Minggu, 02 Agustus 2015

SYATHOHAT PARA GURU SHUFI

SYATHOHATNYA PARA MAESTRO SHUFI

بسم الله الرحمن الرحيم

Syathohat,  atau dalam bahasa sederhananya adalah isyarat atau aktivitas ( ruhaniyah ), yang ditimbulkan dari celoteh bathin sebagian para shufi yang disebabkan oleh fana'nya mereka kepada Alloh, yang telah memenuhinya dengan Nur Ilahiyah,  sehingga terkadang menyebabkan " salah paham " dalam pandangan awam terutama sebagian fuqoha. Mereka para fuqoha maupun para awam tentang dunia metafisis dari mistik shufi seringkali menjustifikasi dengan label kufur,  gila, dan istilah-istilah negatif lainnya yang disandarkan pada sebagian kaum shufi yang sedang " blank " karena saking mendalamnya rasa cinta kepada Alloh SWT.

Pada kesempatan kali ini,  saya mencoba memberi gambaran agak detail dengan maksud agar " miss perception " dari sebagian orang yang mengingkari ahwal bathiniyah para shufi mulai sedikit mendapat pencerahan logika ataupun nalar,  sekalipun beberapa orang mungkin sulit memahami bahasa celoteh bathin seperti ini,  karena hal ini adalah masalah bahasa rasa,  sugesti, rumus-rumus maupun kelokan-kelokan yang diucapkan oleh sebagian shufi yang mengalami " blank ". Sebagaimana kata Imam Dzin Nun Al-Mishri, salah seorang murid Imam Malik ( pendiri Madzhab Maliki ) yang para ahli tashowwuf menggelarinya sebagai bapak ahli makrifat. Beliau mengatakan dalam salah satu maqolahnya yang amat terkenal :

من لم يذق لم يعرف

" Barang siapa tidak pernah merasai,  maka tidak akan mengerti "

Syathohat,  dalam kitab Mu'jam al-Alfadz Ash-Shufiyah, karya DR. Hasan Asy-Syarqowy, Hal. 182, cetakan pertama tahun 1987, penerbit Mukhtar-Mesir, mengatakan ;

الشطح في لغة العرب بمعنى الحركة,  اى شطح يشطح اذا تحرك وفاض علي جانبيه كالنهر الضيق من حافيته اذا زاد الماء فيه. وكذالك حال المريد اذا زاد وجده، ولم يستطع حمل ما يريد على قلبه من سطوة انوار حقائقه شطح ذلك على لسانه، فيترجم عنه بعبارة غريبة، تستشكل مفهوم السامعين، الا اذا كان المريدين الصادقين، ويكون متبحرا في هذا العلم، وسمى ذلك على لسان اهل الاصطلاح شطحا (¹) اللمع، ص. ٢١٣.

Asy-syath hu,  menurut bahasa arab berarti pergerakan atau aktifitas. Ketika terjadi aktifitas dan menjalar pada segala sisi seperti halnya sungai yang sempit ( yang dibatasi sisinya ) maka akan meluber sampai pada tepinya ketika bertambahnya volume air didalamnya. Begitupula keadaan Murid ( thoriqoh ) ketika bertambah wajd ( mendalamnya rasa cinta kepada Alloh ) nya serta tidak mampu menopang atau membawa apa yang diinginkan hatinya dari pengaruh kendali Nur-nur haqiqot yang bersemayam dalam qolbunya, maka terjadilah aktifitas tersebut pada ucapan lisannya dan menterjemahkannya dengan ungkapan-ungkapan aneh ( ghorib ), yang menimbulkan kemusykilan pemahaman terhadap orang-orang yang mendengarnya. Kecuali jika itu terjadi dari murid-murid yang shodiq, maka jadilah ilmu itu menyamudera. Keadaan ini dalam pandangan ahli istilah dinamakan " Syathohat ( syath hu )". (¹) Al-Luma', Hal. 213 karya Imam Abu Nasr As-Sarroj.

Tokoh-tokoh shufi yang mengalami syathohat semisal Husein Manshur Al-Hallaj,  Abu Yazid Al-Busthomi, Muhyiddin Ibnu Arobi, Umar ibnul Faridh, Maulana Jalaluddin Rumi, At-Tilmitsani adalah sebagian besar tokoh-tokoh yang ucapan nyelenehnya menjadi bahan perdebatan dikalangan fuqoha maupun akademisi pemerhati peradaban shufisme.

Dalam mistisme jawa, diera Wali Songo kita kenal tokoh yang bernama Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang. Di Kalimantan Selatan kita kenal Syeh Abdul Hamid Abulung yang hidup diera Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari.  Di sumatera kita kenal penyair mistis Syaikh Hamzah Al-Fanshuri yang memberi corak sendiri dalam ajaran sufistik nya.

Dibawah ini saya tampilkan beberapa ucapan-ucapan sebagian tokoh Shufi dalam syathohatnya ;

1. Husein Manshur Al-Hallaj.

ما في جبة الا الله

" Tiada dibalik jubah ini melainkan Alloh "

2. Abu Yazid Al-Busthomi / Bayazith ( khusus syathohat Abu Yazid ini saya sadur dari kitab ".  ابو يزيد البسطامى، المجموعة الصوفية الكاملة " Abu Yazid Al-Basthomiy,  al Majmuah ash Shufiyyah al Kamilah, Hal. 45, yang ditahqiq oleh Qosim Muhammad Abbas, penerbit Al-Mada,  cetakan pertama tahun 2004, Damaskus-Syiria. Dalam kitab ini ada sekitar 94 syathohat Abu Yazid akan tetapi saya cukupkan beberapa saja,  diantaranya adalah ;

انا اللوح المحفوظ

" Akulah Lauh al mahfudz itu "

انا ربى الاعلى

" Akulah Tuhan Yang Maha Tinggi "

تالله ان لوائى اعظم من لواء محمد صلعم، لوائى من نور تحته الجان والجن والإنس كلهم من النبيين

" Demi Alloh, sesungguhnya pangkat ( panji ) ku lebih agung dari pangkat ( panji ) Muhammad SAW. Panji ku dari cahaya ( Nur ) yang dibawahnya  terdapat golongan Peri, jin dan manusia yang semuanya dari golongan para Nabi ".

بطشى اشد من بطشه بى

" Kekuatanku lebih kuat daripada kekuatanNya padaku "

سبحانى ما اعظم شٱنى

" Maha suci aku, tiada yang lebih agung daripadaku "

طاعتك لى يا رب اعظم من طاعتى لك

" KetaatanMu kepadaku wahai Tuhan, lebih besar daripada ketaatanku kepadaMu "

كنت اطوف حول البيت وٱطلبه، فلما وصلت اليه رايت البيت يطوف حولى

" Aku melakukan thowaf sekeliling Baitulloh dan mencariNya. Maka ketika aku sampai kepadaNya, aku melihat Baitulloh itu thowaf mengelilingiku "

3. Umar ibnul Faridh.

وان خطرت لى في سواك ارادة   على خاطري سهوا قضيت بردتي

" Apabila tergerak dalam hatiku keinginan selainMu sebab kelalaianku,  maka hukumlah aku sebagai hambaMu yang murtad "

Imam As-Suyuthi memecah simbol ucapan Ibnu Faridh ini dalam kitabnya Al-Hawi lil Fatawi,  Jilid 2, Hal. 282, pada Bab Al Fatawi Al Muta'alliqotu Bit Tashowwuf ( ini sudah pernah saya upload pada status Waliyulloh al mastur )

4. Ibnu Aroby.

Banyak syair Ibnu Arabi yang menjebak pembaca awam pada pemahaman yang amat dangkal. Beberapa di antaranya :

يامن يرانى ولا اراه كم ذا أراه ولا يرانى

Aduhai, Dia yang melihatku
dan aku tidak melihat-Nya
Betapa sering aku melihat-Nya
Dan Dia tidak melihatku

Mendengar syair ini mereka marah. Kata mereka : “Bagaimana Tuhan tidak melihat dia. Ibnu Arabi segera menjelaskannya dengan manis:

يا من يرانى مجرما ولا أراه آخذا
كم ذا أراه منعما ولا يرانى لائذا

Aduhai Dia yang melihatku pendosa
Tetapi aku tidak melihat-Nya marah
Betapa sering aku melihat-Nya pemurah
Meski Dia tidak melihat aku minta ampun

Atau syair yang diungkapkannya pada kesempatan yang lain :

فيحمدنى وأحمده ويعبدنى واعبده

Dia memujiku, aku memuji-Nya
Dia mengabdi padaku, aku mengabdi padanya,

Mereka juga marah. Bagaimana mungkin Tuhan menyembah dia. Ibnu Arabi segera menerangkan. Arti “Dia memujiku” adalah Dia senang karena aku taat pada-Nya, dan arti “Dia mengabdi padaku” adalah Dia mengabulkan doaku.

Kesatuan Agama-agama

Pada bagian lain dari buku kompilasi “Tarjuman al Asywaq” ini, kita menemukan pernyataannya yang sering disebut sebagai pandangan “Wahdah al Adyan” (kesatuan agama-agama) dari sang sufi besar ini. Ibnu Arabi menyatakan:

لقد صار قلبى قابلا كل صورة
فمرعى لغزلان ودير لرهبان
وبيت لاوثان وكعبة طا ئف
والاواح توراة ومصحف قرآن
أدين بدين الحب اين توجهت
ركا ئبه فالحب دينى وإيما نى

Hatiku telah siap menyambut
Segala realitas
Padang rumput bagi rusa
Kuil para Rahib

Rumah berhala-berhala
Ka’bah orang tawaf
Sabak-sabak Taurat
Lembaran al Qur’an

Aku mabuk Cinta
Kemanapun Dia bergerak
Di situ aku mencinta
Cinta kepada-Nya
Adalah agama dan keyakinanku.

5. Maulana Jalaluddin Rumi.

Apabila seekor lebah tercelup dalam madu, seluruh anggota tubuh-nya terserap oleh keadaan yang sama, dan ia tidak dapat bergerak. Demikian pula istilah istighraq (terserap dalam Tuhan) digunakan untuk seseorang yang tidak mempunyai kesadaran atau inisiatif ataupun sendiri. Setiap tindakannya bukan miliknya. Apabila ia masih meronta dalam air, atau apabila ia berseru, ”Oh, aku tenggelam,” ia tidak bisa di-katakan berada dalam keadaan terserap. Inilah yang diisyaratkan oleh kata-kata Ana al-Haqq (Aku adalah Tuhan). Orang menganggap itu adalah pernyataan yang sombong, padahal adalah benar-benar sombong pernyataan yang menyatakan Ana al-’abd (Aku adalah hamba Tuhan); dan ”Ana al-Haqq” (Aku adalah Tuhan) adalah sebuah ungkapan kerendahan hati yang sangat dalam. Orang yan menyatakan Ana al-’abd (Aku adalah hamba Tuhan) menegaskan adanya dua wujud, wujudnya sendiri dan wujud Tuhan, sedangkan dia yang menyatakan Ana al-Haqq (Aku adalah Tuhan) membuat dirinya bukan-wujud dan menyerahkan dirinya seraya berseru ”Aku adalah Tuhan,” yakni ”Aku tiada, Dia-lah segalanya: tiada wujud kecuali wujud Tuhan. Inilah ke-rendahan hati dan penghinaan diri yang berlebihan.

Jalaluddin Rumi, Dari Kitab ;Fihi ma Fihi, Hal. 49 ( terjemah ).

6. Syeh Siti Jenar.

Dalam kitab Babad Tanah Pasundan yang ditulis oleh pangeran Sulaiman Sulendraningrat.

" Siti Jenar tidak ada,  yang ada hanya Alloh " dilain waktu dia berkata ," Alloh tidak ada,  yang ada Siti Jenar ".

Saya cukupkan sampai disini dikarenakan masih banyak yang belum saya tulis dari ungkapan tokoh-tokoh lainnya.
Sekarang mari kita telusuri sebab yang melatar belakangi timbulnya ungkapan-ungkapan syathohat yang keluar melalui lisan sebagian para Ahlulloh ini.

MATILAH SEBELUM ENGKAU MATI

Pengertian " Matilah sebelum engkau mati " adalah sebuah pengertian dari salah satu jalan untuk musyahadah ( penyaksikan ) kepada Alloh, yaitu melalui mati. Tapi mati disini bukan matinya jasad ketika terpisah dengan roh, tapi matinya nafsu, sebagaimana sabda Nabi SAW ;

موتوا قبل ان تموتوا

" Rasakanlah mati sebelum engkau mati ".

dalam kitab Al-Hikam, Abu Ma'jam berkata :

من لم يمت لم ير الحق

" Barang siapa tidak merasakan mati, maka ia tidak dapat merasakan ( melihat atau musyahadah ) dengan Al-Haqqu Ta'ala ".

jadi yang dimaksud mati disini adalah hidupnya hati karena matinya nafsu. Dan hati ( bashiroh ) akan hidup pada saat matinya nafsu.

Imam Abul Abbas Al-Mursy dalam kitab Al-Hikam berkata :

لا يدخل على الله الا بابين : من باب الفناء الاكبر، وهو الموت الطبيعى ، ومن باب الفناء الذي تعنيه هذه الطائفة

" Tiada jalan masuk / musyahadah dengan Alloh kecuali melalui dua pintu, dan salah satu dari dua pintu itu ialah pintu " Fana'ul akbar " yaitu mati thobi'i. Dan merupakan setengah daripada pintu fana' menurut pengertian ahli Tashowwuf ".

Adapun pengertian matinya nafsu untuk hidupnya hati dalam musyahadah dapat ditempuh pada 4 tingkat :

(1). MATI THOBI'I.

Menurut sebagian para ahli thoriqoh, bahwa mati thobi'i terjadi dengan karunia Alloh pada saat dzikir qolbi dan dzikir lathoif ( dzikir-dzikir ini biasanya sesuai anjuran Mursyid Thoriqoh ), serta mati Thobi'i ini merupakan pintu pertama musyahadah dengan Alloh. Pintu pertama ini dilalui pada saat seorang salik dalam melakukan dzikir qolbi dalam dzikir lathoif. Maka dengan karunia Alloh ia fana' atau lenyap pendengarannya secara lahir dimana telinga batin mendengar bunyi " Alloh..Alloh..Alloh..". Pada tingkat ini, dzikir qolbi pada mulanya hati berdzikir, kemudian dari hati naik kemulut dimana lidah berdzikir dengan sendirinya. Dan dalam kondisi seperti ini alam perasaan mulai hilang atau mati thobi'i. Pada saat-saat seperti ini akal pikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai ilham yang tiba-tiba Nur Ilahi terbit dalam hati muhadhoroh ( berdialog ) hati dengan Alloh, sehingga telinga bathin mendengar

انني انا الله

" Sesungguhnya Aku ini adalah Alloh " yang bunyi ini naik kemulut dimana lidah bergerak sendiri mengucapkan " Alloh..Alloh..Alloh..". Dalam tingkatan-tingkatan bathin seperti ini, salik telah mulai memasuki pintu fana' pertama, yang dinamakan Fana' fil af'al dan Tajalli fil af'al dimana gerak dan diam adalah pada Alloh .

لا فاعل الا الله

" Tiada fail ( yang gerak dan diam ) kecuali Alloh ".

(2). MATI MAKNAWI.

Menurut sebagian ahli Thoriqoh, bahwa " Mati Maknawi " ini terjadi dengan karunia dari Alloh pada saat seseorang atau salik melakukan dzikir Lathifatur-Ruh dalam dzikir lathif. Terjadinya itu adalah sebagai ilham yang dimana secara tiba-tiba Nur Ilahiy terbit dalam hati. Ketika itu penglihatan secara lahir menjadi lenyap dan mata bathin menguasai penglihatan ( Bashirohnya mendominasi penglihatan ). Dzikir " Alloh....Alloh..Alloh.." pada tingkat ini semakin meresap terus pada diri dimana dzikir mulai terasa panasnya disekujur tubuh dan disetiap bulu roma di badan. Dalam kondisi seperti ini, perasaan ke-insanan tercengang, bimbang, semua persendian gemetar, bisa juga terus pingsan. Sifat keinsanan lebur diliputi sifat Ketuhanan.
Dalam tingkat ini, salik telah memasuki fana' ke-dua yang dinamakan " Fana' fis Shifat / Tajalli fis sifat ". Sifat kebaharuan dan kekurangan serta alam perasaan lenyap atau fana' dan yang tinggal adalah sifat Tuhan yang sempurna dan azali.

قوله ، لا حيّ إلا الله

" Tiada hidup selain Alloh ".

(3). MATI SURI.

Pada tingkat selanjutnya adalah " Mati Suri ". Mati suri ini terjadi dengan karunia Alloh pada saat seseorang atau salik melakukan dzikir Lathifatus Sirri dalam dzikir lathoif. Pada tingkat ke-tiga ini, seseorang atau salik telah memasuki pintu Musyahadah dengan Alloh. Ketika itu segala ke-insanan lenyap atau fana', alam wujud yang gelap ( ظلمة ) telah ditelan oleh alam ghaib atau malakut ( عالم الملكوت ) yang penuh dengan Nur Cahaya. Dalam pada ini, yang Baqo' adalah Nurulloh semata, Nur Af'alulloh, Nur Shifatulloh, Nur Asmaulloh, Nur Dzatulloh atau Nurun 'ala Nuur.
Sebagaimana firman Alloh ;

....نور على نور يهدى الله لنوره من يشاء....

" Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki.." [ Suroh An-Nur, ayat 35 ]

لا محمود إلا الله

" Tiada yang dipuji melainkan Alloh ".

(4). MATI HISSI.

Selanjutnya ialah Mati Hissi. Mati Hissi ini terjadi dengan karunia Alloh pada saat seseorang atau salik melakukan dzikir Lathifatul Hafi dalam dzikir lathoif. Pada tingkat ke-empat ini, seseorang atau salik telah sampai ketingkat yang lebih tinggi untuk mencapai ma'rifah ( Ma'rifat Billah ) sebagai maqom tertinggi.
Dalam pada ini, lenyap ( fana' ) sudah segala sifat-sifat keinsanan yang baharu dan yang tinggal adalah sifat-sifat Tuhan yang qodim atau azali. Ketika itu menanjaklah bathin keinsanan lebur kedalam keBaqo'an Alloh Yang Qodim atau bersatunya 'Abid dan Ma'bud ( yang menyembah dan Yang Di Sembah ). Dalam tingkat puncak tertinggi ini, seseorang atau salik telah mengalami keadaan yang tak pernah sama sekali dilihat oleh mata, didengar oleh telinga maupun tak sama sekalipun terbersit dalam hati sanubari manusia dan tidak mungkin dapat disifati. Tetapi akan mengerti sendiri bagi siapa saja yang telah merasakan sendiri, sebagaimana kata sufi agung Dzin Nun Al-Mishri ;

من لم يذق لم يعرف

" Siapa saja yang tidak pernah merasakan maka tidak akan mengerti ".

Untuk bisa mencapai keadaan Musyahadah seperti tersebut diatas ( tahapan-tahapan diatas ) adalah dengan jalan mujahadah, karena siapa saja yang menghiasi lahiriyahnya dengan mujahadah maka Alloh akan memperbaiki sirr atau hatinya dengan mujahadah.

——————

PEMBAGIAN TAJALLI KETIKA FANA' MENURUT KITAB INSANUL KAMIL IMAM ABDUL KARIM AL-JILLI

√. Tingkat Ke-1 : TAJALLI AF-'AL

تجلى سبحانه وتعالى في افعاله عبارة عن مشهد يرى فيه العبد جريان القدرة في الأشياء فيشهده سبحانه وتعالى محركها ومسكنها ينفي الفعل عن العبد واثباته للحق

" Tajallinya Alloh SWT dalam Af-'alnya, ialah ibarat penglihatan dimaba seorang hamba Alloh melihat padanya berlaku Qudrot Alloh pada sesuatu. Ketika itu, ia melihat Tuhan, maka tiadalah fiil ( perbuatan ) lagi bagi hamba. Gerak dan diam serta itsbat ( ketetapan ) adalah bagi Alloh semata ".

Jadi Tajalli Af'al ialah nafinya atau lenyapnya fiil ( perbuatan ) daripada seseorang hamba dan itsbatnya yang ada ialah Fiil Alloh semata. Sebagaimana firman Alloh ;

(وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ) [Surat As-Saaffat : 96]

" Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".

لا فاعل الا الله  ( Tiada fail / pelaku perbuatan kecuali Alloh )

√. Tingkat Ke-2 : TAJALLI ASMA'

من تجلى له سبحانه وتعالى من حيث اسمه الظاهر فكشف له عن سر ظهور النور الالهى في كثائف المحدثات ليكون طريقا الى معرفة ان الله هو الظاهر ، فعند ذلك تجلى له بانه الظاهر ، فبطن العبد ببطون فناء الخلق في ظهور وجود الحق .

" Siapapun baginya Tajalli Alloh SWT dari segi Asma-Nya yang disebut, maka terbukalah baginya dari nampaknya Nur Ilahiy dalam keadaan biasa, maksudnya adalah agar ia mendapatkan jalan kepada Makrifat, bahwa sesungguhnya Alloh adalah Yang Nyata ( terlihat ). Maka pada saat itu Tajallilah Alloh baginya, karena sesungguhnya Alloh adalah Adz-Dzhohir. Dan ketika itu bertempatlah hamba pada tempat yang bathin ( tidak tampak ) karena fana' / leburnya sifat-sifat kebaharuannya ketika nampaknya Wujud Al-Haqqu Ta'alaa yang Qodim ".

Jadi Tajalli Asma' adalah fana'nya hamba daripada dirinya sendiri dan bebasnya hamba dari genggaman sifat-sifat kebaharuan dan lepasnya ikatan dari dirinya atau tubuh kasarnya. Ketika itu ia fana' dalam Baqo'nya Alloh karena sucinya ia dari sifat-sifat kebaharuan. Bahwa sesungguhnya Tajalli Asma' sebenarnya tiada yang dilihat kecuali Dzatusshorfi dan bukannya melihat Asma'. Dalam hal ini bisa diambil perumpamaan sebagai berikut :

(وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ) [Surat Al-Araf : 143]

" Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".

مثال ذلك بقوله تعالى : لن ترانى يا موسى يعنى لانك اذا كنت موجودا فانا مفقود عنك ، وان وجدتنى فانا مفقود . ولا يمكن للحادث ان يثبت عند ظهور القديم ، وعند ذلك ، فعدم موسى وصار العبد كأن لم يكن ويبقى الحق كأن لم يزل .

Perumpamaan untuk itu ialah dengan firmana Alloh kepada Nabi Musa, " Kamu tidak dapat melihat Aku ( لن ترانى ) " , artinya bahwa sesungguhnya kamu Musa, selama kamu admma pada dirimu, maka Aku ( Alloh ) sirna ( tak terlihat ) dari pandanganmu Musa. Dan ketika kamu melihat Aku, maka ketika itu engkaupun tiada ( fana' ) ". Tidaklah mungkin bagi yang baharu ada ketika nampaknya yang Qodim. Jadi pengertiannya adalah, " Maka dengan fana'nya Musa , jadilah ia bersifat tiada, dan Baqo'lah Alloh yang bersifat kekal.

√. Tingkat Ke-3 : TAJALLI SIFAT

تجلى الصفات ، عبارة عن قبول ذات العبد الأتصاف بصفات الرب قبولا اصليا حكميا قطعيا .

" Tajalli Sifat adalah ibarat penerimaan tubuh seorang hamba Alloh berlaku sifat dengan sifat-sifat Ketuhanan, suatu penerimaan asli dan ketentuan pasti ".

Artinya, manakala Alloh SWT menghendaki terjadinya Tajalli atas hambanya dengan namaNya atau sifatNya, maka dalam keadaan itu lenyaplah ( Fana' ) seorang hamba dari dirinya dan ketika itu berubahlah daripada wujudnya. Manakala telah hilang cahaya keinsanannya dan telah fana' ruh kebaharuannya, disitulah Al-Haqqu Ta'ala mengambil tempat pada hambanya tanpa hulul daripada Dzat-Nya sebagai ganti dari perubahan hamba itu dari wujudnya, karena sebenarnya Tajallinya Alloh itu terhadap hambanya adalah sebagai karunia dari Alloh semata.

√. Tingkat Ke-4 : TAJALLI DZAT

Tajjali ketika Fana' fiDzzat adalah sebagai tingkatan paling puncak atau tertinggi,

لا موجود علي الاطلاق الا الله

" Tiada wujud secara muthlaq melainkan Alloh ".

Sebelum pada pengertian ta'rif dari Tajalli Dzat saya berikan sedikit uraian agar lebih mudah dipahami.

Pada fana' tingkat ini ( Tajalli Dzat ) seseorang akan memperoleh perasaan batin pada suatu keadaan yang tak berarah, tidak ada lagi kanan atau kiri, depan atau belakang, atas atau bawah. Intinya ia berada pada suatu keadaan tak terbatas dan tak bertepi. Dan dalam keadaan ini juga seseorang yang fana' fi Dzat mencapai derajat " Syuhudul Haqqi bil Haqqi ", dia telah lenyap dari dirinya sendiri dan dalam situasi ia hanya berada dalam baqo'nya Alloh semata, atau sebagai kesimpulannya bahwa ia telah hancur lebur kecuali wujud yang muthlaq, yaitu wujudulloh.
Adapun hikmah dari fana tingkat ini , adalah pengakuan atas ke Esa an Alloh dengan semurni-murninya, bukan sekedar pengakuan atas ke Esa an dengan ucapan syahadat, dalil-dalil atau pendapat-pendapat akal saja, dan pengakuan secara murni ini hanya dapat disaksikan dengan kemakrifatan saja.
Abu Manshur Husein Al Hallaj, mengatakan dalam syairnya;

قلوب العاوفين لها عيون, ما لا يرى للناظرين

" Hatinya orang 'Arif itu mempunyai mata memandang, matanya itu dapat melihat apa yang tak dapat dilihat pandangan mata biasa ".

كان الله ولا شيئ معه وهو الآن على ما عليه كان

" Adalah wujud Alloh itu baqo' dan tidak ada sesuatupun besertanya, Alloh tetap pada wujudnya sebagaimana keadaannya kekal semula ".

Maka mencapai makrifah billah dengan jalan akal pikiran itu mustahil, para Ahlut Tashowwuf berkata ;

وللعقول حدود لا تجاوزها, والعجز عن الادراك ادراك

" Bagi jalan pikiran itu terbatas, maka dengan jalan pikiran tidaklah Dia bisa dicapai, bila telah mengakui kelemahan diri untuk mencapai Dia, itulah tandanya Dia sudah dicapai ".

Didalam Al-Quran sudah diisyaratkan oleh Alloh untuk mencapai puncak fana' fidz Dzat tersebut, coba kita perhatikan rahasia yang diisyaratkan dari ayat ini ;

(كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ) [Surat Ar-Rahman : 26]

" Semua yang ada di bumi itu akan binasa ". Dan ayat selanjutnya ;

(وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ) [Surat Ar-Rahman : 27]

" Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan ".

Kemudian kita perhatikan bagaimana nabi Musa bermunajat kepada Alloh dengan kata-katanya yang masyhur dikalangan para Sufi dalam menuju kefana'an ;

قال موسى عليه السلام : يا رب كيف اصل اليك ؟ قال عز وجل : فارق نفسك وتعال

Nabi Musa berkata kepada Alloh ," Wahai Alloh, bagaimana agar aku sampai kepadaMu. Alloh ' azza wa jalla menjawab ," Tinggalkan ( lenyapkan ) dirimu hai Musa, baru datanglah kepadaKu ".

Apa yang diucapkan Nabi Musa tersebut adalah sebuah permintaannya kepada Alloh agar Alloh " menampakkan Diri " dihadapannya, sebagaimana yang dituturkan pada ayat ;

(وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ) [Surat Al-Araf : 143]

" Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".

Sebagai catatan akhir tentang Fana' Fi-Dzat sebagaimana disebutkan dalam kitab Insanul Kamil :

فاعلم ان الذات عبارة عمن كانت اللطيفة الالهية اذا تجلى علي عبده وافناه عن نفسه قام فيه اللطيفة الالهية فتلك اللطيفة قد تكون ذاتيةً وقد تكون صفاتيةً فاذا كانت ذاتية كان ذلك الهيكل الانساني هو الفرد الكامل

" Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya Dzat itu adalah ibarat dimana bertempat anugerah Ketuhanan. Ketika Alloh menghendaki terjadinya Tajalli ( penjelmaan ) atas hambaNya, dimana hambaNya telah mem fana' kan dari dirinya sendiri, maka bertempatlah hamba itu pada Karunia Ketuhanan. Demikianlah karunia itu, adakalanya sebagai karunia Dzat dan adakalanya karunia Sifat. Apabila terjadi karunia Dzat, maka disitulah terjadi " Tunggal Yang Kamil / Sempurna ". Maka dengan fana'nya diri hamba maka yang tinggal adalah yang Baqo' atau Dzatulloh. Dan dalam keadaan ini hamba telah berada pada situasi " Maa siwalloh " ( tiada apapun selain Alloh ) yaitu pada wujud Alloh semata ".

Disinilah pengertian dari Fana' fiDzzat sebagai tingkatan paling puncak atau tertinggi,

لا موجود علي الاطلاق الا الله

" Tiada wujud secara muthlaq melainkan Alloh ".

Wallohu a'lam Bis showab.

——————
Sidoarjo, 3 Agustus 2015
Danny Ma'shoum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar