kalistan - Roudhotul Ward, Hal. 276 ]
حكمة
لو ان الليالي كلها ليلة القدر لما كان اي قدر لليلة القدر
HIKMAH.
" Seandainya seluruh malam adalah malam lailatul Qodar, maka manakala terjadi tiap-tiap peruntungan, padanyalah lailatul qodar ".
[ Kalistan - Roudhotul Ward, Hal. 276 ]
حكمة
ليس كل من هو حسن الصورة يكون حسن السريرة اذ القيمة باللب بالقشور
HIKMAH.
" Tidak semua yang bagus bentuknya itu menunjukkan bagusnya kepribadian ( batin ) nya, sedangkan penilaian pada hati nurani ( batin ) itu hanya dengan cara mengupasnya ( meneliti dengan jeli ) ".
[ Kalistan - Roudhotul Ward, Hal. 277 ]
نصيحة
ملاكمة الاسد ومصادمة الحسام ليستا من عمل العقلاء
NASEHAT.
" pukulan ( menyerang ala ) singa dan tebasan pedang, keduanya bukan merupakan ( cara ) penyelesaian orang-orang yang berakal sehat ".
[ Kalistan - Roudhotul Ward, Hal. 278 ].
كل من لم يأكل الناس خبزه في حياته لا يذكرون اسمه بعد مماته
( كلستان، روضة الورد  ص ٢٨٦ )
" Setiap orang yang dimana manusia tidak mau memakan ( menerima ) roti ( pemberian ) nya selama hidupnya, maka mereka tidak akan mengenang namanya setelah kematiannya ". [ Kalistan, Roudhotul Wardi ( Kebun Mawar ), Hal. 286 ].
بيت
اغلق على الدار ابواب السرور اذا       صوت النساء تعالى في نواحيها
BAIT
" Tertutup sudah pintu kebahagiaan dalam sebuah rumah , jika suara wanita meninggi dalam ratapannya ".  [ Kalistan, Roudhotul Wardi ( Kebun Mawar ), Hal. 284 ]
تشبيه :  التلميذ بلا ارادة عاشق بلا ذهب ، والسائح بلا معرفة طائر بلا جناح ، والعالم بلا عمل شجرة بلا ثمر ، والزاهد بلا علم دار بلا باب .
( كلستان، روضة الورد  ص ٢٩٠ )
TASYBIH ( Persamaan ) :  Seorang pelajar yang tak punya kemauan, ( seperti ) seorang pecinta yang tak pernah berkunjung ( pada sang kekasih ). Seorang pelancong tanpa pengetahuan ( seperti ) burung tanpa sayap. Dan orang 'alim tanpa amal ( seperti ) pohon tanpa buah. Serta orang yang zuhud tanpa ilmu ( laksana ) rumah tanpa pintu ".  [ Kalistan, Roudhotul Wardi ( Kebun Mawar ), Hal. 290 ].
قالو لشخص ماذا يشبه العالم بلا عمل فقال زنبورا بلا عسل
( كلستان، روضة الورد  ص ٢٩١ )
Mereka berkata pada seseorang, " Apa yang serupa dengan orang ahli ilmu tanpa pengamalan, maka menjawab orang tersebut, " ( seperti ) Tawon tanpa madu ".  [ Kalistan, Roudhotul Wardi ( Kebun Mawar ), Hal. 291 ].
سعداء الطالع يتناصحون بالحكايات والامثال من آثار المتقدمين وبهذا السبب يضرب الامثال يوقائعهم طائفة المتأخرين
( كلستان، روضة الورد  ص ٣٠٠ )
" Kesuksesan seorang pengkaji adalah saling merekomendasikan dengan hikayat-hikayat dan contoh-contoh dari jejak orang-orang terdahulu, dan dengan sebab inilah akan menimbulkan sebuah pribahasa-pribahasa pada generasi berikutnya dari peristiwa yang terjadi pada orang-orang terdahulu ".  [ Kalistan, Roudhotul Wardi ( Kebun Mawar ), Hal. 300 ]
Bersambung....
——————
Sidoarjo, Senin 25 Mei 2015
Danny Ma'shoum