Rabu, 12 Agustus 2015

PERNYATAAN ULAMA AHLUS SUNNAH TENTANG KEKUFURAN ORANG YANG MENETAPKAN TEMPAT BAGI ALLOH SWT

PERNYATAAN ULAMA AHLUSSUNNAH TENTANG KEKUFURAN ORANG YANG MENETAPKAN TEMPAT BAGI ALLAH


Berikut ini adalah pernyataan para ulama Ahlussunnah dalam menetapkan kekufuran orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada pada tempat dan arah, seperti mereka yang menetapkan arah atas bagi- Nya, atau bahwa Dia berada di langit, atau berada di atas arsy, atau mereka yang mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat. Berikut nama ulama Ahlussunnah dengan pernyataan mereka di dalam karyanya masing-masing yang kita sebutkan di sini hanya sebagian kecil saja.

 

﴾﴾ 1 ﴿﴿

Al-Imâm al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi (w 150 H), al-Imâm agung perintis madzhab Hanafi, dalam salah satu karyanya berjudul al-Fiqh al-Absath menuliskan bahwa orang yang berkeyakinan Allah berada di langit telah menjadi kafir, beliau menuliskan sebagai berikut:

"من قال لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقد كفر، وكذا من قال إنه على العرش، ولا أدري العرش أفي السماء أو في الأرض "اهـ.

“Barangsiapa berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah ia berada di langit atau berada di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula telah menjadi kafir orang yang berkata: “Allah berada di atas arsy, dan saya tidak tahu apakah arsy berada di langit atau berada di bumi?!”
[al-Fiqh al-Absath, h. 12 (Lihat dalam kumpulan risalah al-Imâm Abu Hanifah yang di-tahqîq oleh al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari)]

 

﴾﴾ 2 ﴿﴿

Pernyataan al-Imâm Abu Hanifah di atas lalu dijelaskan oleh al-Imâm asy-Syaikh al-‘Izz ibn Abdissalam (w 660 H) dalam karyanya berjudul Hall ar-Rumûz sekaligus disepakatinya bahwa orang yang berkata demikian itu telah menjadi kafir, adalah karena orang tersebut telah menetapkan tempat bagi Allah. Al-Imâm al-Izz ibn Abdissalam menuliskan:

" لأن هذا القول يوهم أن للحق مكانا، ومن توهم أن للحق مكانا فهو مشبه " اهـ.

“Hal itu menjadikan dia kafir karena perkataan demikian memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat, dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka dia adalah seorang Musyabbih (Seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)”.
[Dikutip oleh asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 198]

 

﴾﴾ 3 ﴿﴿

Pemahaman pernyataan al-Imâm Abu Hanifah di atas sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imâm al-Izz ibn Abdissalam telah dikutip pula oleh asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari’ (w 1014 H) dalam karyanya Syarh al-Fiqh al-Akbar sekaligus disetujuinya. Tentang hal ini beliau menuliskan sebagai berikut:

"ولا شك أن ابن عبد السلام من أجل العلماء وأوثقهم، فيجب الاعتماد على نقله" اهـ.

“Tidak diragukan lagi kebenaran apa yang telah dinyatakan oleh al-Izz Ibn Abdissalam (dalam memahami maksud perkataan al-Imâm Abu Hanifah), beliau adalah ulama terkemuka dan sangat terpercaya. Dengan demikian wajib berpegang teguh dengan apa yang telah beliau nyatakan ini”.
[Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 198]
 

Pernyataan al-Imâm Abu Hanifah di atas seringkali disalahpahami oleh kaum Wahhabiyyah untuk menetapkan keyakinan mereka bahwa Allah bersemayam di atas arsy. Mereka berkata bahwa al-Imâm Abu Hanifah telah sangat jelas menetapkan bahwa Allah bertempat di atas arsy. Sandaran mereka dalam pemahaman yang tidak benar ini adalah Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah; murid Ibn Taimiyah. Ibn al-Qayyim mencari-cari siapa di antara ulama Salaf yang menetapkan akidah tasybîh untuk menguatkan akidahnya sendiri dan akidah gurunya; Ibn Taimiyah, tapi ternyata ia tidak mendapatkan siapapun kecuali pernyataan beberapa orang yang telah disepakati oleh para ulama Salaf sendiri sebagai orang -orang yang sesat. Lalu Ibn al-Qayyim mendapatkan perkataan al-Imâm Abu Hanifah di atas, dan kemudian ia “pelintir” pemahamannya agar sejalan dengan akidah tasybîh-nya, dengan demikian ia dapat berpropaganda bahwa akidah sesatnya adalah akidah yang telah diyakini para ulama Salaf. Silahkan anda baca kembali dari buku ini dalam pembahasan bantahan terhadap Ibn al-Qayyim yang telah mengklaim akidah tasybîh sebagai akidah al-Imâm Abu Hanifah.

 

﴾﴾ 4 ﴿﴿

Al-Imâm al-Hâfizh al-Faqîh Abu Ja’far ath-Thahawi (w 321 H) dalam risalah akidahnya; al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, yang sangat terkenal sebagai risalah akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, menuliskan sebagai berikut:

"ومن وصف الله بمعنى من معاني البشر فقد كفر" اهـ.

“Barangsiapa mensifati Allah dengan satu sifat saja dari sifat-sifat manusia maka orang ini telah menjadi kafir”.
[Lihat matan al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah dengan penjelasannya; Izh-hâr al-‘Aqîdah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah karya al-Hâfizh al-Habasyi, h. 124]

  

﴾﴾ 5 ﴿﴿

Salah seorang sufi terkemuka, al-‘Ârif Billâh al-Imâm Abu al-Qasim al-Qusyairi (w 465 H) dalam karya fenomenalnya berjudul ar-Risâlah al-Qusyairiyyah menuliskan sebagai berikut:

"سمعت الإمام أبا بكر ابن فورك رحمه الله تعالى يقول: سمعت أبا عثمان المغربي يقول: كنت اعتقد بشيء من حديث الجهة، فلما قدمت بغداد زال ذلك عن قلبي فكتبت الى اصحابنا بمكة: إني أسلمت الآن إسلاما جديدًا" اهـ.

“Aku telah mendengar al-Imâm Abu Bakr ibn Furak berkata: Aku telah mendengar Abu Utsman al-Maghribi berkata: Dahulu aku pernah berkeyakinan sedikit tentang adanya arah bagi Allah, namun ketika aku masuk ke kota Baghdad keyakinan itu telah hilang dari hatiku. Lalu aku menulis surat kepada teman-temanku yang berada di Mekah, aku katakan kepada mereka bahwa aku sekarang telah memperbaharui Islamku”.
[ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 5]

﴾﴾ 6 ﴿﴿

Teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah al-Imâm Abu al-Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-Nasafi al-Hanafi (w 508 H) dalam kitab Tabshirah al-Adillah menuliskan sebagai berikut:

"والله تعالى نفى المماثلة بين ذاته وبين غيره من الأشياء، فيكون القول باثبات المكان له ردا لهذا النص المحكم- أي قوله تعالى ﴿ليس كمثله شيء﴾ - الذي لا احتمال فيه لوجهٍ ما سوى ظاهره، ورادُّ النص كافر، عصمنا الله عن ذلك" اهـ.

“Allah telah menafikan keserupaan antara Dia sendiri dengan segala apapun dari makhluk-Nya. Dengan demikian pendapat yang menetapkan adanya tempat bagi Allah adalah pendapat yang telah menentang ayat muhkam; yaitu firman-Nya: “Laysa Kamitslihi Syai’” (QS. asy-Syura: 11). Ayat ini sangat jelas pemaknaannya dan tidak dimungkinkan memiliki pemahaman lain (takwil). Dan barangsiapa menentang ayat-ayat al-Qur’an maka ia telah menjadi kafir. Semoga Allah memelihara kita dari kekufuran”.
[Tabshirah al-Adillah Fî Ushûliddîn, j. 1, h. 169]

﴾﴾ 7 ﴿﴿

Asy-Syaikh al-‘Allâmah Zainuddin Ibn Nujaim al-Hanafi (w 970 H) dalam karyanya berjudul al-Bahr ar-Râ-iq Syarh Kanz ad-Daqâ-iq berkata:

ويكفر باثبات المكان لله تعالى، فإن قال: الله في السماء، فإن قصد حكاية ما جاء في ظاهر الأخبار لا يكفر، وإن أراد المكان كفر

“Dan seseorang menjadi kafir karena berkeyakinan adanya tempat bagi Allah. Adapun jika ia berkata “Allâh Fi as-Samâ’” untuk tujuan meriwayatkan apa yang secara zhahir terdapat dalam beberapa hadits maka ia tidak kafir. Namun bila ia berkata demikian untuk tujuan menetapkan tempat bagi Allah maka ia telah menjadi kafir”.
[al-Bahr ar-Râ-iq, j. 5, h. 129]

﴾﴾ 8 ﴿﴿

Asy -Syaikh al-‘Allâmah Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad al-Mishri asy - Syafi’i al-Asy’ari (w 974 H) yang lebih dikenal dengan nama Ibn Hajar al- Haitami dalam karyanya berjudul al-Minhâj al-Qawîm ‘Alâ al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah menuliskan sebagai berikut:

"واعلم أن القَرَافي وغيره حكوا عن الشافعي ومالك وأحمد وأبي حنيفة رضي الله عنهم، القول بكفر القائلن بالجهة والتجسيم، وهم حقيقون بذلك" اهـ.

“Ketahuilah bahwa al-Qarafi dan lainnya telah meriwayatkan dari al- Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm Malik, al- Imâm Ahmad dan al-Imâm Abu Hanifah bahwa mereka semua sepakat mengatakan bahwa seorang yang menetapkan arah bagi Allah dan mengatakan bahwa Allah adalah benda maka orang tersebut telah menjadi kafir. Mereka semua (para Imam madzhab) tersebut telah benar-benar menyatakan demikian”.
[al-Minhâj al-Qawîm ‘Alâ al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah, h. 224]

 
﴾﴾ 9 ﴿﴿

Dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar yang telah disebutkan di atas, asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari menuliskan sebagai berikut:

"فمن أظلم ممن كذب على الله أو ادعى ادعاء معينا مشتملا على اثبات المكان والهيئة والجهة من مقابلة وثبوت مسافة وأمثال تلك الحالة، فيصير كافرا لا محالة) اهـ.

“Maka barangsiapa yang berbuat zhalim dengan melakukan kedustaan kepada Allah dan mengaku dengan pengakuan-pengakuan yang berisikan penetapan tempat bagi-Nya, atau menetapkan bentuk, atau menetapkan arah; seperti arah depan atau lainnnaya, atau menetapkan jarak, atau semisal ini semua, maka orang tersebut secara pasti telah menjadi kafir”.
[Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 215]

Masih dalam kitab yang sama, asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari juga menuliskan sebagai berikut:

من اعتقد أن الله لا يعلم الأشياء قبل وقوعها فهو كافر وان عد قائله من أهل البدعة، وكذا من قال: بأنه سبحانه جسم وله مكان ويمر عليه زمان ونحو ذلك كافر، حيث لم تثبت له حقيقة ا لإيمان " اهـ.

“Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah tidak mengetahui segala sesuatu sebelum kejadiannya maka orang ini benar-benar telah menjadi kafir, sekalipun orang yang berkata semacam ini dianggap ahli bid’ah saja. Demikian pula orang yang berkata bahwa Allah adalah benda yang memiliki tempat, atau bahwa Allah terikat oleh waktu, atau semacam itu, maka orang ini telah menjadi kafir, karena tidak benar keyakinan iman - yang ada pada dirinya-”109.
[Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 271-272]

Dalam kitab karya beliau lainnya berjudul Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Syaikh Ali Mulla al-Qari’ menuliskan sebagai berikut:

"بل قال جمع منهم- أي من السلف- ومن الخلف إن معتقد الجهة كافر كما صرح به العراقي، وقال: إنه قول لأبي حنيفة ومالك والشافعي والأشعري والباقلاني " اهـ.

“Bahkan mereka semua (ulama Salaf) dan ulama Khalaf telah menyatakan bahwa orang yang menetapkan adanya arah bagi Allah maka orang ini telah menjadi kafir, sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh al-Iraqi. Beliau (al-Iraqi) berkata: Klaim kafir terhadap orang yang telah menetapkan arah bagi Allah tersebut adalah pernyataan al-Imâm Abu Hanifah, al-Imâm Malik, al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm al-Asy’ari dan al-Imâm al-Baqillani”.
[Mirqât al-Mafâtîh, j. 3, h. 300]

﴾﴾ 10 ﴿﴿

Asy-Syaikh al-‘Allâmah Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H) dalam karyanya berjudul Isyârât al-Marâm Min ‘Ibârât al-Imâm, sebuah kitab akidah dalam menjelaskan perkataan-perkataan al-Imâm Abu Hanifah, menuliskan sebagai berikut:

الشيخ العلامة كمال الدين البياضي الحنفي (1098 هـ) في شرح كلام الإمام أبي حنيفة ما نصه : "فقال- أي أبو حنيفة- (فمن قال: لا أعرف ربي أفي السماء أم في الأرض فهو كافر) لكونه قائلا باختصاص البارىء بجهة وحيز وكل ما هو مختص بالجهة والحيز فإنه محتاج محدث بالضرورة، فهو قول بالنقص الصريح في حقه تعالى (كذا من قال إنه على العرش ولا أدري العرش أفي السماء أم في الأرض) لاستلزامه القول باختصاصه تعالى بالجهة والحيز والنقص الصريح في شأنه سيما في القول بالكون في الأرض ونفي العلو عنه تعالى بل نفي ذات الإله المنزه عن التحيز ومشابهة الأشياء. وفيه اشارات:

الأولى: ان القائل بالجسمية والجهة مُنكر وجود موجود سوى الأشياء التي يمكن الإشارة اليها حسّا، فمنهم منكرون لذات الإله المنزه عن ذلك، فلزمهم الكفر لا محالة. واليه أشار بالحكم بالكفر.

الثانية: اكفار من أطلق التشبيه والتحيز، وإليه أشار بالحكم المذكور لمن اطلقه، واختاره الإمام الأشعري، فقال في النوادر: من اعتقد أن الله جسم فهو غير عارف بربه لانه كافر به، كما في شرح الإرشاد لأبي القاسم الأنصاري"اهـ.

“Beliau (al-Imâm Abu Hanifah) berkata: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau berada di bumi maka orang ini telah menjadi kafir”. Hal ini karena orang yang berkata demikian telah menetapkan tempat dan arah bagi Allah. Dan setiap sesuatu yang memiliki tempat dan arah maka secara pasti ia adalah sesuatu yang baharu (yang membutuhkan kepada yang menjadikannya pada tempat dan arah tersebut). Pernyataan semacam itu jelas merupakan cacian bagi Allah. Beliau (al-Imâm Abu Hanifah) berkata: “Demikian pula menjadi kafir orang yang berkata: “Allah berada di atas arsy , namun saya tidak tahu arsy, apakah berada di langit atau berada di bumi”. Hal ini karena orang tersebut telah menetapkan adanya tempat bagi Allah, menetapkan arah, juga menetapkan sesuatu yang nyata sebagai kekurangan bagi Allah, terlebih orang yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas, atau menfikan keagungan-Nya, atau menafikan Dzat Allah yang suci dari arah dan tempat, atau mengatakan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya. Dalam hal ini terdapat beberapa poin penting:

- Pertama: Orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah bentuk yang memiliki arah maka orang ini sama saja dengan mengingkari segala sesuatu yang ada kecuali segala sesuatu tersebut dapat diisyarat (dengan arah) secara indrawi. Dengan demikian orang ini sama saja dengan mengingkari Dzat Allah yang maha suci dari menyerupai makhluk-Nya. Oleh karena itu orang semacam ini secara pasti adalah seorang yang telah kafir. Inilah yang diisyaratkan oleh al-Imâm Abu Hanifah dalam perkataannya di atas.

- Kedua: Pengkafiran terhadap orang yang menetapkan adanya keserupaan dan tempat bagi Allah. Inilah yang diisyaratkan oleh al-Imâm Abu Hanifah dalam perkataannya di atas, dan ini berlaku umum. (Artimya yang menetapkan keserupaan dan tempat apapun bagi Allah maka ia telah menjadi kafir). Dan ini pula yang telah dipilih oleh al-Imâm al-Asy’ari, sebagaimana dalam kitab an-Nawâzdir beliau (al-Imâm al-Asy’ari) berkata: “Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah benda maka orang ini tidak mengenal Tuhannya dan ia telah kafir kepada-Nya”. Sebagaimana hal ini juga dijelaskan dalam kitab Syarh al-Irsyâd karya Abu al-Qasim al-Anshari”
(Isyârât al-Marâm, h. 200)

 

﴾﴾ 11 ﴿﴿

Asy-Syaikh al-‘Allâmah Abdul Ghani an-Nabulsi al-Hanafi (w 1143 H) dalam karyanya berjudul al-Fath ar-Rabbâny Wa al-Faydl ar-Rahm âny menuliskan sebagai berikut:

"وأما اقسام الكفر فهي بحسب الشرع ثلاثة أقسام ترجع جميع أنواع الكفر اليها، التشبيه، والتعطيل، والتكذيب... وأما التشبيه: فهو الاعقاد ان الله تعالى يشبه شيئا من خلقه، كالذين يعتقدون أن الله تعالى جسم فوق العرش، أو يعتقدون أن له يدين بمعنى الجارحتين، وأن له الصورة الفلانية أو على الكيفية الفلانية، أو أنه نور يتصوره العقل، أو أنه في السماء أو في جهة من الجهات الست، أو أنه في مكان من الاماكن، او في جميع الأماكن، أو أنه ملأ السموات والأرض، أو أن له حلول في شىء من الأشياء، أو في جميع الأشياء، أو أنه متحد بشىء من الاشياء، أو في جميع الأشياء، أو أن الأشياء منحلة منه، أو شيئا منها. وجميع ذلك كفر صريح والعياذ بالله تعالى، وسببه الجهل بمعرفة الامر غلى ما هو عليه" اهـ.

“Kufur dalam tinjauan syari’at terbagi kepada tiga bagian. Segala macam bentuk kekufuran kembali kepada tiga macam kufur ini, yaitu at-Tasybîh (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Ta’thil (menafikan Allah atau sifat-sifat-Nya), dan at- Takdzib (mendustakan). Adapun at-Tasybîh adalah keyakinan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya , seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy, atau yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki dua tangan dalam pengertian anggota badan, atau bahwa Allah berbentuk seperti si fulan atau memiliki sifat seperti sifat -sifat si fulan, atau bahwa Allah adalah sinar yang dapat dibayangkan dalam akal, atau bahwa Allah berada di langit, atau barada pada semua arah yang enam atau pada suatu tempat atau arah tertentu dari arah-arah tersebut, atau bahwa Allah berada pada semua tempat, atau bahwa Dia memenuhi langit dan bumi, atau bahwa Allah berada di dalam suatu benda atau dalam seluruh benda, atau berkeyakinan bahwa Allah menyatau dengan suatu benda atau semua benda , atau berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang terpisah dari Allah, semua keyakinan semacam ini adalah keyakinan kufur. Penyebab utamanya adalah karena kebodohan terhadap kewajiban yang telah dibebankan oleh syari’at atasnya”
(al-Fathar-Rabbâny, h. 124)
 

﴾﴾ 12 ﴿﴿

Asy-Syaikh al -‘Allâmah Muhammad ibn Illaisy al -Maliki (w 1299 H) dalam menjelaskan

perkara-perkara yang dapat menjatuhkan seseorang di dalam kekufuran dalam kitab Minah al-Jalîl Syarh Mukhtashar al-Khalîl menuliskan sebagai berikut:

"وكاعتقاد جسمية الله وتحيزه، فانه يستلزم حدوثه واحتياجه لمحدث" اهـ.

“Contohnya seperti orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda atau berkayakinan bahwa Allah berada pada arah. Karena pernyataan semacam ini sama saja dengan menetapkan kebaharuan bagi Allah, dan menjadikan-Nya membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya dalam kebaharuan tersebut”.
[Minah al-Jalîl, j. 9, h. 206]
 

﴾﴾ 13 ﴿﴿

Al-‘Allâmah al-Muhaddits al -Faqîh asy-Syaikh Abul Mahasin Muhammad al -Qawuqji ath-Tharabulsi al-Hanafi (w 1305 H) dalam risalah akidah berjudul al-I’timâd Fî al-I’tiqâd menuliskan sebagai berikut:

"ومن قال لا أعرف الله في السماء هو أم في الأرض كفر- لأنه جعل أحدهما له مكانا"اهـ.

“Barangsiapa berkata: “Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau berada di bumi”; maka orang ini telah menjadi kafir. (Ini karena ia telah menetapkan tempat bagi Allah pada salah satu dari keduanya)”.
[al-I’timâd Fî al-I’tiqâd, h. 5] 

﴾﴾ 14 ﴿﴿

Dalam kitab al-Fatâwâ al-Hindiyyah, sebuah kitab yang memuat berbagai fatwa dari para ulama Ahlussunnah terkemuka di daratan India, tertulis sebagai berikut:

"يكفر باثبات المكان لله تعالى. ولو قال: الله تعالى في السماء فإن قصد له حكاية ما جاء فيه ظاهر الأخبار لا يكفر وإن أراد به المكان يكفر" اهـ.

“Seseorang menjadi kafir karena menetapkan tempat bagi Allah. Jika ia berkata Allâh Fi as-Samâ’ untuk tujuan meriwayatkan lafazh-Zhahir dari beberapa berita (hadits) yang datang maka ia tidak menjadi kafir. Namun bila ia berkata demikian untuk tujuan menetapkan bahwa Allah berada di langit maka orang ini menjadi kafir”.
[al-Fatâwâ al-Hindiyyah, j. 2, h. 259]

﴾﴾ 15 ﴿﴿

Asy-Syaikh Mahmud ibn Muhammad ibn Ahmad Khaththab as-Subki al-Mishri (w 1352 H) dalam kitab karyanya berjudul Ithâf al-Kâ-inât Bi Bayân Madzhab as-Salaf Wa al-Khalaf Fi al-Mutasyâbihât, menuliskan sebagai berikut:

"سألني بعض الراغبين في معرفة عقائد الدين والوقوف على مذهب السلف والخلف في المتشابه من الآيات والأحاديث بما نصه: ما قول السادة العلماء حفظهم الله تعالى فيمن يعتقد أن الله عز وجل له جهة وأنه جالس على العرش في مكان مخصوص ويقول ذلك هو عقيدة السلف ويحمل الناس على أن يعتقدوا هذا الاعتقاد، ويقول لهم: من لم يعتقد ذلك يكون كافرا مستدلا بقوله تعالى: ﴿الرحمن على العرش استوى ﴾ وقوله عز و جلّ ﴿ءأمنتم من السماء ﴾ (سورة الملك/۱۱) أهذا الأعتقاد صحيح ام باطل ؟وعلى كونه باطلا أيكفر ذلك القائل باعتقاده المذكور ويبطل كل عمله من صلاة وصيام وغير ذلك من الأعمال الدينية وتبين منه زوجته، وإن مات على هذه الحالة قبل أن يتوب لا يغسل ولا يدفن في مقابر المسلمين، وهل من صدقه في ذلك كافرا مثله؟ فأجبت بعون الله تعالى، فقلت: بسم الله الرحمن الحمد لله الهادي إلى الصواب، والصلاة والسلام على من أوتي الحكمة وفصل الخطاب، وعلى ءاله وأصحابه الذين هداهم الله ورزقهم التوفيق والسداد. أما بعد: فالحكم أن هذا الاعتقاد باطل ومعتقد كافر باجماع من يعتد به من علماء المسلمين، والدليل العقلي على ذلك قِدَم الله تعالى ومخالفته للحوادث، والنقلي قوله تعالى: ﴿ليس كمثلهء شيء وهو السميع البصير ﴾، فكل من اعتقد أنه تعالى حل في مكان أو اتصل به شىء من الحوادث كالعرش أو الكرسي أو السماء أو الأرض او غير ذلك فهو كافر قطعا، ويبطل جميع عمله من صلاة وصيام وحج وغير ذلك وتبين منه زوجه، ووجب عليه أن يتوب فورا، واذا مات على هذا الاعتقاد والعياذ بالله تعالى لا يغسل ولا يصلى عليه ولا يدفن في مقابر المسلمين، ومثله في ذلك كله من صدقه في اعتقاده أعاذنا الله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا. وأما حمله الناس على ان يعتقدوا هذا الاعتقاد المكفر، وقوله لهم: من لم يعتقد ذلك يكون كافرا، فهو كفر وبهتان عظيم" ا هـ.

“Telah berkata kepadaku sebagian orang yang menginginkan penjelasan tentang dasar-dasar akidah agama dan ingin berpijak di atas pijakan para ulama Salaf dan ulama Khalaf dalam memahami teks-teks Mutasyâbihât, mereka berkata: Bagaimana pendapat para ulama terkemuka tentang hukum orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada pada arah, atau bahwa Dia duduk satu tempat tertentu di atas arsy, lalu ia berkata: Ini adalah akidah salaf, kita harus berpegang teguh dengan keyakinan ini. Ia juga berkata: Barangsiapa tidak berkeyakinan Allah di atas arsy maka ia telah menjadi kafir. Ia mengambil dalil untuk itu dengan firman Allah: “ar-Rahmân ‘Alâ al-‘Arsy Istawâ” (QS. Thaha: 5) dan firman-Nya: “A-amintum Man Fî as-Samâ’ (QS. al-Mulk: 16). Orang yang berkeyakinan semacam ini benar atau batil? Dan jika keyakinannya tersebut batil, apakah seluruh amalannya juga batil, seperti shalat, puasa, dan lain sebagainya dari segala amalan-amalan keagamaannya? Apakah pula menjadi tertalak pasangannya (suami atau istrinya)? Apakah jika ia mati dalam keyakinannya ini dan tidak bertaubat dari padanya, ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dimakamkan di pemakaman kaum muslimin? Kemudian seorang yang membenarkan keyakinan orang semacam itu, apakah ia juga telah menjadi kafir?

Jawaban yang aku tuliskan adalah sebagai berikut: Bismillâh ar-Rahmân ar-Rahîm. Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Keyakinan semacam ini adalah keyakinan batil, dan hukum orang yang berkeyakinan demikian adalah kafir, sebagaimana hal ini telah menjadi Ijma’ (konsensus) ulama terkemuka. Dalil akal di atas itu adalah bahwa Allah maha Qadim; tidak memiliki permulaan, ada sebelum segala makhluk, dan bahwa Allah tidak menyerupai segala makhluk yang baharu tersebut (Mukhâlafah Li al-Hawâdits). Dan dalil tekstual di atas itu adalah firman Allah: “Laysa Kamitaslihi Syai’” (QS. asy-Syura: 11). Dengan demikian orang yang berkayakinan bahwa Allah berada pada suatu tempat, atau menempel dengannya, atau menempel dengan sesuatu dari makhluk-Nya seperti arsy, al-kursy, langit, bumi dan lainnya maka orang semacam ini secara pasti telah menjadi kafir. Dan seluruh amalannya menjadi sia-sia, baik dari shalat, puasa, haji dan lainnya. Demikian pula pasangannya (suami atau istrinya) menjadi tertalak. Ia wajib segera bertaubat dengan masuk Islam kembali (dan melepaskan keyakinannnya tersebut). Jika ia mati dalam keyakinannya ini maka ia tidak boleh dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dimakamkan dipemakaman orang-orang Islam. Demikian pula menjadi kafir dalam hal ini orang yang membenarkan keyakinan batil tersebut, semoga Allah memelihara kita dari pada itu semua. Adapun pernyataannya bahwa setiap orang wajib berkeyakinan semacam ini, dan bahwa siapapun yang tidak berkeyakinan demikian adalah sebagai seorang kafir maka itu adalah kedustaan belaka, dan sesungguhnya justru penyataannya yang merupakan kekufuran”.
[Ithâf al-Kâ’inât, h. 3-4]

 

﴾﴾ 16 ﴿﴿

Al-Muhaddits al-‘Allâmah asy-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari (w 1371 H), Wakil perkumpulan para ulama Islam pada masa Khilafah Utsmaniyyah Turki menuliskan:

"إن القول بإثبات الجهة له تعالى كفر عند الأئمة الأربعة هداة الأمة كما نقل عنهم العراقي على ما في "شرح المشكاة" لعلي القاري " اهـ.

“Perkataan yang menetapkan bahwa Allah berada pada tempat dan arah adalah kakufuran. Ini sebagaimana dinyatakan oleh para Imam madzhab yang empat, seperti yang telah disebutkan oleh al-Iraqi -dari para Imam madzhab tersebut- dalam kitab Syarh al-Misykât yang telah ditulis oleh asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari”.
[Maqâlât al-Kautsari, h. 321]

 

﴾﴾ 17 ﴿﴿

al-Muhaddits al-Faqîh al- Imâm al -‘Allâmah asy-Syaikh Abdullah al-Harari yang dikenal dengan sebutan al-Habasyi dalam banyak karyanya menuliskan bahwa orang yang berkeyakinan Allah berada pada tempat dan arah maka ia telah menjadi kafir, di antaranya beliau sebutkan dalam karyanya berjudul ash-Shirâth al-Mustaqîm sebagai berikut:

قال العلامة الشيخ المحدث الفقيه عبد الله الهرري المعروف بالحبشي حفظه الله ما نصه : "وحكم من يقول: (إن الله تعالى في كل مكان أو في جميع الأماكن) التكفير إذا كان يفهم من هذه العبارة أن الله بذاته منبثٌّ أو حالٌّ في الأماكن، أما إذا كان يفهم من هذه العبارة أنه تعالى مسيطر على كل شيء وعالم بكل شىء فلا يكفر. وهذا قصد كثير ممن يلهج بهاتين الكلمتين، ويجب النهي عنهما في كل حال " اهـ.

“Hukum orang yang berkata: “Allâh Fi Kulli Makân” atau berkata “Allâh Fi Jami’ al-Amâkin” (Allah berada pada semua tempat) adalah dikafirkan; jika ia memahami dari ungkapannya tersebut bahwa Dzat Allah menyebar atau menyatu pada seluruh tempat. Adapun jika ia memahami dari ungkapannya tersebut bahwa Allah menguasai segala sesuatu dan mengetahui segala sesuatu maka orag ini tidak dikafirkan. Pemahaman yang terakhir ini adalah makna yang dimaksud oleh kebanyakan orang yang mengatakan dua ungkapan demikian. Namun begitu, walau bagaimanapun dan dalam keadaan apapun kedua ungkapan semacam ini harus dicegah”.
[ash-Shirât al-Mustaqîm, h. 26]

Dalam kitab yang sama, al-Imâm al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah juga menuliskan sebagai berikut:

وقال أيضا : "ويكفر من يعتقد التحيز لله تعالى، أو يعتقد أن الله شىء كالهواء أو كالنور يملأ مكانا أو غرفة أو مسجدا، ونسمي المساجد بيوت الله لا لأن الله يسكنها بل لأنها أماكن يعبد الله فيها. وكـذلك يكفر من يقول (الله يسكن قلوب أوليائه) إن كان يفهم الحلول. وليس المقصود بالمعراج وصول الرسول إلى مكان ينتهي وجود الله تعالى إليه ويكفر من اعتقد ذلك، إنما القصد من المعراج هو تشريف الرسول- صلّى الله عليه و سلّم- باطلاعه على عجائب في العالم العلوي، وتعظيم مكانته ورؤيته للذات المقدس بفؤاده من غير أن يكون الذات في مكان " اهـ.

“Orang yang berkeyakinan Allah berada pada tempat maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda seperti udara, atau seperti sinar yang menempati suatu tempat, atau menempati ruangan, atau menempati masjid. Adapaun bahwa kita menamakan masjid-masjid dengan “Baitullâh” (rumah Allah) bukan berarti Allah bertempat di dalamnya, akan tetapi dalam pengertian bahwa masjid-masjid tersebut adalah tempat menyembah (beribadah) kapada Allah. Demikian pula menjadi kafir orang yang berkata: “Allâh Yaskun Qulûb Awliyâ-ih” (Allah bertempat di dalam hati para wali-Nya) jika ia berpaham hulûl. Adapun maksud dari Mi’raj bukan untuk tujuan Rasulullah sampai ke tempat di mana Allah berada padanya. Orang yang berkeyakinan semacam ini maka ia telah menjadi kafir. Sesungguhnya tujuan Mi’raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dengan diperlihatkan kepadanya akan keajaiban-keajaiban yang ada di alam atas, dan untuk tujuan mengagungkan derajat Rasulullah dengan diperlihatkan kepadanya akan Dzat Allah yang maha suci dengan hatinya dari tanpa adanya Dzat Allah tersebut pada tempat”. [Ibid]

_____________

Sidoarjo, 12 Agustus 2015

Danny Ma'shoum / Nurul Huda Al-Junaydi

Kamis, 06 Agustus 2015

ANALISA HADIST JARIYAH

ALLAH TIDAK DI LANGIT, SEBUAH ANALISA KRITIS ATAS HADIST JARIYAH

Allah tidak di Langit {Bantahan terhadap syubhat-syubhat kaum Mujassimah yang berkeyakinan bahwa Allah bertempat di langit)

Dalil lain yang sering dijadi sebagai argumentasi kaum Mujassimah adalah hadits dalam Shahih Muslim berbunyi :

قَالَ: وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ، فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا، وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ، آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ، لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا؟ قَالَ: ائْتِنِي بِهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا، فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ، قَالَ: أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

Artinya : Mu’awiyah ibn al-Hakam al-Salamy berkata : “Aku memiliki seorang budak perempuan yang mengembala kambing-kambingku disekitar Uhud dan Jawaniyah. Pada suatu hari aku saksikan seekor serigala menyambar seekor kambing gembalaannya, karena aku seorang anak Adam (manusia biasa) maka aku menyesalinya seperti mereka juga menyesalinya. Hanya saja aku menempelengnya dengan sekali tempelengan, kemudian aku mendatangi Rasulullah SAW, aku menyesali perbuatanku. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah perlu aku merdekakan dia?” Beliau bersabda, “Bawa dia kemari!” Maka aku bawa ia menghadap beliau. Beliau bertanya kepadanya, “Di mana Allah?” Ia menjawab, “Di langit.” Siapa aku?, lanjut Nabi. ‘Engkau Rasulullah’, jawabnya. Maka Beliau bersabda, “Merdekakan dia! Sesungguhnya ia seorang mukiminah)[1]

Kaum Mujasssimah mengatakan, hadits ini dengan gamblang menjelaskan kepada kita bahwa Allah berada di langit sesuai dengan pengakuan budak perempuan dalam kisah hadits ini dan Rasulullah SAW sendiri mengakui keimanannya dengan sebab pengakuan tersebut. Selanjutnya mereka mereka mengatakan, dengan demikian i’tiqad bahwa Allah berada di langit merupakan i’tiqad yang haq.

Bantahan :

Perlu menjadi catatan bagi kita bahwa dalam bidang pokok-pokok akidah (keyakinan) tidak dibolehkan kecuali ditegakkan di atas pondasi dan dasar yang qath’i (pasti dan tidak mengandung ta’wil  atau kesamaran). Karena itu, Allah berfirman dalam al-Qur’an :

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan (keyakinan) tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya(Q.S. al-Isra’ : 36)

Ini berbeda dengan masalah-masalah furû’iyah (fiqh praktis/amaliyah) dimana para ulama membolehkan membangun kesimpulan mengenainya berdasarkan dalil-dalil dhanniyah (dugaan yang tidak sampai kepada yakin). Kami kira semua orang akan mudah memahami ini, karena tidak mungkin sebuah kesimpulan yang bersifat qath’i dibangun hanya dari dalil yang bersifat dhanni.  

Hadits ahad hanya bernilai dhanni, tidak qath’i

Hadits ahad adalah hadits yang diriwayat oleh satu orang atau lebih, tetapi tidak sampai kepada tingkatan mutawatir. Jumhur ulama Islam menjelaskan kepada kita bahwa hadits ahad ini tidak bersifat qath’i, tetapi hanya dhanni. Berikut ini sejumlah penjelasan dari ulama-ulama kita, antara lain :

1.        Imam al-Juwaini yang lebih dikenal dengan gelar Imam al-Haramain mengatakan dalam kitabnya :

وخبر الواحد لا يعقب العلم

“Hadits ahad tidak menghasilkan ilmu (keyakinan)”[2]

Dalam kitab karya beliau yang lain, beliau mengatakan :

والاحاد وهو الذي يوجب العمل ولا يوجب العلم لاحتمال الخطأ فيه

“Ahad adalah yang mewajibkan amal dan tidak mewajibkan ilmu (keyakinan), karena ada kemungkinan salah padanya.”[3]

2.        Imam Zakariya al-Anshari mengatakan :

واما مظنون الصدق فخبرالواحد وهو مالم ينته الى التواتر

“Adapun yang dhan benar, maka itu adalah hadits ahad, yakni yang tidak sampai kepada tingkatan mutawatir.”[4]

3.        Imam al-Nawawi mengatakan :

فَالَّذِي عَلَيْهِ جَمَاهِيرُ الْمُسْلِمِينَ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاءِ وَأَصْحَابِ الْأُصُولِ أَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ الثِّقَةِ حُجَّةٌ مِنْ حُجَجِ الشَّرْعِ يَلْزَمُ الْعَمَلُ بِهَا وَيُفِيدُ الظَّنَّ وَلَا يُفِيدُ الْعِلْمَ

“Maka pendapat yang pegangan jumhur kaum Muslimin, baik sahabat, Tabi’in maupun ulama-ulama sesudah mereka, ahli hadits, fuqaha dan ahli ushul adalah hadits ahad dari orang yang terpercaya menjadi hujjah dari segala hujjah syara’ yang mewajibkan amal dengannya, tetapi tidak memfaedahkan ilmu (keyakinan).”

Selanjutnya beliau menjelaskan :

وذهب بعض المحدثين إلى أن الاحاد التي في صحيح البخاري أو صحيح مسلم تفيد العلم دون غيرها من الاحاد ؟ وقد قدمنا هذا القول وإبطاله في الفصول

“Sebagian Ahli Hadis berpendapat bahwa hadis Ahâd yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim memberikan kepastian informasi, tidak hadis Ahâd dalam selain keduanya. Dan telah kami paparkan panjang lebar bukti kebatilan pendapat ini dalam beberapa pasal sebelumnya…..”[5]

4.        Al-Hafizh Ibnu Abd al-Barr mengatakan :

وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ فِي خَبَرِ الْوَاحِدِ الْعَدْلِ هَلْ يُوجِبُ الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ جَمِيعًا أَمْ يُوجِبُ الْعَمَلَ دُونَ الْعِلْمِ وَالَّذِي عَلَيْهِ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْهُمْ أَنَّهُ يُوجِبُ الْعَمَلَ دُونَ الْعِلْمِ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورُ أَهْلِ الْفِقْهِ وَالنَّظَرِ وَلَا يُوجِبُ الْعِلْمَ عِنْدَهُمْ إِلَّا مَا شَهِدَ بِهِ عَلَى اللَّهِ وَقَطَعَ الْعُذْرُ بِمَجِيئِهِ قَطْعًا وَلَا خلاف فيه

“Para ulama kami (Malikiyah) dan selainnya berselisih pendapat tentang hadis ahad yang adil, apakah ia memberikan kepastian ilmu (keyakinan) dan menjadi dasar pengamalan atau hanya pengamalan saja? Menurut mayoritas ulama ia hanya menentukan amal saja tidak memberikan kesimpulan ilmu pasti. Ini adalah pendapat Syafi’i dan jumhûr Ahli Fiqh dan Teologi. Menurut mereka tidaklah memberikan kepastian ilmu kecuali yang dikuatkan dari Allah dan memutus semua uzur, sebab ia telah datang dari jalur pasti yang tidak diperselisihkan lagi.”[6]

Berdasar keterangan ulama –ulama besar kita di atas, nyatalah bagi kita bahwa bahwa hadits ahad yang bernilai dhanni ini tidak dapat menjadi hujjah dalam bidang akidah. Ketidakhujjahan tersebut dikarenakan kemungkinan adanya kesalahan, kealpaan, pemalsuan bisa saja terjadi, sedangkan akidah sebagaimana dimaklumi dibangun atas dasar keyakinan dan kepastian.[7]

Hadits al-jariah (budak perempuan) di atas adalah hadits ahad

Hadits al-jariah ini sebagaimana telah dikutip di atas merupakan hadits riwayat Imam Muslim melalui jalur ‘Atha’ bin Yasar dari Mu’awiyah bin al-Salamy. Hadits ini tidak diriwayat oleh Imam al-Bukhari. Hadits ini merupakan hadits ahad yang riwayatnya tidak sampai kepada tingkatan mutawatir. Dengan demikian, tingkat kebenaran hadits ini tidak sampai tingkatan keyakinan, tetapi hanya tingkatan dhan saja. Karena itu, sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka hadits ini tidak dapat menjadi hujjah dalam bidang akidah, karena keyakinan dalam bidang akidah harus dibangun berdasarkan dalil yang pasti/yakin, tidak boleh hanya dengan argumentasi yang nilainya hanya dhan saja. Lagi pula hadits ini meskipun shahih sanadnya, tetapi makna dhahirnya bertentangan dengan aqidah yang sudah menjadi ijmak ulama bahwa Allah tidak bertempat dan tidak mempunyai arah sebagaimana telah dijelaskan pada bagian 1 (satu) tulisan ini.

Perlu menjadi catatan kita bahwa hadits al-jariah ini datang dalam kebanyakan  riwayat lainnya dengan mempunyai redaksi yang berbeda dengan riwayat Muslim di atas. Riwayat-riwayat itu antara lain :

1.        Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Ibnu Juraij, ia berkata, Athâ’ mengabarkan kepadaku :

فَسَأَلَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَشْهَدِينَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ وَأَنَّ الْمَوْتَ وَالْبَعْثَ حَقٌّ؟ قَالَتْ: نَعَمْ وَأَنَّ الْجَنَّةَ وَالنَّارَ حَقٌّ؟  قَالَتْ: نَعَمْ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ: أَعْتِقْ أَوْ أَمْسِكْ

Artinya : Nabi SAW menanyakan kepada budak perempuan itu, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Nabi SAW bertanya, “Apakah engkau beriman bahwa kematian dan kebangkitan setelah kematian haq?” Ia menjawab, “Ya. Nabi SAW  bertanya lagi, ”Apakah engkau beriman bahwa surga dan nereka itu haq?”Ia menjawab, ”Ya.”Maka setelah selesai, Nabi SAW bersabda, “Merdekakan atau tahan dia”[8]

Hadits ini juga telah diriwayat oleh Ahmad bin Hambal dalam Musnad-nya,[9] al-Haitsami mengatakan, hadits riwayat Ahmad ini rijalnya shahih.[10]

2.        Hadits diriwayat dari Abu Hurairah r.a :

أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِجَارِيَةٍ سَوْدَاءَ أَعْجَمِيَّةٍ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ عَلَيَّ عتق رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: " أَيْنَ اللَّهُ؟ " فَأَشَارَتْ بِرَأْسِهَا إِلَى السَّمَاءِ بِأُصْبُعِهَا السَّبَّابَةِ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: " مَنْ أَنَا؟ " فَأَشَارَتْ بِأُصْبُعِهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَإِلَى السَّمَاءِ ; أَيْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ. قَالَ: " أَعْتِقْهَا".

Artinya : Sesungguhnya seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW dengan seorang budak perempuan hitam ‘ajamiah, dia berkata kepada Rasulullah SAW, : “Ya Rasulullah, sesungguhnya  ada kewajiban atasku memerdekakan  seorang budak perempuan yang beriman.” Lalu Rasulullah SAW bertanya, “Dimana Allah ?” maka budak itu mengisyaratkan dengan kepalanya ke langit serta telunjuknya. Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan pertanyaan : “Siapa saya ?”, budak itu mengisyaratkan dengan telunjuknya kepada Rasulullah SAW dan kepada langit, maksudnya “Engkau Rasulullah”. Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Merdekakan dia”  [11]

3.        Hadits dari Abu Salamah dari Syarid berkata :

 أتيت النبي صلعم فقلت: إنَّ عَلى أُمِّيْ رَقَبَةً وإنَّ عِنْدِي جارِيَةً سَوْداءَ نُوْبِيَّةً، أَفَتُجْزِئُ عَنْها ؟ قال: أدع بها! فقال: أَتَشْهَدِيْنَ أنْ لا إله إلا اللهُ ؟ قالت: نعم. قال: أَعْتِقْهَا فَإنَّها مُؤْمِنَةٌ!

Artinya : Aku mendatangi Nabi SAW dan berkata, ’Sesungguhnya atas ibuku kewajiban memerdekakan budak sahaya, dan aku punya seorang budak perempuan berkulit hitam dari suku Nubi, apakah ia memadai ? Nabi SAW  bersabda, ’Bawa dia ke mari!’ (setelah ia didatangkan) Nabi SAW bertanya kepadanya, ’Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah? Ia menjawab, ’Ya.’ Maka Nabi SAW bersabda “Merdekakan dia, sesungguhnya dia seorang wanita mukminah)[12]

4.        Dari Syarid ibn Suwaid al-Tsaqafi, ia berkata:

.قلت يا رسول الله ، إنَّ أُمِّي أَوْصَتْ أنْ نُعْتِقَ عَنها رَقَبَةً وعندي جارِيَةٌ سَوْدَاءُ، قال: أُدْعُ بِها! فَجَاءتْ ، فقال: مَنْ رَبُّكَ ؟ قالت: اللهُ. قال: مَنْ أنَا؟ قالت: أنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. قال: أعتقها فإنها مؤمنة

Artinya : ِAku mengatakan : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku berwasiat agar kami memerdekakan budak dan aku punya seorang budak sahaya berkulit hitam. Nabi SAW bersabda, ‘Panggil dia!’ Lalu dia datang, maka Nabi SAW bertanya, ‘Siapa Tuhanmu? Ia berkata, ‘Allah.’ Nabi SAW  bertanya lagi, ‘Siapa aku?’ ia menjawab, ‘Engkau adalah Rasul Allah.’ Nabi SAW bersabda memerintah, ‘Merdekakan dia karena sesungguhnya dia seorang wanita mukminah.’ [13] dan al-Baihaqi[14]

5.        Dari Ibnu Syihab dari Ubaidillah ibn Abdillah ibn Utbah :

أَنَّ رَجُلًا مِنْ الأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلى الله عَلَيه وَسَلم في جَارِيَةٍ لَهُ سَوْدَاءَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ عَلَيَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً، أفأعتق هذه؟ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلى الله عَلَيه وَسَلم: أَتَشْهَدِينَ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ: أَتَشْهَدِينَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ: أَتُوقِنِينَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلى الله عَلَيه وَسَلم: فَأَعْتِقْهَا إذًا.

Artinya : Sesungguhnya ada seorang dari Anshar datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa seorang budak berkulit hitam, lalu ia berkata, “Hai Rasulullah, atasku ada kewajiban memerdekakan budak mukmin, apakah aku dapat memerdekakan si ini ?. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Apakah engkau bersaksi tiada Tuhan selain Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Nabi SAW melanjutkan, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Ia pun menjawab, “Ya.” Nabi SAW bersabda lagi, “Apakah engkau meyakini adanya kebangkitan setelah kematian?“ Ia menjawab, “Ya.” Maka Rasulullah saw. bersabda, “Merdekakan dia.”[15]

Ibnu Abdil Barr dalam kitab al-Tamhîd, syarah al-Muwaththa’ mengomentari  hadits ini bahwa dhahir riwayatnya adalah mursal, namun didapat dianggap bersambung sebab Ubaidillah berjumpa dengan sejumlah sahabat Nabi SAW.[16]

Dari beberapa hadits ini saja sudah terlihat kepada kita terdapat perbedaan redaksi satu sama lain yang tidak dapat dikompromikan. Dalam hadits riwayat Muslim Nabi SAW menanyakan “dimana Allah” dan budak itu menjawab : “di langit”, sedangkan dalam riwayat Abdurrazaq perkataan“dimana Allah” dan “di langit” tidak ditemui, demikian juga dalam riwayat Malik, al-Darimi, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi, yang ada justru  kesaksian bahwa Tuhan adalah Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah dan seterusnya. Adapun dalam riwayat Ahmad, al-Bazar dan al-Thabrani, dhahirnya budak perempuan tersebut adalah bisu, karena budak itu beberapa kali menjawab pertanyaan Rasulullah SAW dengan isyarat, tidak dengan ucapan langsung.

Pernyataan ahli hadits yang menjelaskan  bahwa hadits al-jariah banyak terjadi perbedaan redaksinya dapat disimak antara lain :

1). Al-Baihaqi mengatakan :

قَدْ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ مُقَطَّعًا مِنْ حَدِيثِ الْأَوْزَاعِيِّ وَحَجَّاجٍّ الصَّوَّافِ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ دُونَ قِصَّةِ الْجَارِيَةِ، وَأَظُنُّهُ إِنَّمَا تَرَكَهَا مِنَ الْحَدِيثِ لِاخْتِلَافِ الرُّوَاةِ فِي لَفْظِهِ. وَقَدْ ذَكَرْتُ فِي كِتَابِ الظِّهَارِ مِنَ السُّنَنِ مُخَالَفَةَ مَنْ خَالَفَ مُعَاوِيَةَ بْنَ الْحَكَمِ فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ

“Imam Muslim telah meriwayatkannya dengan memotong (tidak keseluruhan)dari hadis  al Auza’i dan Hajâj ash Shawwâf dari Yahya ibn Abi Katsîr tanpa menyebut kisah Jâriyah. Mungkin ia meninggalkan penyebutannya dalam hadis itu disebabkan perselisihan para perawi dalam penukil redaksinya. Dan saya telah menyebutkan dalam kitab al-Sunan pada bab al-Dzihâr perselisihan perawi yang menyelisihi Mu’awiyah ibn Hakam dalam redaksi hadis.”[17]

2). Dalam Kasyf al-Astar disebutkan :

قَالَ الْبَزَّارُ: وَهَذَا قَدْ رُوِيَ نَحْوُهُ بِأَلْفَاظٍ مُخْتَلِفَةٍ.

 “Al-Bazar mengatakan, “Ini (hadits al-jariah) telah diriwayatkan hadits serupa dengannya dengan redaksi yang berbeda-beda.”[18]

3). Ibnu Hajar al-Asqalani dalam mengomentari hadits al-jariah ini, mengatakan :

وَفِي اللَّفْظِ مُخَالَفَةٌ كَثِيرَةٌ

”Pada redaksinya banyak terjadi perbedaan.” [19]

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami kalau sebagian ahli hadits menganggap hadits al-jariah di atas adalah muththarib (goyang) matannya, karena datang redaksinya dalam beberapa jalur yang berbeda satu sama lainnya. sedangkan hadits muttharib adalah dha’if. Al-Muhaddits al-Kautsary (Lahir : 1296 H) dan diikuti oleh  Sayyed Hasan al-Saqaf (ahli hadits kontemporer) telah menyebutkan secara tegas bahwa hadits ini muththarib.[20] Al-Muhaddits al-Fazha’i  al-Idhamy al-Syafi’i  (w. 1376 H) menjelaskan kepada kita bahwa redaksi “dimana Allah” dan “di langit” pada hadits jariah tersebut bukanlah ucapan Rasulullah SAW, tetapi hanya merupakan ucapan sebagian perawi (riwayat bil-makna) yang tersalah dalam pengungkapannya. Argumentasi yang dikemukakan al-Idhamy, karena kaum musyrik Arab tidak keluar dari keadaan mereka sebagai orang musyrik, padahal mereka juga mengi’tiqad bahwa Allah di langit. Sesungguhnya yang dapat mengeluarkan mereka dari syirik adalah pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah sebagaimana terdapat dalam riwayat lain mengenai kisah al-jariah ini.[21] Dalil bahwa seseorang tidak terlepas dari syirik sehingga ada pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah adalah hadits Nabi SAW berbunyi :

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ،

Artinya : Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Laa ilaha illallah [22]

Dalam riwayat lain berbunyi :

أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأني رسول الله

Artinya : Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka naik saksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah. 

Al-Suyuthi mengatakan hadits ini bernilai mutawatir.[23] Al-Munawi juga mengatakan hadits ini mutawatir, karena telah diriwayat oleh lima belas orang sahabat Nabi SAW.[24]

Alhasil hadits al-jariah ini tidak dapat menjadi hujjah, karena hadits ini dha’if menurut sebagian ahli hadits. Kalaupun hadits ini shahih, maka juga tidak dapat menjadi hujjah, karena hadits ini adalah hadits ahad. Hadits ahad meskipun shahih tidak dapat menjadi hujjah dalam bidang akidah sebagaimana telah dijelaskan sebelum ini.

Pemahaman hadits al-jariah yang benar

Seandainya hadits al-jariah ini dapat dijadikan hujjah (sekali lagi seandainya dapat dijadikan hujjah), maka panafsirannya juga tidak sebagaimana dhahir redaksinya sebagaimana dakwaan kaum Mujassimah. Hal ini karena penafsiran secara dhahir bertentangan dengan ijmak ulama yang mengatakan bahwa Allah tidak diliputi oleh tempat dan arah dan demikian juga bertentangan dengan sharih ayat al-Qur’an dan dalil syara’ lainnya sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian (1) tulisan ini. Berikut ini penjelasan para ulama mengenai pengertian hadits ini, antara lain :

1.    Imam an Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, berkata:

هذا الحديث من أحاديث الصفات وفيها مذهبان تقدم ذكرهما مرات في كتاب الايمان: أحدهما : الايمان به من غير خوض في معناه مع اعتقاد أن الله تعالى ليس كمثله شئ وتنزيهه عن سمات المخلوقات، والثاني : تأويله بما يليق به ، فمن قال بهذا قال: كان المراد امتحانُها هل هي موحدة تقر بأن الخالق المدبر الفعال هو الله وحده وهو الذي إذا دعاه الداعي استقبل السماء كما إذا صلى المصلي استقبل الكعبة وليس ذلك لانه منحصر في السماء كما أنه ليس منحصرا في جهة الكعبة، بل ذلك لان السماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين، أو هي من عبدة الاوثان العابدين للاوثان التي بين أيديهم فلما قالت في السماء علم أنها موحدة وليست عابدة للاوثان.

“Hadis ini termasuk hadis-hadis sifat. Tentangnya ada dua aliran (penafsiran), telah lewat berulang kali keterangan tentangnya dalam Kitabul Iman, Pertama : Mengimaninya tanpa menelusuri maknanya dengan keyakinan bahwa Allah Ta’ala  tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya, dan menyucikan-Nya dari sifat-sifat makhluk. Kedua : menta’wilkannya dengan makna yang layak bagi-Nya. Dan batangsiapa yang mengikuti pendapat ini mengatakan bahwa maksud kandungan hadits ini adalah menguji si budak wanita itu apakah ia mengesakan Allah dengan mengakui bahwa Zat Maha Pencipta, Mengatur semesta alam dan yang Maha Berbuat segala sesuatu adalah hanya Allah? Dan Dialah yang apabila seorang pendo’a memanggil-Nya ia menghadap langit, seperti jika ia shalat menghadap Ka’bah. Yang demikian bukan dikarenakan Allah dibatasi di langit sebagaimana Dia tidak dibatasi di arah Ka’bah, akan tetapi karena langit adalah kiblat para pendo’a sebagaimana ka’bah kiblat shalat, atau dia (budak perempuan itu) adalah penyembah patung yang berada di depan para penyembahnya. Dan ketika ia mengatakan: Dia di langit, Nabi SAW memaklumi bahwa dia seorang yang mengesakan Allah bukan penyembah patung.”[25]

2.      Qadhi ‘Iyadh mengatakan :

 لا خلاف بين المسلمين قاطبة فقيههم ومحدثهم ومتكلمهم ونظارهم ومقتدهم أن الظواهر الواردة بذكر الله تعالى في السماء كقول الله تعالى ءأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الارض ونحوه ليست على ظاهرها

“Tidak diperselisihkan di antara kaum Muslimin, baik ahli fikih, ahli hadis, para teoloq, ahli pikir dan pengikut di antara mereka bahwa dhahir-dhahir nash yang datang menyebut Allah di langit seperti firman Allah: “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu?” dan yang semisalnya itu tidak diartikan secara dhahirnya.”[26]

3.      Al-Hafidh Ibnu al-Jauzy dalam mengomentari hadits ini, mengatakan :

.قلت : قد ثبت عند العلماء أن الله تعالى لا تحويه السماء والارض ولا تضمه الاقطار وإنما عرف بإشارتها تعظيم الخالق عندها .

“Aku berkata, ‘Telah tetap di kalangan para ulama bahwa Allah Ta’ala tidak dirangkum oleh langit dan bumi dan tidak pula dihimpun oleh penjuru, akan tetapi dikenali-Nya dengan isyarat budak perempuan itu kearah langit karena pengagungan Zat Maha Pencipta.”[27]

            Jadi, isyarat budak perempuan itu bahwa Allah di langit bukan bermakna sesungguhnya, tetapi hanya sebagai ungkapan pengagungan kepada Allah Ta’ala sebagaimana syair-syair klasik orang-orang Arab telah membuktikan bahwa mereka terbiasa jika hendak mengagungkan sesuatu perkara mensifatinya dengan sesuatu yang tinggi, seperti bait syair yang digubah pujanggga kenamaan Arab di masa jahiliyah, ’Antarah ibn Syaddâ al-Absi:

مقامك في جو السماء مكانه * وباعي قصير عن نوال الكواكب

“Kedudukanmu di awang-awang langit tempatnya * sedangkan lenganku pendek tuk menggapai bintang gemintang.”[28]

Akhthal salah seorang penyair terkenal pada zaman Bani Umayyah juga menggubah bait syair berbunyi:

بنو دارم عند السماء وأنتم * قذى الارض أبعد بينما بين ذلك

”Suku Bani Dârim di langit sedangkan kamu* debu bumi, duhai alangkah jauhnya antara keduanya.”[29]

4.  Imam Taqiyuddin As-Subky membantah Ibnu Zafil yang berpendapat Allah berada di langit, dalam kitabnya al-Saif al-Shaqîl Fi ar Raddi ‘alâ Ibni Zafîl mengatakan :

أقول: أما القول: فقوله صلعم للجارية  "أين الله ؟" قالت: "في السماء" وقد تكلم الناس عليه قديما وحديثا والكلام عليه معروف ولا يقبله ذهن هذا الرجل

“ِAku berkata ‘Adapun ucapannya: Sabda Nabi SAW kepada si budak perempuan, ‘Di mana Allah?’ dan jawabannya, ‘Di langit.’ Ketahulilah bahwa para ulama sejak dahulu hingga sekarang telah banyak membicarakan hadis tersebut. Pembicaraan tentangnya sangat ma’ruf, dan akan orang ini (Ibnu Zafil) tidak menerimanya.”[30]

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa hadits al-jariah tersebut tidak boleh ditafsirkan menurut makna dhahirnya, akan tetapi wajib diserahkan maksudnya kepada Allah Ta’ala tanpa menelusuri maknanya dengan mengi’tiqad bahwa Allah maha suci dari mempunyai tempat dan arah (mazhab tafwidh). Atau menafsirkannya sesuai dengan sifat yang layak bagi kemahasucian Allah Ta’ala sebagaimana tafsiran sebagian ulama yang telah kita kemukakan di atas.



[1] Imam Muslim, Shahih Muslim[2] Al-Juwaini, al-Irsyad, Maktabah al-Khaniji, Mesir, Hal. 419

[3] Al-Juwaini, al-Warqaat, (dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dimyathi ‘ala Syarah al-Warqaat), Maktabah Raja Murah, Pekalongan, Hal. 19

[4] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 97

[5] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. I, Hal. 187-188

[6] Ibnu Abd al-Barr, al-Tamhid[7] Lihat al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. I, Hal. 188

[8] Abdurrazzaq, Mushannaf Abdurrazzaq[9] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal[10] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid[11] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid[12] Al-Darimi, Sunan al-Darimi[13] Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban[14] Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra[15] Imam al-Malik, al-Muwatha’[16] Ibnu Abd al-Barr, al-Tamhid[17] Al-Baihaqi, al-Asmaa wal-Shifat[18] Al-Haitsami, Kasyf al-Astar

[19] Ibnu Hajar al-Asqalani, Talkish al-Habiir

[20] Hasan al-Saqaf,  Syarah Aqidah al-Thahawiyah,  Dar al-Imam al-Rawas,  Beirut, Hal. 357

[21] Al-Fazha’i  al-Idhamy al-Syafi’i, al-Barahin al- Sathi’ah

[22] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid[23] Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir[24] Al-Munawi, Faidhul Qadir[25] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. V, Hal. 33-34

[26] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. V, Hal. 34

[27] Ibnu al-Jauzy, Daf’u Syubah, Dar al-Imam al-Rawaas, Beirut, Hal. 189

[28] Al-Khatib al-Tabrizy, Syarah Diwan ’Antarah, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, Hal. 35

[29] Mahdi Muhammad Nashiruddin, Syarah Dewan al-Akhthal, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 221

[30] Imam al-Subki, al-Saif al-Shaqîl Fi ar Raddi ‘alâ Ibni Zafîl, Maktabah al-Azhariyah lil Turatsi, Kairo, Hal. 82-83.

—————————
Sidoarjo, 6 Agustus 2015
Danny Ma'shoum / Nurul Huda Al-Junaydi ( penyusun artikel )

Minggu, 02 Agustus 2015

SYATHOHAT PARA GURU SHUFI

SYATHOHATNYA PARA MAESTRO SHUFI

بسم الله الرحمن الرحيم

Syathohat,  atau dalam bahasa sederhananya adalah isyarat atau aktivitas ( ruhaniyah ), yang ditimbulkan dari celoteh bathin sebagian para shufi yang disebabkan oleh fana'nya mereka kepada Alloh, yang telah memenuhinya dengan Nur Ilahiyah,  sehingga terkadang menyebabkan " salah paham " dalam pandangan awam terutama sebagian fuqoha. Mereka para fuqoha maupun para awam tentang dunia metafisis dari mistik shufi seringkali menjustifikasi dengan label kufur,  gila, dan istilah-istilah negatif lainnya yang disandarkan pada sebagian kaum shufi yang sedang " blank " karena saking mendalamnya rasa cinta kepada Alloh SWT.

Pada kesempatan kali ini,  saya mencoba memberi gambaran agak detail dengan maksud agar " miss perception " dari sebagian orang yang mengingkari ahwal bathiniyah para shufi mulai sedikit mendapat pencerahan logika ataupun nalar,  sekalipun beberapa orang mungkin sulit memahami bahasa celoteh bathin seperti ini,  karena hal ini adalah masalah bahasa rasa,  sugesti, rumus-rumus maupun kelokan-kelokan yang diucapkan oleh sebagian shufi yang mengalami " blank ". Sebagaimana kata Imam Dzin Nun Al-Mishri, salah seorang murid Imam Malik ( pendiri Madzhab Maliki ) yang para ahli tashowwuf menggelarinya sebagai bapak ahli makrifat. Beliau mengatakan dalam salah satu maqolahnya yang amat terkenal :

من لم يذق لم يعرف

" Barang siapa tidak pernah merasai,  maka tidak akan mengerti "

Syathohat,  dalam kitab Mu'jam al-Alfadz Ash-Shufiyah, karya DR. Hasan Asy-Syarqowy, Hal. 182, cetakan pertama tahun 1987, penerbit Mukhtar-Mesir, mengatakan ;

الشطح في لغة العرب بمعنى الحركة,  اى شطح يشطح اذا تحرك وفاض علي جانبيه كالنهر الضيق من حافيته اذا زاد الماء فيه. وكذالك حال المريد اذا زاد وجده، ولم يستطع حمل ما يريد على قلبه من سطوة انوار حقائقه شطح ذلك على لسانه، فيترجم عنه بعبارة غريبة، تستشكل مفهوم السامعين، الا اذا كان المريدين الصادقين، ويكون متبحرا في هذا العلم، وسمى ذلك على لسان اهل الاصطلاح شطحا (¹) اللمع، ص. ٢١٣.

Asy-syath hu,  menurut bahasa arab berarti pergerakan atau aktifitas. Ketika terjadi aktifitas dan menjalar pada segala sisi seperti halnya sungai yang sempit ( yang dibatasi sisinya ) maka akan meluber sampai pada tepinya ketika bertambahnya volume air didalamnya. Begitupula keadaan Murid ( thoriqoh ) ketika bertambah wajd ( mendalamnya rasa cinta kepada Alloh ) nya serta tidak mampu menopang atau membawa apa yang diinginkan hatinya dari pengaruh kendali Nur-nur haqiqot yang bersemayam dalam qolbunya, maka terjadilah aktifitas tersebut pada ucapan lisannya dan menterjemahkannya dengan ungkapan-ungkapan aneh ( ghorib ), yang menimbulkan kemusykilan pemahaman terhadap orang-orang yang mendengarnya. Kecuali jika itu terjadi dari murid-murid yang shodiq, maka jadilah ilmu itu menyamudera. Keadaan ini dalam pandangan ahli istilah dinamakan " Syathohat ( syath hu )". (¹) Al-Luma', Hal. 213 karya Imam Abu Nasr As-Sarroj.

Tokoh-tokoh shufi yang mengalami syathohat semisal Husein Manshur Al-Hallaj,  Abu Yazid Al-Busthomi, Muhyiddin Ibnu Arobi, Umar ibnul Faridh, Maulana Jalaluddin Rumi, At-Tilmitsani adalah sebagian besar tokoh-tokoh yang ucapan nyelenehnya menjadi bahan perdebatan dikalangan fuqoha maupun akademisi pemerhati peradaban shufisme.

Dalam mistisme jawa, diera Wali Songo kita kenal tokoh yang bernama Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang. Di Kalimantan Selatan kita kenal Syeh Abdul Hamid Abulung yang hidup diera Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari.  Di sumatera kita kenal penyair mistis Syaikh Hamzah Al-Fanshuri yang memberi corak sendiri dalam ajaran sufistik nya.

Dibawah ini saya tampilkan beberapa ucapan-ucapan sebagian tokoh Shufi dalam syathohatnya ;

1. Husein Manshur Al-Hallaj.

ما في جبة الا الله

" Tiada dibalik jubah ini melainkan Alloh "

2. Abu Yazid Al-Busthomi / Bayazith ( khusus syathohat Abu Yazid ini saya sadur dari kitab ".  ابو يزيد البسطامى، المجموعة الصوفية الكاملة " Abu Yazid Al-Basthomiy,  al Majmuah ash Shufiyyah al Kamilah, Hal. 45, yang ditahqiq oleh Qosim Muhammad Abbas, penerbit Al-Mada,  cetakan pertama tahun 2004, Damaskus-Syiria. Dalam kitab ini ada sekitar 94 syathohat Abu Yazid akan tetapi saya cukupkan beberapa saja,  diantaranya adalah ;

انا اللوح المحفوظ

" Akulah Lauh al mahfudz itu "

انا ربى الاعلى

" Akulah Tuhan Yang Maha Tinggi "

تالله ان لوائى اعظم من لواء محمد صلعم، لوائى من نور تحته الجان والجن والإنس كلهم من النبيين

" Demi Alloh, sesungguhnya pangkat ( panji ) ku lebih agung dari pangkat ( panji ) Muhammad SAW. Panji ku dari cahaya ( Nur ) yang dibawahnya  terdapat golongan Peri, jin dan manusia yang semuanya dari golongan para Nabi ".

بطشى اشد من بطشه بى

" Kekuatanku lebih kuat daripada kekuatanNya padaku "

سبحانى ما اعظم شٱنى

" Maha suci aku, tiada yang lebih agung daripadaku "

طاعتك لى يا رب اعظم من طاعتى لك

" KetaatanMu kepadaku wahai Tuhan, lebih besar daripada ketaatanku kepadaMu "

كنت اطوف حول البيت وٱطلبه، فلما وصلت اليه رايت البيت يطوف حولى

" Aku melakukan thowaf sekeliling Baitulloh dan mencariNya. Maka ketika aku sampai kepadaNya, aku melihat Baitulloh itu thowaf mengelilingiku "

3. Umar ibnul Faridh.

وان خطرت لى في سواك ارادة   على خاطري سهوا قضيت بردتي

" Apabila tergerak dalam hatiku keinginan selainMu sebab kelalaianku,  maka hukumlah aku sebagai hambaMu yang murtad "

Imam As-Suyuthi memecah simbol ucapan Ibnu Faridh ini dalam kitabnya Al-Hawi lil Fatawi,  Jilid 2, Hal. 282, pada Bab Al Fatawi Al Muta'alliqotu Bit Tashowwuf ( ini sudah pernah saya upload pada status Waliyulloh al mastur )

4. Ibnu Aroby.

Banyak syair Ibnu Arabi yang menjebak pembaca awam pada pemahaman yang amat dangkal. Beberapa di antaranya :

يامن يرانى ولا اراه كم ذا أراه ولا يرانى

Aduhai, Dia yang melihatku
dan aku tidak melihat-Nya
Betapa sering aku melihat-Nya
Dan Dia tidak melihatku

Mendengar syair ini mereka marah. Kata mereka : “Bagaimana Tuhan tidak melihat dia. Ibnu Arabi segera menjelaskannya dengan manis:

يا من يرانى مجرما ولا أراه آخذا
كم ذا أراه منعما ولا يرانى لائذا

Aduhai Dia yang melihatku pendosa
Tetapi aku tidak melihat-Nya marah
Betapa sering aku melihat-Nya pemurah
Meski Dia tidak melihat aku minta ampun

Atau syair yang diungkapkannya pada kesempatan yang lain :

فيحمدنى وأحمده ويعبدنى واعبده

Dia memujiku, aku memuji-Nya
Dia mengabdi padaku, aku mengabdi padanya,

Mereka juga marah. Bagaimana mungkin Tuhan menyembah dia. Ibnu Arabi segera menerangkan. Arti “Dia memujiku” adalah Dia senang karena aku taat pada-Nya, dan arti “Dia mengabdi padaku” adalah Dia mengabulkan doaku.

Kesatuan Agama-agama

Pada bagian lain dari buku kompilasi “Tarjuman al Asywaq” ini, kita menemukan pernyataannya yang sering disebut sebagai pandangan “Wahdah al Adyan” (kesatuan agama-agama) dari sang sufi besar ini. Ibnu Arabi menyatakan:

لقد صار قلبى قابلا كل صورة
فمرعى لغزلان ودير لرهبان
وبيت لاوثان وكعبة طا ئف
والاواح توراة ومصحف قرآن
أدين بدين الحب اين توجهت
ركا ئبه فالحب دينى وإيما نى

Hatiku telah siap menyambut
Segala realitas
Padang rumput bagi rusa
Kuil para Rahib

Rumah berhala-berhala
Ka’bah orang tawaf
Sabak-sabak Taurat
Lembaran al Qur’an

Aku mabuk Cinta
Kemanapun Dia bergerak
Di situ aku mencinta
Cinta kepada-Nya
Adalah agama dan keyakinanku.

5. Maulana Jalaluddin Rumi.

Apabila seekor lebah tercelup dalam madu, seluruh anggota tubuh-nya terserap oleh keadaan yang sama, dan ia tidak dapat bergerak. Demikian pula istilah istighraq (terserap dalam Tuhan) digunakan untuk seseorang yang tidak mempunyai kesadaran atau inisiatif ataupun sendiri. Setiap tindakannya bukan miliknya. Apabila ia masih meronta dalam air, atau apabila ia berseru, ”Oh, aku tenggelam,” ia tidak bisa di-katakan berada dalam keadaan terserap. Inilah yang diisyaratkan oleh kata-kata Ana al-Haqq (Aku adalah Tuhan). Orang menganggap itu adalah pernyataan yang sombong, padahal adalah benar-benar sombong pernyataan yang menyatakan Ana al-’abd (Aku adalah hamba Tuhan); dan ”Ana al-Haqq” (Aku adalah Tuhan) adalah sebuah ungkapan kerendahan hati yang sangat dalam. Orang yan menyatakan Ana al-’abd (Aku adalah hamba Tuhan) menegaskan adanya dua wujud, wujudnya sendiri dan wujud Tuhan, sedangkan dia yang menyatakan Ana al-Haqq (Aku adalah Tuhan) membuat dirinya bukan-wujud dan menyerahkan dirinya seraya berseru ”Aku adalah Tuhan,” yakni ”Aku tiada, Dia-lah segalanya: tiada wujud kecuali wujud Tuhan. Inilah ke-rendahan hati dan penghinaan diri yang berlebihan.

Jalaluddin Rumi, Dari Kitab ;Fihi ma Fihi, Hal. 49 ( terjemah ).

6. Syeh Siti Jenar.

Dalam kitab Babad Tanah Pasundan yang ditulis oleh pangeran Sulaiman Sulendraningrat.

" Siti Jenar tidak ada,  yang ada hanya Alloh " dilain waktu dia berkata ," Alloh tidak ada,  yang ada Siti Jenar ".

Saya cukupkan sampai disini dikarenakan masih banyak yang belum saya tulis dari ungkapan tokoh-tokoh lainnya.
Sekarang mari kita telusuri sebab yang melatar belakangi timbulnya ungkapan-ungkapan syathohat yang keluar melalui lisan sebagian para Ahlulloh ini.

MATILAH SEBELUM ENGKAU MATI

Pengertian " Matilah sebelum engkau mati " adalah sebuah pengertian dari salah satu jalan untuk musyahadah ( penyaksikan ) kepada Alloh, yaitu melalui mati. Tapi mati disini bukan matinya jasad ketika terpisah dengan roh, tapi matinya nafsu, sebagaimana sabda Nabi SAW ;

موتوا قبل ان تموتوا

" Rasakanlah mati sebelum engkau mati ".

dalam kitab Al-Hikam, Abu Ma'jam berkata :

من لم يمت لم ير الحق

" Barang siapa tidak merasakan mati, maka ia tidak dapat merasakan ( melihat atau musyahadah ) dengan Al-Haqqu Ta'ala ".

jadi yang dimaksud mati disini adalah hidupnya hati karena matinya nafsu. Dan hati ( bashiroh ) akan hidup pada saat matinya nafsu.

Imam Abul Abbas Al-Mursy dalam kitab Al-Hikam berkata :

لا يدخل على الله الا بابين : من باب الفناء الاكبر، وهو الموت الطبيعى ، ومن باب الفناء الذي تعنيه هذه الطائفة

" Tiada jalan masuk / musyahadah dengan Alloh kecuali melalui dua pintu, dan salah satu dari dua pintu itu ialah pintu " Fana'ul akbar " yaitu mati thobi'i. Dan merupakan setengah daripada pintu fana' menurut pengertian ahli Tashowwuf ".

Adapun pengertian matinya nafsu untuk hidupnya hati dalam musyahadah dapat ditempuh pada 4 tingkat :

(1). MATI THOBI'I.

Menurut sebagian para ahli thoriqoh, bahwa mati thobi'i terjadi dengan karunia Alloh pada saat dzikir qolbi dan dzikir lathoif ( dzikir-dzikir ini biasanya sesuai anjuran Mursyid Thoriqoh ), serta mati Thobi'i ini merupakan pintu pertama musyahadah dengan Alloh. Pintu pertama ini dilalui pada saat seorang salik dalam melakukan dzikir qolbi dalam dzikir lathoif. Maka dengan karunia Alloh ia fana' atau lenyap pendengarannya secara lahir dimana telinga batin mendengar bunyi " Alloh..Alloh..Alloh..". Pada tingkat ini, dzikir qolbi pada mulanya hati berdzikir, kemudian dari hati naik kemulut dimana lidah berdzikir dengan sendirinya. Dan dalam kondisi seperti ini alam perasaan mulai hilang atau mati thobi'i. Pada saat-saat seperti ini akal pikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai ilham yang tiba-tiba Nur Ilahi terbit dalam hati muhadhoroh ( berdialog ) hati dengan Alloh, sehingga telinga bathin mendengar

انني انا الله

" Sesungguhnya Aku ini adalah Alloh " yang bunyi ini naik kemulut dimana lidah bergerak sendiri mengucapkan " Alloh..Alloh..Alloh..". Dalam tingkatan-tingkatan bathin seperti ini, salik telah mulai memasuki pintu fana' pertama, yang dinamakan Fana' fil af'al dan Tajalli fil af'al dimana gerak dan diam adalah pada Alloh .

لا فاعل الا الله

" Tiada fail ( yang gerak dan diam ) kecuali Alloh ".

(2). MATI MAKNAWI.

Menurut sebagian ahli Thoriqoh, bahwa " Mati Maknawi " ini terjadi dengan karunia dari Alloh pada saat seseorang atau salik melakukan dzikir Lathifatur-Ruh dalam dzikir lathif. Terjadinya itu adalah sebagai ilham yang dimana secara tiba-tiba Nur Ilahiy terbit dalam hati. Ketika itu penglihatan secara lahir menjadi lenyap dan mata bathin menguasai penglihatan ( Bashirohnya mendominasi penglihatan ). Dzikir " Alloh....Alloh..Alloh.." pada tingkat ini semakin meresap terus pada diri dimana dzikir mulai terasa panasnya disekujur tubuh dan disetiap bulu roma di badan. Dalam kondisi seperti ini, perasaan ke-insanan tercengang, bimbang, semua persendian gemetar, bisa juga terus pingsan. Sifat keinsanan lebur diliputi sifat Ketuhanan.
Dalam tingkat ini, salik telah memasuki fana' ke-dua yang dinamakan " Fana' fis Shifat / Tajalli fis sifat ". Sifat kebaharuan dan kekurangan serta alam perasaan lenyap atau fana' dan yang tinggal adalah sifat Tuhan yang sempurna dan azali.

قوله ، لا حيّ إلا الله

" Tiada hidup selain Alloh ".

(3). MATI SURI.

Pada tingkat selanjutnya adalah " Mati Suri ". Mati suri ini terjadi dengan karunia Alloh pada saat seseorang atau salik melakukan dzikir Lathifatus Sirri dalam dzikir lathoif. Pada tingkat ke-tiga ini, seseorang atau salik telah memasuki pintu Musyahadah dengan Alloh. Ketika itu segala ke-insanan lenyap atau fana', alam wujud yang gelap ( ظلمة ) telah ditelan oleh alam ghaib atau malakut ( عالم الملكوت ) yang penuh dengan Nur Cahaya. Dalam pada ini, yang Baqo' adalah Nurulloh semata, Nur Af'alulloh, Nur Shifatulloh, Nur Asmaulloh, Nur Dzatulloh atau Nurun 'ala Nuur.
Sebagaimana firman Alloh ;

....نور على نور يهدى الله لنوره من يشاء....

" Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki.." [ Suroh An-Nur, ayat 35 ]

لا محمود إلا الله

" Tiada yang dipuji melainkan Alloh ".

(4). MATI HISSI.

Selanjutnya ialah Mati Hissi. Mati Hissi ini terjadi dengan karunia Alloh pada saat seseorang atau salik melakukan dzikir Lathifatul Hafi dalam dzikir lathoif. Pada tingkat ke-empat ini, seseorang atau salik telah sampai ketingkat yang lebih tinggi untuk mencapai ma'rifah ( Ma'rifat Billah ) sebagai maqom tertinggi.
Dalam pada ini, lenyap ( fana' ) sudah segala sifat-sifat keinsanan yang baharu dan yang tinggal adalah sifat-sifat Tuhan yang qodim atau azali. Ketika itu menanjaklah bathin keinsanan lebur kedalam keBaqo'an Alloh Yang Qodim atau bersatunya 'Abid dan Ma'bud ( yang menyembah dan Yang Di Sembah ). Dalam tingkat puncak tertinggi ini, seseorang atau salik telah mengalami keadaan yang tak pernah sama sekali dilihat oleh mata, didengar oleh telinga maupun tak sama sekalipun terbersit dalam hati sanubari manusia dan tidak mungkin dapat disifati. Tetapi akan mengerti sendiri bagi siapa saja yang telah merasakan sendiri, sebagaimana kata sufi agung Dzin Nun Al-Mishri ;

من لم يذق لم يعرف

" Siapa saja yang tidak pernah merasakan maka tidak akan mengerti ".

Untuk bisa mencapai keadaan Musyahadah seperti tersebut diatas ( tahapan-tahapan diatas ) adalah dengan jalan mujahadah, karena siapa saja yang menghiasi lahiriyahnya dengan mujahadah maka Alloh akan memperbaiki sirr atau hatinya dengan mujahadah.

——————

PEMBAGIAN TAJALLI KETIKA FANA' MENURUT KITAB INSANUL KAMIL IMAM ABDUL KARIM AL-JILLI

√. Tingkat Ke-1 : TAJALLI AF-'AL

تجلى سبحانه وتعالى في افعاله عبارة عن مشهد يرى فيه العبد جريان القدرة في الأشياء فيشهده سبحانه وتعالى محركها ومسكنها ينفي الفعل عن العبد واثباته للحق

" Tajallinya Alloh SWT dalam Af-'alnya, ialah ibarat penglihatan dimaba seorang hamba Alloh melihat padanya berlaku Qudrot Alloh pada sesuatu. Ketika itu, ia melihat Tuhan, maka tiadalah fiil ( perbuatan ) lagi bagi hamba. Gerak dan diam serta itsbat ( ketetapan ) adalah bagi Alloh semata ".

Jadi Tajalli Af'al ialah nafinya atau lenyapnya fiil ( perbuatan ) daripada seseorang hamba dan itsbatnya yang ada ialah Fiil Alloh semata. Sebagaimana firman Alloh ;

(وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ) [Surat As-Saaffat : 96]

" Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".

لا فاعل الا الله  ( Tiada fail / pelaku perbuatan kecuali Alloh )

√. Tingkat Ke-2 : TAJALLI ASMA'

من تجلى له سبحانه وتعالى من حيث اسمه الظاهر فكشف له عن سر ظهور النور الالهى في كثائف المحدثات ليكون طريقا الى معرفة ان الله هو الظاهر ، فعند ذلك تجلى له بانه الظاهر ، فبطن العبد ببطون فناء الخلق في ظهور وجود الحق .

" Siapapun baginya Tajalli Alloh SWT dari segi Asma-Nya yang disebut, maka terbukalah baginya dari nampaknya Nur Ilahiy dalam keadaan biasa, maksudnya adalah agar ia mendapatkan jalan kepada Makrifat, bahwa sesungguhnya Alloh adalah Yang Nyata ( terlihat ). Maka pada saat itu Tajallilah Alloh baginya, karena sesungguhnya Alloh adalah Adz-Dzhohir. Dan ketika itu bertempatlah hamba pada tempat yang bathin ( tidak tampak ) karena fana' / leburnya sifat-sifat kebaharuannya ketika nampaknya Wujud Al-Haqqu Ta'alaa yang Qodim ".

Jadi Tajalli Asma' adalah fana'nya hamba daripada dirinya sendiri dan bebasnya hamba dari genggaman sifat-sifat kebaharuan dan lepasnya ikatan dari dirinya atau tubuh kasarnya. Ketika itu ia fana' dalam Baqo'nya Alloh karena sucinya ia dari sifat-sifat kebaharuan. Bahwa sesungguhnya Tajalli Asma' sebenarnya tiada yang dilihat kecuali Dzatusshorfi dan bukannya melihat Asma'. Dalam hal ini bisa diambil perumpamaan sebagai berikut :

(وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ) [Surat Al-Araf : 143]

" Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".

مثال ذلك بقوله تعالى : لن ترانى يا موسى يعنى لانك اذا كنت موجودا فانا مفقود عنك ، وان وجدتنى فانا مفقود . ولا يمكن للحادث ان يثبت عند ظهور القديم ، وعند ذلك ، فعدم موسى وصار العبد كأن لم يكن ويبقى الحق كأن لم يزل .

Perumpamaan untuk itu ialah dengan firmana Alloh kepada Nabi Musa, " Kamu tidak dapat melihat Aku ( لن ترانى ) " , artinya bahwa sesungguhnya kamu Musa, selama kamu admma pada dirimu, maka Aku ( Alloh ) sirna ( tak terlihat ) dari pandanganmu Musa. Dan ketika kamu melihat Aku, maka ketika itu engkaupun tiada ( fana' ) ". Tidaklah mungkin bagi yang baharu ada ketika nampaknya yang Qodim. Jadi pengertiannya adalah, " Maka dengan fana'nya Musa , jadilah ia bersifat tiada, dan Baqo'lah Alloh yang bersifat kekal.

√. Tingkat Ke-3 : TAJALLI SIFAT

تجلى الصفات ، عبارة عن قبول ذات العبد الأتصاف بصفات الرب قبولا اصليا حكميا قطعيا .

" Tajalli Sifat adalah ibarat penerimaan tubuh seorang hamba Alloh berlaku sifat dengan sifat-sifat Ketuhanan, suatu penerimaan asli dan ketentuan pasti ".

Artinya, manakala Alloh SWT menghendaki terjadinya Tajalli atas hambanya dengan namaNya atau sifatNya, maka dalam keadaan itu lenyaplah ( Fana' ) seorang hamba dari dirinya dan ketika itu berubahlah daripada wujudnya. Manakala telah hilang cahaya keinsanannya dan telah fana' ruh kebaharuannya, disitulah Al-Haqqu Ta'ala mengambil tempat pada hambanya tanpa hulul daripada Dzat-Nya sebagai ganti dari perubahan hamba itu dari wujudnya, karena sebenarnya Tajallinya Alloh itu terhadap hambanya adalah sebagai karunia dari Alloh semata.

√. Tingkat Ke-4 : TAJALLI DZAT

Tajjali ketika Fana' fiDzzat adalah sebagai tingkatan paling puncak atau tertinggi,

لا موجود علي الاطلاق الا الله

" Tiada wujud secara muthlaq melainkan Alloh ".

Sebelum pada pengertian ta'rif dari Tajalli Dzat saya berikan sedikit uraian agar lebih mudah dipahami.

Pada fana' tingkat ini ( Tajalli Dzat ) seseorang akan memperoleh perasaan batin pada suatu keadaan yang tak berarah, tidak ada lagi kanan atau kiri, depan atau belakang, atas atau bawah. Intinya ia berada pada suatu keadaan tak terbatas dan tak bertepi. Dan dalam keadaan ini juga seseorang yang fana' fi Dzat mencapai derajat " Syuhudul Haqqi bil Haqqi ", dia telah lenyap dari dirinya sendiri dan dalam situasi ia hanya berada dalam baqo'nya Alloh semata, atau sebagai kesimpulannya bahwa ia telah hancur lebur kecuali wujud yang muthlaq, yaitu wujudulloh.
Adapun hikmah dari fana tingkat ini , adalah pengakuan atas ke Esa an Alloh dengan semurni-murninya, bukan sekedar pengakuan atas ke Esa an dengan ucapan syahadat, dalil-dalil atau pendapat-pendapat akal saja, dan pengakuan secara murni ini hanya dapat disaksikan dengan kemakrifatan saja.
Abu Manshur Husein Al Hallaj, mengatakan dalam syairnya;

قلوب العاوفين لها عيون, ما لا يرى للناظرين

" Hatinya orang 'Arif itu mempunyai mata memandang, matanya itu dapat melihat apa yang tak dapat dilihat pandangan mata biasa ".

كان الله ولا شيئ معه وهو الآن على ما عليه كان

" Adalah wujud Alloh itu baqo' dan tidak ada sesuatupun besertanya, Alloh tetap pada wujudnya sebagaimana keadaannya kekal semula ".

Maka mencapai makrifah billah dengan jalan akal pikiran itu mustahil, para Ahlut Tashowwuf berkata ;

وللعقول حدود لا تجاوزها, والعجز عن الادراك ادراك

" Bagi jalan pikiran itu terbatas, maka dengan jalan pikiran tidaklah Dia bisa dicapai, bila telah mengakui kelemahan diri untuk mencapai Dia, itulah tandanya Dia sudah dicapai ".

Didalam Al-Quran sudah diisyaratkan oleh Alloh untuk mencapai puncak fana' fidz Dzat tersebut, coba kita perhatikan rahasia yang diisyaratkan dari ayat ini ;

(كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ) [Surat Ar-Rahman : 26]

" Semua yang ada di bumi itu akan binasa ". Dan ayat selanjutnya ;

(وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ) [Surat Ar-Rahman : 27]

" Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan ".

Kemudian kita perhatikan bagaimana nabi Musa bermunajat kepada Alloh dengan kata-katanya yang masyhur dikalangan para Sufi dalam menuju kefana'an ;

قال موسى عليه السلام : يا رب كيف اصل اليك ؟ قال عز وجل : فارق نفسك وتعال

Nabi Musa berkata kepada Alloh ," Wahai Alloh, bagaimana agar aku sampai kepadaMu. Alloh ' azza wa jalla menjawab ," Tinggalkan ( lenyapkan ) dirimu hai Musa, baru datanglah kepadaKu ".

Apa yang diucapkan Nabi Musa tersebut adalah sebuah permintaannya kepada Alloh agar Alloh " menampakkan Diri " dihadapannya, sebagaimana yang dituturkan pada ayat ;

(وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ) [Surat Al-Araf : 143]

" Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".

Sebagai catatan akhir tentang Fana' Fi-Dzat sebagaimana disebutkan dalam kitab Insanul Kamil :

فاعلم ان الذات عبارة عمن كانت اللطيفة الالهية اذا تجلى علي عبده وافناه عن نفسه قام فيه اللطيفة الالهية فتلك اللطيفة قد تكون ذاتيةً وقد تكون صفاتيةً فاذا كانت ذاتية كان ذلك الهيكل الانساني هو الفرد الكامل

" Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya Dzat itu adalah ibarat dimana bertempat anugerah Ketuhanan. Ketika Alloh menghendaki terjadinya Tajalli ( penjelmaan ) atas hambaNya, dimana hambaNya telah mem fana' kan dari dirinya sendiri, maka bertempatlah hamba itu pada Karunia Ketuhanan. Demikianlah karunia itu, adakalanya sebagai karunia Dzat dan adakalanya karunia Sifat. Apabila terjadi karunia Dzat, maka disitulah terjadi " Tunggal Yang Kamil / Sempurna ". Maka dengan fana'nya diri hamba maka yang tinggal adalah yang Baqo' atau Dzatulloh. Dan dalam keadaan ini hamba telah berada pada situasi " Maa siwalloh " ( tiada apapun selain Alloh ) yaitu pada wujud Alloh semata ".

Disinilah pengertian dari Fana' fiDzzat sebagai tingkatan paling puncak atau tertinggi,

لا موجود علي الاطلاق الا الله

" Tiada wujud secara muthlaq melainkan Alloh ".

Wallohu a'lam Bis showab.

——————
Sidoarjo, 3 Agustus 2015
Danny Ma'shoum