ADAB SEORANG MURID/SALIK THORIQOH
Istilah murid (Salik) di dalam thariqah adalah sebutan yang diberikan kepada seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir dari seorang guru mursyid untuk mengamalkan wirid-wirid tertentu dari aliran thariqahnya. Atau dengan kata lain orang yang telah berbai'at kepada seorang guru mursyid untuk mengamalkan wirid thariqah. Dalam Thariqah Tijaniyah sebutan untuk para murid adalah ”ikhwan”.
Di dalam dunia thariqah hubungan seorang murid dengan guru mursyidnya merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan, karena hubungan tersebut tidak hanya sebatas kehidupan dunia ini, tetapi akan terus berlanjut sampai di akherat kelak. Bahkan di kalangan ahli thariqah ada keyakinan bahwa seorang mursyid mempunyai peranan yang sangat penting di dalam menyelamatkan muridnya besok di kehidupan akherat. Oleh karena itu, seseorang yang berkehendak menjadi murid thariqah, hendaknya tidak sembarangan memilih guru mursyid. Bahkan sangat dianjurkan bagi seseorang yang akan berbai'at kepada seorang mursyid thariqah, untuk terlebih dahulu beristikharah tentang pilihannya tersebut. Karena seorang murid itu harus bisa mahabbah (cinta) yang sungguh-sungguh dengan guru mursyidnya.
Untuk menjaga hubungan yang begitu penting antara seorang murid dengan guru mursyidnya, maka seorang murid harus memiliki kriteria-kriteria serta adab dan tatakrama seperti yang disebutkan oleh Syaikh Ahmad Al-Kamisykhonawy.ra dalam Kitab Jami'ul Ushul fil Auliya’, yaitu sebagai berikut ;
1. Setelah yakin dan mantap dengan seorang syaikh (mursyid), dia segera mendatanginya seraya berkata: "Aku datang ke hadapan Tuan agar dapat ma'rifat (mengenal) dengan Allah ta'ala." Setelah diterima oleh sang mursyid, hendaknya dia berkhidmah dengan penuh kecondongan dan kecintaan agar dapat memperoleh penerimaan di hatinya dengan sempurna.
2. Tidak membebani orang lain untuk menyampaikan salam kepada mursyidnya, karena hal seperti itu tidak sopan.
3. Tidak berwudlu di tempat yang bisa dilihat oleh mursyidnya, tidak meludah dan membuang ingus di majelisnya dan tidak melakukan shalat sunnat di hadapannya.
4. Bersegera melakukan apa yang diperintahkan oleh mursyidnya dengan tanpa keengganan, tanpa menyepelekan dan tidak berhenti sebelum urusannya selesai.
5. Tidak menebak-nebak di dalam hatinya terhadap perbuatan-perbuatan mursyidnya. Selama mampu dia boleh menta'wilkannya, namun jika tidak, dia harus mengakui ketidak-fahamannya.
6. Mau mengungkapkan kepada mursyidnya apa-apa yang timbul di hatinya berupa kebaikan maupun keburukan, sehingga dia dapat mengobatinya. Karena mursyid itu ibarat dokter, apabila dia melihat ahwal(keadaan) muridnya dia akan segera memperbaikinya dan menghilangkan penyakit-penyakitnya.
7. Ash-shidqu (bersungguh-sungguh) didalam pencarian ma'rifatnya, sehingga segala ujian serta cobaan tidak mempengaruhinya dan segala celaan serta gangguan tidak akan menghentikannya. Dan hendaknya kecintaan yang jujur kepada mursyidnya melebihi cintanya kepada diri, harta dan anaknya, seraya berkeyakinan bahwa maksudnya dengan Allah (wushul) tidak akan kesampaian tanpa wasilah(perantaraan) mursyidnya.
8. Tidak mengikuti segala apa yang biasa diperbuat oleh mursyidnya, kecuali diperintahkan olehnya. Berbeda dengan perkataannya, yang mesti diikuti semuanya. Karena seorang mursyid itu terkadang melakukan sesuatu sesuai dengan tuntutan tempat dan keadaannya, yang bisa jadi hal itu bagi si murid adalah racun yang mematikan.
9. Mengamalkan semua apa yang telah ditalqinkan oleh mursyidnya, berupa dzikir,tawajjuh atau muroqobah. Dan meninggalkan semua wirid dari yang lainnya sekalipun ma'tsur. Karena firasat seorang mursyid menetapkan tertentunya hal itu, merupakan nur dari Allah.
10. Merasa bahwa dirinya lebih hina dari semua makhluk, dan tidak melihat bahwa dirinya memiliki hak atas orang lain serta berusaha keluar dari tanggungan hak-hak pihak lain dengan menunaikan kewajibannya. Dan memutus segala ketergantungannya dari selain Al- Maqshud (Allah).
11. Tidak mengkhianati mursyidnya dalam urusan apapun. Menghormati dan mengagungkannya sedemikian rupa serta memakmurkan hatinya dengan dzikir yang telah ditalqinkan padanya.
12. Menjadikan segala keinginannya baik di dunia maupun akherat tidak lain hanyalah Dzat Yang Maha Tunggal, Allah SWT. Sebab jika tidak demikian berarti dia hanya mengejar kesempurnaan diri pribadinya.
13. Tidak membantah pembicaraan mursyidnya, sekalipun menurutnya benar. Bahkan hendaknya berkeyakinan bahwa salahnya mursyid itu lebih kuat (benar) daripada apa yang benar menurut dirinya. Dan tidak memberi isyarat (keterangan) jika tidak ditanya.
14. Tunduk dan pasrah terhadap perintah mursyidnya dan orang-orang yang mendahuluinya berkhidmah, yakni para khalifah (orang-orang kepercayaan mursyid) dari para muridnya, sekalipun secara lahiriah amal ibadah mereka lebih sedikit dibandingkan amal ibadahnya.
15. Tidak mengadukan hajatnya selain kepada mursyidnya. Jika dalam keadaan darurat sementara sang mursyid tidak ada, maka hendaklah menyampaikannya kepada orang saleh yang dapat dipercaya, dermawan serta taqwa.
16. Tidak suka marah kepada siapapun, karena marah itu dapat menghilangkan nur (cahaya) dzikir. Dan meninggalkan perdebatan serta perbantahan dengan para penuntut ilmu, karena perdebatan itu menyebabkan ghoflah (kealpaan). Jika muncul pada dirinya rasa marah kepada seseorang, hendaknya segera minta maaf kepadanya. Dan hendaknya tidak memandang remeh kepada siapapun juga.
Sedangkan adab seorang murid secara khusus kepada mursyidnya antara lain sebagai berikut;
1. Keyakinan seorang murid hendaknya hanya kepada mursyidnya saja. Artinya dia yakin bahwa segala apa yang diinginkan dan dimaksudkan tidak akan berhasil kecuali dengan wasilah mursyidnya.
2. Tunduk, pasrah dan ridla dengan segala tindakan mursyidnya. Dan berkhidmah kepadanya dengan harta dan badannya, karena jauharul mahabbah (mutiara kecintaan) tidak akan nampak kecuali dengan cara ini, clan kejujuran serta keikhlasan tidak akan diketahui kecuali dengan ukuran/timbangan ini.
3. Mengalahkan ikhtiar dirinya terhadap ikhtiar mursyidnya dalam segala urusan, yang bersifat kulliyah (menyeluruh) atau juz-iyah (bagian-bagian), yang berupa ibadah ataupun kebiasaan.
4. Meninggalkan jauh-jauh apa-apa yang tidak disenangi mursyidnya dan membenci apa yang dibenci sang mursyidnya.
5. Tidak mencoba-coba mengungkapkan makna peristiwa-peristiwa dan mimpi-mimpi, tapi menyerahkannya kepada mursyidnya. Dan setelah mengungkapkan hal tersebut kepadanya, dia tunggu jawabannya tanpa tergesa-gesa menuntutnya. Dan kalau ditanya, segera menjawabnya.
6. Memelankan suara ketika berada di majelis sang mursyid, karena mengeraskan suara di majelis orang-orang besar itu termasuk su’ul adab (perilaku yang buruk). Dan tidak berpanjang lebar ketika berbicara, memberikan jawaban atau bertanya padanya. Karena hal tersebut akan dapat menghilangkan rasa segannya terhadap mursyidnya, yang menjadikannya bisa terhijab (terhalang) dari kebenaran.
7. Mengetahui waktu-waktu untuk berbicara dengan mursyidnya, sehingga tidak berbicara dengannya kecuali pada waktu-waktu luangnya dan dengan sopan, tunduk dan khusyu' tanpa melebihi batas kebutuhannya, sambil memperhatikan dengan sungguh-sungguh jawaban jawaban yang diberikannya.
8. Menyembunyikan semua yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya melalui mursyidnya, yang berupa keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa tertentu ataupun karomah-karomah dan anugerah lainnya.
9. Tidak menukil keterangan-keterangan mursyidnya untuk disampaikan kepada orang lain, kecuali sebatas apa yang dapat mereka fahami clan mereka fikirkan.
Adab kepada Diri Sendiri
Di samping adab seorang murid kepada guru mursyidnya, ada hal lain yang juga harus diperhatikan oleh seorang murid, yakni adab terhadap dirinya sendiri yang antara lain sebagai berikut;
1. Selalu merasa bahwa dirinya dilihat oleh Allah dalam segala keadaan, sehingga dirinya dapat tersibukkan oleh lafadh Allah... Allah..., sekalipun sedang melakukan pekerjaan (duniawi).
2. Mencari teman bergaul yang baik dan tidak bergaul dengan orang yang buruk perilakunya.
3. Tidak berlebihan didalam hal makan dan berpakaian.
4. Tidak tamak mengharapkan sesuatu yang ada pada orang lain.
5. Tidak tidur dalam keadaan junub (berhadats besar).
6. Hendaknya suka melanggengkan wudhlu' (senantiasa dalam keadaan suci).
7. Menyedikitkan tidur, terlebih dalam waktu sahur (1/3 malam terakhir).
9. Tidak suka mujadalah (berdebat) dalam masalah ilmu, karena hal itu bisa menyebabkan ghoflah (lalai) kepada Allah dan menjadikan buta/ gelap hati.
10. Suka duduk-duduk bersama saudaranya (sejama'ah thariqah) ketika hatinya sedang gundah dan membicarakan adab berthariqah.
11. Tidak suka tertawa terbahak-bahak.
12. Tidak suka membahas perilaku seseorang dan tidak suka bertengkar.
12. Merasa takut terhadap siksa Allah clan senantiasa memohon ampunanNya. Dan jangan pernah merasa bahwa amal dan dzikirnya sudah bagus.
Hakikat Adab dalam Tasawuf
Allah SWT berfirman: "Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (QS. An-Najm: 17).
Dikatakan bahwa ayat ini berarti, "Nabi melaksanakan adab di hadirat Allah." Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (QS. At-Tahrim: 6).
Mengomentari ayat ini, Ibnu Abbas mengatakan, "Didiklah dan ajarilah mereka adab."
Diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa Nabi Muhammad Saw telah bersabda, "Hak seorang anak atas bapaknya adalah si bapak hendaknya memberinya nama yang baik, memberinya susu yang murni dan banyak, serta mendidiknya dalam adab dan akhlak."
Sa’id bin al-Musayyab berkata, "Barangsiapa yang tidak mengetahul hak-hak Allah SWT atas dirinya dan tidak pula mengetahui dengan baik perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, berarti tersingkir dari adab."
Nabi Muhammad Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah telah mendidikku dalam adab dan mendidikku dengan sangat baik. " (HR. Baihaqi)
Esensi adab adalah gabungan dari semua akhlak yang baik. Jadi orang yang beradab adalah orang yang pada dirinya tergabung perilaku kebaikan, dari sini muncul istilah ma’dubah yang berarti berkumpul untuk makan-makan.
Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Seorang hamba akan mencapai surga dengan mematuhi Allah SWT. Dan akan mencapai Allah SWT dengan adab menaati-Nya." Beliau juga mengatakan,"Aku melihat seseorang yang mau menggerakkan tangannya untuk menggaruk hidungnya dalam shalat, namun tangannya terhenti." Jelas bahwa yang Beliau maksudkan adalah diri Beliau sendiri.
Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq tak pernah bersandar pada apa pun jika sedang duduk. Pada suatu hari beliau sedang berada dalam suatu kumpulan, dan saya ingin menempatkan sebuah bantal di belakang Beliau, sebab saya melihat Beliau tidak punya sandaran. Setelah saya meletakkan bantal itu di belakangnya, Beliau lalu bergerak sedikit untuk menjauhi bantal itu. Saya mengira Beliau tidak menyukai bantal itu karena tidak dibungkus sarung bantal.
Tetapi Beliau lalu menjelaskan, "Aku tidak menginginkan sandaran." Setelah itu saya merenung, ternyata Beliau memang tidak pernah mau bersandar pada apa pun.
Al-Jalajili al-Bashri berkomentar, "Tauhid menuntut keimanan, jadi orang yang tak punya iman tidak bertauhid." Iman menuntut syari'at, jadi orang yang tidak mematuhi syari'at berarti tak punya iman dan tauhid. Mematuhi syari'at menuntut adab, jadi orang yang tak mempunyai adab tidak mematuhi syari'at, tidak memiliki iman dan tauhid."
Ibnu Atha’ berkata, "Adab berarti terpaku dengan hal-hal yang terpuji." Seseorang bertanya, "Apa artinya itu?" Dia menjawab, "Maksudku engkau harus mempraktikkan adab kepada Allah SWT baik secara lahir dan batin. Jika engkau berperilaku demikian, engkau memiliki adab, sekalipun bicaramu tidak seperti bicaranya orang Arab." Kemudian dia membacakan Syair : Bila berkata, ia ungkapkan dengan manisnya. Jika diam, duhai cantiknya.
Abdullah al-Jurairi menuturkan, "Selama dua puluh tahun dalam khalwatku, belum pernah aku melonjorkan kaki satu kali pun ketika duduk, melaksanakan adab pada Allah SWT adalah lebih utama."
Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, "Orang yang bersekutu dengan raja-raja tanpa adab, ketololannya akan menjerumuskan pada kematian."
Diriwayatkan ketika Ibnu Sirin ditanya, "Adab mana yang lebih mendekatkan kepada Allah SWT?" Dia menjawab, "Ma’rifat mengenal Ketuhanan-Nya, beramal karena patuh kepada-Nya, dan bersyukur kepada-Nya atas kesejahteraan dari-Nya, serta bersabar dalam menjalani penderitaan."
Yahya bin Mu’adz berkata, "Jika, seorang ‘arif meninggalkan adab di hadapan Yang Dima’rifati, niscaya dia akan binasa bersama mereka yang binasa."
Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, "Meninggalkan adab mengakibatkan pengusiran. Orang yang berperilaku buruk di pelataran akan dikirim kembali ke pintu gerbang. Orang yang berperilaku buruk di pintu gerbang akan dikirim untuk menjaga binatang."
Ditanyakan kepada Hasan al-Bashri, "Begitu banyak yang telah dikatakan tentang berbagai ilmu sehubungan dengan adab. Yang mana diantaranya yang paling bermanfaat di dunia dan paling efektif untuk akhirat?" Dia menjawab, "Memahami agama, zuhud di dunia, dan mengetahui apa kewajiban-kewajiban terhadap Allah SWT."
Yahya bin Mu’adz berkata, "Orang yang mengetahui dengan baik adab terhadap Allah SWT akan menjadi salah seorang yang dicintal Allah SWT."
Sahl bin Abdullah mengatakan, "Para Sufi adalah mereka yang meminta pertolongan Allah SWT dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan yang senantiasa memelihara adab terhadap-Nya."
Ibnul Mubarak berkata, "Kita lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak pengetahuan. " Dia juga mengatakan, "Kita mencari ilmu tentang adab setelah orang-orang yang beradab meninggalkan kita."
Dikatakan, "Tiga perkara yang tidak akan membuat orang merasa asing":
1. menghindari orang yang berakhlak buruk.
2. memperlihatkan adab dan
3. mencegah tindakan yang menyakitkan."
Syaikh Abu Abdullah al-Maghribi membacakan syair berikut ini tentang adab: Orang asing tak terasing bila dihiasi tiga pekerti; menjalankan adab, diantaranya, dan kedua berbudi baik dan ketiga menjauhi orang-orang yang berakhlak buruk.
Ketika Abu Hafs tiba di Baghdad, al-Junaid berkata kepadanya, "Engkau telah mengajar murid-muridmu untuk berperilaku seperti raja-raja!" Abu Hafs menjawab, "Memperlihatkan adab yang baik dalam lahiriahnya, merupakan ragam dari adab yang baik dalam batinnya."
Abdullah ibnul Mubarak berkata, "Melaksanakan adab bagi seorang ‘arif adalah seperti halnya tobatnya pemula."
Manshur bin Khalaf al-Maghribi menuturkan, "Seseorang mengatakan kepada seorang Sufi, alangkah jeleknya adabmu!’ Sang Sufi menjawab, "Aku tidak mempunyai adab buruk." Orang itu bertanya, "Siapa yang mengajarmu adab?" Si Sufi menjawab, "Para Sufi."
Abu an-Nashr as-Sarraj mengatakan, "Manusia terbagi tiga kategori dalam hal adab:
Manusia duniawi, yang cenderung memprioritaskan adabnya dalam hal kefasihan bahasa Arab dan sastra, menghafalkan ilmu-ilmu pengetahuan, nama-nama kerajaan, serta syair-syair Arab;
Manusia religius, yang memprioritaskan dalam olah jiwa, mendidik fisik, menjaga batas-batas yang ditetapkan Allah, dan meninggalkan hawa nafsu;
Kaum terpilih (ahlul khushushiyah), yang berkepedulian pada pembersihan hati, menjaga rahasia, setia kepada janji, berpegang pada kekinian, menghentikan perhatian kepada bisikan-bisikan sesat, dan menjalankan adab pada saat-saat memohon, dan dalam tahapan-tahapan kehadiran dan taqarrub dengan-Nya."
Diriwayatkan bahwa Sahl bin Abdullah mengatakan, "Orang yang menundukkan jiwanya dengan adab berarti telah menyembah Allah dengan tulus."
Dikatakan, "Kesempurnaan adab tidak bisa dicapai kecuali oleh para Nabi - semoga Allah melimpahkan salam kepada mereka - dan penegak kebenaran (shiddiqin)."
Abdullah ibnul Mubarak menegaskan, "Orang berbeda pendapat mengenai apa yang disebut adab. Menurut kami, adab adalah mengenal diri."
Dulaf asy-Syibli berkata, "Ketidakmampuan menahan diri dalam berbicara dengan Allah SWT berarti meninggalkan adab."
Dzun Nun al-Mishri berkomentar, "Adab seorang ‘arif melampaui adab siapa pun. Sebab Allah Yang dima’rifati, Dialah yang mendidik hatinya. "
Salah seorang Sufi mengatakan, "Allah SWT berfirman: "Barangsiapa yang Aku niscayakan tegak bersama Asma dan Sifat-Ku, maka Aku niscayakan adab padanya. Dan siapa yang Kubuka padanya, jauh dari hakikat Dzat-Ku, maka Aku niscayakan kebinasaan padanya." Pilihah, mana yang engkau sukai: adab atau kebinasaan."
Suatu hari Ibnu Atha’ yang menjulurkan kakinya ketika sedang berada bersama murid-muridnya, berkata, "Meninggalkan adab di tengah-tengah kaum yang memiliki adab adalah tindakan yang beradab. " Statemen ini didukung oleh hadits yang menceritakan Nabi Muhammad Saw sedang berada bersama Abu Bakar ra dan Umar ra. Tiba-tiba Utsman ra datang menjenguk Beliau. Nabi Muhammad Saw menutupi paha Beliau dan bersabda, "Tidakkah aku malu di hadapan orang yang malaikat pun malu di hadapannya?"
Dengan ucapannya itu Nabi Muhammad Saw menunjukkan bahwa betapapun Beliau menghargai keadaan Utsman ra, namun keakraban antara Beliau dengan Abu Bakar ra dan Umar ra lebih Beliau hargai. Mendekati makna konteks ini, para Sufi bersyair berikut:
Padaku penuh santun nan ramah, maka, bila berhadapan dengan mereka yang memiliki kesetiaan dan kehormatan, kubiarkan aku mengalir aku berbicara apa adanya tanpa malu-malu.
Al-Junaid menyatakan, "Manakala cinta sang pecinta telah benar, ketentuan-ketentuan mengenai adab telah gugur."
Abu Utsman al-Hiri mengatakan, "Manakala cinta telah menghujam sang pecinta, adab, akan menjadi keniscayaannya."
Ahmad an-Nuri menegaskan, "Barangsiapa tidak menjalankan adab di saat kini, maka sang waktunya akan dendam padanya.
Dzun Nun al-Mishri berkata, "Jika seorang pemula dalam jalan Sufi berpaling dari adab, maka dia akan dikembalikan ke tempat asalnya."
Mengenai ayat: "Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru kepada Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang " (QS. Al-Anbiya’: 83).
Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan penjelasan, "Ayub tidak mengatakan, "Kasihanilah aku!" (irhamny), semata karena beradab dalam berbicara kepada Tuhan."
Begitu juga Nabi Isa as. mengatakan: "Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu." (QS. Al-Maidah: 118).
"Seandainya aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya." (QS. Al-Maidah: 116).
Komentar Syaikh ad-Daqqaq, "Nabi Isa as mengucapkan, "Aku tidak menyatakan" (lam aqul), semata karena menjaga adab di hadapan Tuhannya."
Al-Junaid menuturkan, "Pada hari jum’at di antara orang-orang salihin datang kepadaku, dan meminta, "Kirimlah salah seorang fakir kepadaku untuk memberikan kebahagiaan kepadaku dengan makan bersamaku.""
Aku pun lalu melihat ke sekitarku, dan kulihat seorang fakir yang kelihatan lapar. Kupanggil dia dan kukatakan kepadanya, "Pergilah bersama syaikh ini dan berilah kebahagiaan kepadanya." Tak lama kemudian orang itu kembali kepadaku dan berkata, "Wahai Abul Qasim, si fakir itu, hanya makan sesuap saja dan pergi meninggalkan aku!" Aku menjawab, "Barangkali Anda mengatakan sesuatu yang tak berkenan pada benaknya."
Dia menjawab, "Aku tidak mengatakan apa-apa." Aku pun menoleh, tiba-tiba si fikir duduk di dekat kami dan aku bertanya kepadanya, "Mengapa engkau tidak memenuhi kegembiraannya?" Dia menjawab, "Wahai Syaikh, saya meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad tanpa makan sesuatu pun. Saya tidak ingin kelihatan tak sopan di hadapan Anda karena kemiskinan saya, tetapi ketika Anda memanggil saya, saya gembira karena Anda mengetahui kebutuhan saya sebelum saya mengatakan apa-apa. Saya pun pergi bersamanya, sambil mendoakan kebahagiaan surga baginya. Ketika saya duduk di meja makannya, dia menyuguhkan makanan dan berkata, "Makanlah ini, karena aku menyukainya lebih dari uang sepuluh ribu dirham." Ketika saya mendengar ucapannya itu, tahulah saya bahwa cita rasanya rendah sekali. Karenanya, saya tak suka makan makanannya."
Aku menjawab, "Tidakkah aku telah mengatakan kepadamu bahwa engkau bertindak tak beradab dengan tidak membiarkannya bahagia?" Dia berkata, "Wahai Abul Qasim, saya bertobat!"
Maka aku pun lalu menyuruhnya kembali kepada orang saleh itu dan menggembirakan hatinya.
* Syaikh Abul Qosim Al-Qusyairi
Kriteria Murid
A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ‘alaamin
Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.
Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
الوجيز في بيان
مراتب السالكين الى رب العالمين
Sebuah Ringkasan
Pada Menjelaskan Peringkat-peringkat Salikin
Menuju Allah Rabbul 'Alamin
Murid ; Seseorang yang ingin berjalan di atas perjalanan menuju Allah s.w.t. dengan mengambil seorang mursyid yang kamil (sempurna) untuk membimbingnya menuju Allah s.w.t.. Golongan ini juga dikenal sebagai salik yaitu: orang yang berjalan menuju Allah s.w.t..
Ada dua peringkat murid yaitu:
1) Murid li ajli Al-Jannah
2) Murid li liLlah
1) Murid li ajli al-jannah
Adapun murid li ajli Al-Jannah bermaksud, seseorang murid yang memulaikan perjalanannya menuju Allah s.w.t. di bawah tarbiah seorang mursyid yang kamil, dengan niat karena ingin mendapat syurga Allah s.w.t. dan terselamatkan dari pada neraka.
Ini merupakan peringkat permulaan bagi seorang salik (orang yang berjalan menuju Allah s.w.t.). Ada empat jenis murid li ajli al-jannah ini yaitu:
1.1: Khodim
1.2: Abid
1.3: Faqir
1.4: Zahid
1.1: Khodim (orang yang berkhidmat)
Murid pada jenis ini akan diberi tarbiah oleh seorang mursyid yang kamil untuk berkhidmat kepada ikhwan (sesama murid yang lain) dan mursyid tersebut. Ini suatu peringkat terawal dan terpenting bagi seorang salik, dalam membentuk persiapan seseorang untuk seterusnya berkhidmat kepada umat Islam seluruhnya, dan menjadikan seluruh kehidupannya untuk berkhidmat di jalan Allah s.w.t., karena Allah s.w.t..
Khidmat ini juga membentuk sifat tawadhuk dalam diri seseorang murid, yang mana, sifat tersebut amat penting bagi seseorang murid, untuk terus mengambil manfaat daripada sebuah tarbiah.
Telah tersebut dalam banyak hadist-hadist dan dalam lembaran sirah (sejarah) para sahabat r.a., di mana, mereka senantiasa berkhidmat kepada Rasulullah s.a.w. dan kepada sesama mereka.
1.2: 'Abid (Orang yang Banyak Beribadah)
Ada juga dalam kalangan murid yang seterusnya mencapai tahap abid', di mana dia senantiasa memperbanyakkan amal ibadah karena sudah mampu merasakan kelezatan ibadah itu sendiri. Pada tahap ini, seseorang murid akan terhibur dalam melaksanakan ibadah-ibadah sunat setelah ibadah-ibadah fardhu, senantiasa memperbanyakkan zikir-zikir, senantiasa mengikuti majlis-majlis zikir dan majlis-majlis shalawat, ilmu dsb, gemar melazimi bacaan-bacaan qasidah dan sebagainya.
Pada peringkat ini, mursyid yang kamil yang membimbing murid tersebut akan membantu murid tersebut dalam memotivasikannya sekiranya murid tersebut dihinggapi hal-hal seperti malal (kebosanan), futur (putus asa) dan sebagainya.
Pada ketika ini juga, mursyid akan senantiasa memberi semangat kepada murid tersebut untuk memperbanyak amalan-amalan sunat agar murid tersebut dapat mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. dengan nawafil (ibadah-ibadah yang sunat) setelah ibadah-ibadah fardhu (seperti yang disarankan dalam hadist riwayat Imam Al-Bukhari.rhm).
1.3: Faqir (Tidak Memiliki Harta)
Ada juga dalam kalangan murid yang memilih untuk menjalani hidup dalam kefaqiran, sesuai dengan jalan hidup Sayidina Rasulullah s.a.w. yang memilih untuk menjalani kehidupan dalam bentuk yang tersebut.
Mereka hidup ibarat pemulung pagi makan pagi dan pemulung petang makan petang. Dalam tarbiah, seseorang murid selalunya menjalani kehidupan seperti ini dalam usaha untuk membasmi perasaan cinta dunia dari pada dirinya. Tetapi, manhaj tarbiah kebanyakkan para sufi zaman ini tidak lagi melalui peringkat ini, karena demi kemaslahatan (kebaikan untuk) murid-murid zaman ini juga.
Tetapi, murid-murid memang seyogyanya terbiasa tumbuh dalam keadaan kefaqiran, dalam pengertian makna ‘kefaqiran’. Kefaqiran dalam makna sangat amat membutuhkan limpahan karunia rahmat-Nya, walau dari sisi lahiriah segalanya telah tercukupi. Jadi walau ia kaya harta dsb, ia tetap merasa faqir di hadapan-Nya. Inilah maksud dari ajaran ‘kefaqiran’ tersebut. Maka mereka inilah yang akan terus dibimbing oleh mursyid agar lebih menghayati makna sebuah kehidupan secara lebih luas. Ini karena, kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa, seperti sabda Nabi s.a.w. dalam Hadist riwayat Imam Bukhari.rhm dan Imam Muslim.rhm.
1.4: Zahid (Orang yang Zuhud)
Peringkat tertinggi dalam jenis murid li ajli al-jannah ini adalah golongan zuhhad (orang-orang zuhud), yang mana, mereka mengosongkan hati mereka daripada kecintaan kepada dunia, walaupun mereka memiliki dunia di tangan mereka ataupun tidak.
Zuhud itu sendiri dalam pandangan kaum sufi adalah suatu sifat membuang kecintaan terhadap dunia daripada hati, bukan membuang dunia daripada tangan (yaitu: bukan menolak usaha untuk mencari harta keduniaan secara mutlak). Boleh jadi, seseorang itu miskin harta, terlihat seperti zuhud, tetapi hatinya penuh kecintaan kepada dunia, maka dia juga bukan seorang yang zuhud seperti yang dimaksudkan oleh kaum sufi.
Pada peringkat ini, seseorang mursyid atau murobbi (orang yang menuntun kehadirat Rabbi-Allah s.w.t) akan membimbing murid tersebut dalam usaha untuk melepaskan hatinya daripada kecintaan kepada dunia. Faktor membawa kepada zuhud ini adalah, di mana murid tersebut lebih mengutamakan nikmat dan kesenangan yang dijanjikan di syurga dibandingkan di dunia yang fana (sementara) ini.
2) Murid liLlah
Murid jenis kedua adalah murid yang berjalan menuju Allah s.w.t. di bawah bimbingan seorang mursyid yang kamil, hanya semata-mata mengharapkan Allah s.w.t., keridhaan dan kasih sayangNya. Murid jenis kedua ini lebih tinggi martabatnya daripada murid jenis pertama yang hanya sekadar mengharapkan syurga Allah s.w.t..
Murid peringkat kedua ini terbagi dari dua jenis yaitu:
2.1: Malamatiyyah
2.2. Mutasawwifah
2.1: Malamatiyyah
Malamatiyyah adalah seorang murid yang senantiasa menyembunyikan kebaikan dan ketaatannya karena ingin menjaga niat dan keikhlasannya dalam beramal, karena yang dia harapkan hanyalah Allah s.w.t.. Dia tidak akan melakukan sesuatu kecuali dia berusaha dengan sepenuhnya untuk meraih adanya ikhlas dan tulus dalam dirinya terhadap ketaatan tersebut. Jadi, dia senantiasa berusaha untuk menutup pintu-pintu riya’, ujub dsb, dengan menyembunyikan amalan-amalannya sebaik mungkin, demi menjaga keikhlasannya kepada Allah s.w.t.. Menjadi puncak kegembiraannya adalah apabila sesuatu amalan tersebut berjaya atau berhasil dilakukannya secara sembunyi tanpa di ketahui oleh makhluk yang lain.
Ini adalah peringkat pertengahan dalam perjalanan seseorang salik menuju Allah s.w.t., karena sudah sampai tahap permulaan ikhlas kepada Allah s.w.t.. Dia sudah merasakan kelezatan iman (bukan kelezatan ibadah lagi sudah naik peringkatnya), menghayati cinta dan keridhaan Allah s.w.t. dalam dirinya serta tidak lagi tergantung hatinya kepada selain Allah s.w.t..
2.2: Mutasawwifah
Mutasawwifah adalah orang yang sudah menguasai lapangan ilmu tasawwuf, sudah mewarisi zauq-zauq (perasaan) dari pada mursyid-nya yang kamil, sudah mulai mengenal Allah s.w.t. melalui af'al-af'al-Nya, ataupun sifat-sifatNya, dan sudah pun memiliki pengalaman yang luas dalam pentarbiyahan (metoda pengajaran/pelajaran dalam mencapai jalan menujuNya). Yang dia inginkan dalam segenap hidup maupun matinya hanyalah ALLAH s.w.t.. Mereka sudah diberi futuhat oleh Allah s.w.t. untuk memahami berbagai hakikat-hakikatNya.
Mutasawwifah adalah murid mutaqoddim (murid yang hampir dengan sheikh) yang mana, para khalifah seseorang mursyid selalunya adalah dari kalangan mereka. Hanya mereka yang sudah sampai kepada peringkat ini yang selalunya akan mengganti tempat seseorang mursyid dalam memberi tarbiah kepada para ahbab (pecinta/murid/salik), ketika ketiadaan sheikh tersebut. Dia sudah mempunyai keserasian kehendak dengan mursyidnya, khususnya dalam melibatkan urusan dakwahnya. Inilah peringkat terakhir murid dan peringkat awal bagi seseorang yang sampai kepada Allah s.w.t..
Washil (Orang yang Sampai kepada Allah s.w.t. dengan AnugerahNya)
Washil ialah seseorang yang telah sampai kepada Allah s.w.t. dengan bantuan dan kemurahanNya. Makna sampai kepada Allah s.w.t. adalah, seseorang mengenal Allah s.w.t. dengan sebenar-benarnya “kenal”, yang mana, makrifat tersebut tidak ada penghujungnya karena tiada penghujung bagi hakikat-Nya. Setiap orang mengenal Allah s.w.t. sekedar akan, kadar yang diizinkan oleh Allah s.w.t., dan tiada siapa pun yang dapat menjangkau keseluruhan hakikat Allah s.w.t..
Adapun maksud mengenal Allah s.w.t. dengan sebenar-benar kenal adalah derajat yang kita kenal dengan derajat al-ihsan, yang kita kenal dalam Hadist Baginda Nabi SAW baik riwayat Imam Bukhari.rhm dan Imam Muslim.rhm, seseorang itu mengenal Allah s.w.t. dengan tahaqquq (perealisasian) terhadap apa yang difahami tentang Allah s.w.t. dalam bentuk penghayatan dan pengamalan seluruh kehidupannya, baik gerak maupun diamnya, yaitu dengan kehadiran hati yang senantiasa tertuju kepada Allah s.w.t., dan menyaksikan (musyahadah) Allah s.w.t. dengan mata hatinya (bashirah). Adapun wahsil ini ada dua jenis yaitu:
1) Mursyid Kamil/ Sheikh/ Waris Muhammadi/Murobbi/ Sufi/ Wali
Mursyid atau Sheikh adalah seseorang yang sudah melalui perjalanan menuju Allah s.w.t. (sair ila Allah) dan sudah berada di puncak perjalanan kepada Allah s.w.t. (as sair fi Llah) di mana, dia sudah fana' makhluk dan basyariah, dan sudah baqo' (abdai/berkesinambungan tetap) denganNya (kekal dalam musyahadah Allah s.w.t.).
Para mursyid adalah golongan yang telah tenggelam (istighroq) dalam lautan tauhid, sehingga menyaksikan wujud Allah s.w.t. tanpa kaifiat dan tanpa tamsil, tasybih dan tanpa bentuk, karena penyaksian (musyahadah) ini adalah pada mata hati (bashiroh). Mereka telah sampai pada hal tamkin (mantap) dalam meraih dua thorof (sudut), yaitu sudut musyahadahnya (yang melihat tiada wujud hakiki kecuali Allah s.w.t.) dan sudut kewujudannya dari seluruh makhluk denganNya (dalam kekuasaanNya). Dengan meraih sudut musyahadahnya, maka dia senantiasa tahaquq (merealisasikan) dan menjaga hak-hak ketuhanan Allah s.w.t. dan beradab di hadrah-Nya. Adapun dengan mencapai/meraih sudut menyaksikan seluruh makhluk denganNya, maka dia terus melakukan peng-hamba-an dan ketaatan kepada-Nya.
Mereka diberi izin oleh mursyid-mursyid mereka yang kamil, akan izin-izin untuk memberi tarbiah, irsyad (bimbingan kerohanian), menyebarkan aurad (zikir-zikir sesuatu madrasah tarbiah) dan memberi bai'ah kepada para murid yang baru ingin memulaikan perjalanan menuju Allah s.w.t..
Tugas mereka adalah untuk memimpin ahbab (pencinta/salik/ murid/pengikut) sheikhnya terdahulu atau mencari ahbab-ahbab baru dalam memperluaskan lagi manhaj tarbiah dan dakwah madrasah tarbiah mereka demi berkhidmat kepada umat Islam.
Mereka juga terkenal dengan waris muhammadi karena mereka adalah pewaris-pewaris Rasulullah s.a.w. secara zahir maupun batin (ilmu zauqi), sesuai dengan hadist Nabi s.a.w. yang berbunyi: "Ulama' pewaris nabi". Mereka mewarisi tugas Rasulullah s.a.w. dalam memberi tarbiah kepada umat Islam dan menyucikan jiwa mereka (tazkiyah an-nafs) daripada belenggu syahwat dan hasutan syaitan serta kecintaan kepada dunia.
Ciri-ciri seorang mursyid yang kamil adalah diantaranya :
Pertama: Mengetahui ilmu-ilmu fardu 'ain atau ilmu-ilmu agama (alim dalam ilmu syariat).
Kedua: Mengenal Allah s.w.t., sifat-sifatNya dan nama-namaNya bersesuaian dengan aqidah mazhab ahlus-sunnah wal jamaah.
Ketiga: Berpengalaman dalam tarbiah (pernah mengambil tarbiah dari seorang mursyid yang kamil), mengetahui seluk-beluk nafsu, tipu dayanya serta cara-cara untuk mentarbiahnya.
Keempat: Mendapat izin irsyad (membimbing dalam bab kerohanian) untuk mentarbiah daripada mursyid beliau yang sebelumnya, di mana mursyid tersebut juga mempunyai izin irsyad yang bersambung silsilah izin irsyad tersebut kepada Rasulullah s.a.w..
2) Wali Mastur/ Majzub
Mereka juga adalah orang-orang yang sudah mengenal Allah s.w.t. dengan sebenar-benar ‘kenal’, tenggelam dalam lautan tauhid dan musyahadah Allah s.w.t. dengan mata hatinya. Cuma, mereka tidak diberi izin untuk memberi tarbiah dan irsyad oleh mursyid mereka yang terdahulu, karena mereka ini adalah suatu kelompok yang dikhususkan oleh Allah s.w.t. untuk menumpukan kehidupan mereka hanya kepada Allah s.w.t. (ahli tajrid) di samping turut memberi nasihat-nasihat umum kepada sesama muslim.
Mereka adalah wali-wali Allah s.w.t. yang tersembunyi di balik pakaian orang-orang awam, sehingga tidak mampu dikenali oleh orang lain kecuali orang tersebut juga merupakan wali yang sepertinya.
Ada juga dalam kalangan mereka yang tenggelam dan terus fana' (lebur) dalam lautan tauhid (bahru at-tauhid), sehingga mereka tidak lagi menyadari kewujudan diri mereka di samping musyahadah mereka kepada Allah s.w.t.. Mereka adalah golongan yang mutalawwin (berubah-ubah), bukan mutamakkin (mantap atau kukuh) hatinya dalam musyahadah dengan baqo' biLlah (kekal musyahadah dengan bantuan Allah s.w.t.).
Ilmu Tasawwuf: Riwayah dan Diroyah
Seseorang yang ingin mempelajari ilmu tasawwuf, atau melalui jalan para sufi, hendaklah memahami bahwasanya, ilmu tasawwuf itu bukan suatu ilmu yang dapat dipelajari semata-mata melalui buku-buku tasawwuf dan sebagainya, tetapi ia perlu dipelajari secara talaqqi (berjumpa dan mendengar langsung) daripada seorang mursyid yang kamil, yang mewarisi tasawwuf secara riwayah dan diroyah.
Ini karena, ilmu tasawwuf pada hakikatnya, bukan untuk dipelajari sekadar untuk mendapatkan pengetahuan, tetapi ilmu tasawwuf itu dipelajari untuk direalisasikan ke dalam diri melalui proses tarbiah (pendidikan) di bawah bimbingan seorang mursyid yang kamil.
Syeikhuna (guru kami) Sheikh Yusuf Al-Hasani berkata: "Siapa yang menginginkan pengetahuan (tentang tasawwuf) semata-mata, maka silahkan carinya dalam buku-buku tasawwuf. Tetapi, siapa yang menginginkan Allah s.w.t., maka kami menyambut kedatangannya."
Syeikhuna (guru kami) Al-Walid al-Allamah al-Arifbillah al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya Ba’Alawy berkata: "Bagaimana mungkin orang dapat mengatakan atau merasakan sesuatu tanpa merasakannya langsung, mencicipinya langsung. Seperti manisnya buah jeruk, bagaimana mungkin kita akan menerima-percaya dan meyakini serta membenarkan pendapat orang yang mengatakan bahwa jeruk itu manis rasanya, tanpa ia merasakannya/mencicipinya terlebih dahulu, kupas lalu makan terlebih dahulu baru ia ‘shahih’ perkataannya mengenai buah jeruk tersebut, kalau tidak merasakan terlebih dahulu maka ia tertolak. Seperti halnya tasawuf/thariqah, tasawuf itu ilmu yang diamalkan dan dirasakan bukan ‘katanya’, masuk dahulu terjun langsung kedalam thariqah baru berbicara, bagaimana rasanya."
Tasawwuf itu dipelajari agar seterusnya dapat diterjemahkan (dipraktekkan & diamalkan) dalam kehidupan sehari-hari, karena hal tersebut merupakan ilmu perjalanan menuju Allah s.w.t.. Tiada manfaat bagi orang yang belajar seluk-beluk perjalanan menuju Allah s.w.t tetapi tidak mau melaluinya dengan berbagai amalan lahirah (praktek). Tiada manfaat bagi orang yang mencoba memahami sifat-sifat Allah s.w.t. tanpa berusaha untuk mengenaliNya dengan jalan tarbiah tersebut.
Oleh karena itu, secara ilmiahnya, ilmu tasawwuf itu ada dua bagian yaitu:
1) Riwayah
2) Diroyah
1) Riwayah
Riwayah adalah berkaitan dengan talqin zikir (La ilaha illaLah atau Allahu) dari seorang mursyid kepada muridnya, dengan silsilah talqin yang bersambung sanad silsilahnya kepada Sayidina Ali r.a. atau Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq.ra yang mengambil talqin tersebut dari Rasulullah s.a.w.. Begitu juga dengan zikir-zikir yang mathur (yang dikenal/populer) dari pada Rasulullah s.a.w., yang diwarisi melalui rantaian silsilah zikir tersebut.
Ia selalunya berkaitan mengambil riwayat zikir secara bersanad sehingga sampai kepada Rasulullah s.a.w., dan juga sampai kepada para sahabat r.a., tabi'in, para penghulu tarikat (seperti Hizbul Bahr oleh Imam Abu Al-Hasan As-Syazuli) dan sebagainya. Dalam silsilah tersebut mengandung keberkatan para masyaikh yang terkandung dalam rantai silsilah tersebut bahkan keberkatan Sayidina Rasulullah s.a.w. yang menjadi penghulu bagi silsilah zikir tersebut. Dalam rantai tersebut juga memberi pahala kepada para masyaikh yang terkandung dalam rantai silsilah tersebut seperti yang dimaksudkan dalam hadist: "Sesiapa yang mengadakan sesuatu amalan yang baik, maka baginya pahala terhadap amalannya, dan baginya juga pahala mereka yang mengikutinya sehingga hari Kiamat" (Hadist riwayat Muslim).
Ada orang yang meriwayatkan zikir ini secara umum (seperti meriwayatkan salawat-salawat dan zikir-zikir mathur (dari Rasulullah s.a.w.), hizb an-nawawi, ratib al-haddad, hizbul bahr, dalail khairat dan sebagainya, sedangkan talqin zikir pula diambil secara khusus daripada seorang mursyid yang bersambung silsilah talqin tersebut daripada Sayidina Hasan Al-Basri r.a. yang mengambilnya daripada Sayidina Ali r.a. yang mengambilnya daripada Sayidina Wa Maulana Rasulullah s.a.w..
2) Diroyah
Dalam ilmu tasawwuf, diroyah daripada ilmu tasawwuf adalah berkenaan dengan perasaan hati (zauq), akhlak-akhlak terpuji melalui contoh-contoh teladan, yang mana ianya diwarisi dari seseorang guru yang mewarisinya daripada gurunya terdahulu, sehingga bersambung silsilah warisan tersebut kepada para sahabat r.a. yang mewarisinya daripada Rasulullah s.a.w.
Diroyah dalam arti kata lain, dalam ilmu tasawwuf adalah, tarbiah dari seorang guru mursyid kepada muridnya, yang mana silsilah tarbiah tersebut bersambung kepada Rasulullah s.a.w. yang mentarbiah para sahabat Baginda r.a.
Rasulullah s.a.w. bukan sekadar menyampaikan pesanan dan nasihat serta mengajarkan zikir-zikir kepada para sahabat r.a. semata-mata, bahkan Baginda s.a.w. juga mentarbiah (mendidik) para sahabat dengan memperbaiki akhlak mereka secara individu, menunjukkan contoh akhlak yang terpuji sebagai qudwah kepada mereka, dan memindahkan kefahaman-kefahaman zauqi kepada para sahabat r.a. dengan proses mujahadah tersebut.
Rasulullah s.a.w. adalah suatu simbol akhlak yang terpuji buat para sahabat untuk merealisasikan akhlak tersebut dalam hidup mereka. Rasulullah s.a.w. adalah dokter yang senantiasa tidak pernah jemu memperhatikan penyakit-penyakit hati mereka, lalu memberi penawarnya dengan izin Allah s.w.t.. Rasulullah s.a.w. adalah simbol kemanisan iman yang menghayati segenap makna iman, lalu diterjemahkan dalam kehidupan dengan akhlak-akhlak hati yang tinggi, seperti ridha kepada Allah s.w.t.dan sebagainya.
Seterusnya, para sahabat r.a. yang agung mewarisi manhaj tarbiah Nabawi tersebut, lalu menyebarkannya dengan mentarbiah para tabi'in sehingga warisan manhaj tarbiah itu terus diwarisi sehingga hari ini, oleh mursyid-mursyid yang kamil, dalam sebuah madrasah yang dikenali setelah itu sebagai, madrasah sufiyah.
Mereka ini mewarisi silsilah zikir-zikir dari Rasulullah s.a.w., mewarisi tarbiah yang pernah disampaikan oleh Rasulullah s.a.w. kepada para sahabat, melalui silsilah tarbiah yang mereka ambil dari guru-guru mursyid mereka terdahulu.
Mereka bukan sekadar mewarisi hadist-hadist Nabi s.a.w. secara riwayat, tetapi juga mewarisi kefahaman-kefahaman yang tinggi dari pada hadist-hadist tersebut melalui jalan tarbiah, mujahadah dan bimbingan daripada para mursyid mereka yang juga turut melalui jalan yang sama, sebagaimana jalan yang pernah dilalui oleh para sahabat r.a., yang mendapat bimbingan daripada Baginda Nabi Rasulullah s.a.w..
Ahli riwayat semata-mata, yang meriwayatkan kisah-kisah para sufi khususnya, yang meriwayatkan ungkapan-ungkapan mereka semata-mata, namun tidak mewarisi kefahaman dan zauq (perasaan) kerohanian mereka, melalui proses mujahadah melawan hawa nafsu dan proses tarbiah, akan menyebabkan pemahaman mereka menghukum ke atas para sufi melalui pemahaman yang salah dan kurang tepat mereka terhadap ungkapan para sufi, atau ada yang akan salah faham lalu mengikut kesesatan kefahamannya yang salah terhadap ungkapan para sufi tersebut.
Ilmu tasawwuf adalah ilmu praktikal, bukan ilmu berbahas. Para ulama' sufi menyusun ilmu tersebut dari sejumlah hadist-hadist Nabi s.a.w. berkenaan dengan akhlak dan tarbiah Nabi s.a.w., untuk seterusnya diamalkan oleh para murid yang ingin sampai kepada Allah s.w.t. dan yang menginginkan keridhaanNya.
Jalan untuk menterjemahkan ilmu tasawwuf ke dalam kehidupan adalah dengan melalui proses tarbiah dan bimbingan seseorang mursyid yang kamil, agar semua teori berkenaan akhlak-akhlak mulia dapat direalisasikan dalam dirinya di dalam kehidupan sehari-hari. Nabi s.a.w. adalah murobbi teragung yang turut mentarbiah para sahabat r.a. dan seterusnya para tabi'in pula mengambil tarbiah daripada para sahabat r.a. dan begitulah kesinambungan silsilah tarbiah sehingga hari ini, terutamanya melalui madrasah sufiyah (ath-Thariqah).
Tarbiah, suhbah (hubungan persahabatan dengan seseorang guru mursyid), mulazamah (senantiasa bersama-sama dengan mursyid), khidmat (berkhidmat kepada para guru dan para ikhwan) dalam ilmu tasawwuf adalah diroyah sedangkan riwayat-riwayat zikir, bai'ah tabarruk, talqin zikir tabarruk (sekedar mengambil berkat), menghadiri majlis-majlis zikir secara umum dan sebagainya, hanyalah sekedar riwayah dalam ilmu tasawwuf.
Orang yang ingin sampai (wushul) kepada Allah s.w.t. perlu mengambil ilmu tasawwuf (akhlak, tarbiah atau tazkiyah an-nufus) secara riwayah dan diroyah sekaligus, dengan mengambil seorang mursyid yang kamil sebagai pembimbing khusus baginya dalam perjalanan menuju Allah s.w.t., karena pada suhbah (bersahabat dengan mursyid) dan khidmah (berkhidmat kepada para guru dan ahbab) inilah rahasia kejayaan pembentukan jiwa mulia para sahabat r.a. yang dahulunya suram dengan noda jahiliyyah.
Di sinilah letaknya kepentingan mendapat bimbingan daripada seseorang mursyid yang kamil, yaitu dalam rangka ingin mempermudahkan jalan untuk sampai kepada Allah s.w.t.. Semoga Allah s.w.t. menjadikan kita dalam kalangan orang-orang yang menujuNya dengan menyampaikan kita kepada orang-orang yang boleh membawa kita kepadaNya dengan bantuanNya.
Apa yang baik itu dari Allah s.w.t. dan apa yang buruk itu dari kelemahan diri penulis itu sendiri. Semoga Allah s.w.t. mengampuni segala dosa dan kesalahan penulis yang serba kurang lagi faqir ini.
Wa minal Allahu taufiq hidayah wal inayah, wal afu minkum, wa bihurmati Habi wa bihurmati al-Fatihah !
Wallahu a'lam…
Sidoarjo, 27 September
Danny Ma'shoum / Nurul Huda Al Junaidy
Alloohumma sholli 'ala Sayyidina Muhammad
BalasHapusTerima kasih tuan dapat saya ilmu
BalasHapusMasyaAllah
BalasHapusSabaqa'l Mufarriduun
http://museummufarridiyyah.blogspot.com