Sabtu, 30 Mei 2015

IBNU 'AROBY, TARJUMAN AL-ASYWAQ


“Tarjuman al Asywaq” Ibnu Arabi "

Puisi-Puisi Kerinduan Ibnu Arobi

محى الدين ابو بكر محمد بن على بن عربى الحاتمى الطائى المعروف بالشيخ الاكبر والكبريت الاحمر. وهو عربى من نسل حاتم الطائى . ولد بمرسية بلد أبى العباس المرسى سنة 560ﻫ : وقرأ القرآن والحديث فى إشبيلية وأقام فيها نحو ثلاثين عاما ثم رحل الى المشرق وأخذ الحديث عن ابن عساكر وابن الجوزى وساح فى بغداد وموصل وبلاد الروم. واتسعت معرفه المتعددة . وقد توفى فى دمش سنة 638ﻫ. وقد أعطى بلاغة فى القول وعمقا فى التفكير وسعة فى الخيال. له النثر الكثير والشعر الكثير لا يعبأ بمال ولا جاه وكان كثير الشطح والتأويل. و تآليفه تبلغ نحو مائة و خمسين كتابا في ضروب مختلفة من العلوم و المعارف، و كلها عظيمة القدر و الاثر، و المنتفعون به في حياته، و بكتاباته بعد وفاته لا يحصون كثرة. و من أجل مؤلفاته: «فصوص الحكم» و «الفتوحات المكية»

Muhyiddin Ibn Arabi. Siapa yang tidak kenal dengan nama ini?. Dialah sufi paling kontroversial; seperti Imam al Ghazali, dikagumi sekaligus dicacimaki sepanjang masa. Para pengagumnya menyebut dia sang sufi (mistikus) terbesar sepanjang sejarah, dialah sang“al Syeikh al Akbar” (guru terbesar) dan “al Kibrit al Ahmar” (sumber api). Tidak ada pemilik gelar seperti ini di kalangan ulama, pemikir Islam dan mistikus sepanjang zaman, kecuali dia. Pengaruhnya demikian besar dan menyebar keseluruh pelosok bumi manusia. Hanya sedikit tokoh intelektual Islam yang memiliki pengaruh demikian besar dan meluas selama berabad-abad seperti orang ini. Kajian-kajian sufisme tidak pernah lupa, sedikit atau banyak menyebutkan namanya. Ibnu Arabi adalah seorang visioner yang sangat cerdas dan brilian. Tetapi para pembencinya menyebut dia seorang bid’ah, kafir, zindiq, dungu, orang gila, dan musyrik.[1] Doktrin-doktrin sufismenya dikecam habis-habisan, seluruhnya sebagai bersifat panteistik dan menuhankan Muhammad. Karena itu mereka selalu berupaya untuk membunuh karakternya, bahkan juga dalam arti melenyapkan fisiknya. Para pengusung dan penerus doktrin-doktrinnya juga mengalami hal serupa; dicacimaki, dihujat dan dihabisi. Sampai hari ini upaya-upaya kelompok anti Ibnu Arabi untuk melarang kaum muslimin membaca karya-karyanya dengan klaim kebenaran agama masih terus berlangsung. Buku-bukunya disarankan dibakar, atau paling ringan dilarang dibaca.

Muhyiddin, yang secara literal berarti orang yang menghidupkan agama, lahir di Mursia, Andalusia, Spanyol, tahun 1165 dari keluarga terkemuka. Ayahnya bernama Ali bin Ahmad bin Abd Allah. Dalam 30 tahun sejak kelahirannya dia tinggal di negerinya dan mengaji keilmuan Islam tradisional secara bandongan pada sejumlah ulama terkemuka pada masanya. Kepada mereka Ibnu Arabi belajar al Qur’an dan tafsrinya, hadits, nahwu-Sharaf dan fiqh. Salah satu materi keislaman yang sejak awal menarik hatinya adalah tasawuf. Materi ini pernah didiskusikan bersama filosof muslim terkemuka itu. Pertemuan dengan Ibnu Rusyd digagas ayahnya sendiri. Ibnu Arabi menceritakan pertemuan ini : “Aku memilih waktu yang tepat untuk bertemu dengan Abu al Walid Ibnu Rusyd. Dia telah mendengar pikiran-pikiranku ketika aku di pengasingan. Dalam pembicaraan yang menarik dia mengajukan pertanyaan:”Apakah jalan keluar yang kamu temukan akibat dari iluminasi dan ilham Ilahi itu?. Bukankah itu sangat spekulatif dan subyektif?. Aku jawab: “Ya dan tidak”. Mendengar jawaban ini aku melihat wajah Abu al Walid menjadi pucat”.

Masih dalam usia muda, Muhyiddin menikah dengan Maryam, teman perempuannya yang juga setia pada jalan tasawuf. Selama 40 tahun lebih setelahnya dia hidup sebagai pengembara. Dia melakukan perjalanan sebagai pencari gagasan-gagasan spiritual ke sejumlah wilayah di Spanyol, Afrika Utara dan ke berbagai negari di Timur Tengah. Beberapa negeri yang pernah disinggahinya antara lain Mesir, Baghdad, Makkah dan lain-lain. Masa-masa terakhir hidupnya dilalui di Damaskus, Suriah sambil terus menuliskan permenungan intuitifnya yang diperoleh selama pengembaraannya.

Ibnu Arabi wafat tahun 1240 M. Kuburannya berada sebuah masjid yang dikenal dengan namanya, terletak di puncak pegunungan Qasiyun. Damaskus, Siria. Para peziarah dari berbagai penjuru dunia datang ke tempat ini untuk mendapatkan berkah tokoh legendaris ini. Mereka berdoa dan mendoakannya. Itu berlangsung sepanjang tahun sampai hari ini.

Ibnu Arabi dikenal sebagai penulis paling produktif pada zamannya. Karyanya mencapai 200 buah. Sebagian menyebut jumlah lebih dari itu. Muhammad Qajjah, direktur kebudayaan Suriah mengatakan : “Huwa Aghzar Muallif fi Tarikh al Fikr al Islami bal la nubaaligh idza Qulna fi al al Tarikh al Basyari”(dialah penulis paling subur dalam sejarah pemikiran Islam bahkan tidak berlebihan jika saya katakan dalam sejarah pemikiran manusia). Bukunya yang sangat terkenal adalah “Al Futuhat al Makiyyah”, “Fushush al Hikam” dan “Tarjuman al Asywaq” berikut Syarh (ulasan) nya : “Al Dzakhair wa al A’laq”. Dua bukunya yang pertama merupakan karya masterpiecenya yang sangat terkenal di dunia sampai hari ini. Sementara dua buku yang disebut akhir adalah buku yang ingin kita baca malam yang indah ini.

Karya-karya Ibnu Arabi baik dalam bentuk prosa, puisi maupun “tausyihat”, kebanyakan ditulis dalam bahasa Persia. Sebagian lain dalam bahasa Arab. Kebanyakan karya-karyanya masih dalam bentuk manuskript. Pada masa sesudahnya buku-buku tersebut diteliti dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia, oleh para sarjana muslim maupun non muslim. Karya-karya dan pikiran-pikiran tersebut diperkenalkan, disebarkan dan diberi ulasan panjang lebar oleh para muridnya yang terkenal sambil melakukan pembelaan terhadap gurunya. Beberapa di antaranya yang bisa disebut adalah ; Shadr al Din al Qunawi (w. 887 H/1274 M) dalam ”Miftah al Ghaib”, Abd al Karim al Jilli (767-805 H), Jalal al Din al Suyuthi, dalam “Tanbih al Ghabiy fi Tabri-ah Ibn Arabi”, dan Abd al Wahhab al Sya’rani (w. 1565), dalam “Al Yawaqit wa al Jawahir fi Bayan ‘Aqaid al Akabir” dan “Al Kibrit al Ahmar fi Bayan Ulum al Syeikh al Akbar”. Mereka adalah nama-nama besar dalam dunia mistisisme Islam yang dikenal luas. Tulisan-tulisan Ibnu Arabi didiskusikan dengan apresiatif dan dipuji. Tetapi pada waktu yang sama dia disumpahserapah dengan penuh kemarahan oleh para pembencinya yang pada umumnya adalah para ahli fiqh dan ahli hadits. Sejarah peradaban Islam mencatat bahwa karya-karya dan gagasan-gagasan spiritual Ibnu Arabi menjadi sumber inspirasi yang sangat kaya raya dan paling dinamis bagi banyak sufi dan para intelektual terkemuka sesudahnya bahkan sampai hari ini. Pikiran-pikiran al Syeikh al Akbar ini dinilai bagaikan lautan yang tak pernah kering. Suhrawardi, sufi terbunuh, menggambarkannya sebagai “sebuah lautan kebenaran-kebenaran Ilahi”.

Akan tetapi harus segera dikatakan bahwa karya-karya Ibnu Arabi bersifat sangat akademis, filosofis dan begitu canggih, sehingga amat sulit untuk dapat dipahami oleh kebanyakan orang. Lebih-lebih karya antologi puitiknya, seperti Tarjuman ini, atau“tausyihat”nya. Sedemikian rumitnya memahami karya-karya Ibnu Arabi, sebagian orang meragukan bahwa karya-karyanya tidak dihasilkan dari kesungguhan mental dan intelektual, melainkan dari ilham dan pengalaman mistiknya.

Tarjuman adalah salah satu kumpulan puisi mistisnya yang paling dikenal luas, sekaligus paling sulit diterjemahkan. Sayang, tidak banyak buku yang mengupas tuntas buku ini. Saya kira hanya pembaca yang amat terpelajar yang sabar dan sudah terlatih dengan kepekaan mendalam dan tinggi pada keilmuan Islam ; teologi, yurisprudensi (fiqh), sejarah dan filsafat yang diharapkan mampu memahami karya-karyanya dengan baik. Pembaca yang terbiasa dengan pemahaman Islam tekstualis dan eksoteris bukan hanya tidak mampu mengapresiasi, melainkan juga sering salah paham, apriori, tersesat, menyesatkan, mengafirkan dan bahkan berusaha membunuhnya. Saya adalah bagian dari orang awam, tetapi saya tidak ingin menyesatkan orang lain apalagi mengkafirkan dan menghalalkan daranya. Saya ingin memahami dengan sebaiknya-baiknya tentang pikiran orang besar ini sejauh yang dapat saya lakukan. Untuk ini saya harus berjalan dengan tertatih-tatih, meletihkan, “menyiksa” dan sangat mungkin gagal.

Gagasan Ibnu Arabi

Gagasan utama sufi besar ini adalah doktrinnya tentang Wahdah al Wujud (kesatuan wujud, Kesatuan Eksistensi) dan Al Insan al Kamil (manusia paripurna) atau Hakikat Muhammadiyyah. Gagasannya yang kedua ini dielaborasi lebih tajam oleh pengagumnya Abd al Karim al Jili. Karya al Jili; “Al Insan al Kamil fi Ma’rifah al Awakhir wa al Awail”, agaknya diinspirasi kuat oleh pikiran-pikiran Ibnu Arabi. Melalui doktrin Wahdah al Wujudnya dia menegaskan bahwa Tuhanlah satu-satunya Eksistensi yang riil. Segala hal dalam ruang semesta adalah kenihilan belaka. Lenyap. Tuhan adalah Realitas dalam segala yang wujud. Salah satu ucapannya dalam “Al Futuhat al Makiyyah” yang sering dikutip orang adalah :

فلولاه ولو لا نا لما كان الذى كان

Andai saja tiada Dia
Dan tiada aku
Niscaya tiadalah yang ada

Atau “Wa fi Kulli Syay-in lahu Aayah tadullu ‘ala Annahu ‘Ainuhu”.[2]

“Dan pada segala hal ada tanda yang menunjukkan bahwa ia adalah Dia”

Pada saat lain Ibnu Arabi juga mengatakan :

رأيت الحق فى الاعيان حقا
وفى الاسماء فلم أره سوائى

Aku sungguh melihat
Sang Kebenaran
Dalam realitas-realitas
Dalam nama-nama
Aku tidak melihat semuanya
Kecuali Aku[3]

Gagasan “wahdah al wujud” ini sejatinya bukan hanya milik Ibnu Arabi, melainkan juga semua sufi terkemuka lainnya. Jauh sebelumnya doktrin ini menjadi corak sufisme Husain Manshur al Hallaj (w. 922 M, sang sufi martir yang legendaris itu. Abu Yazid al Bisthami (w. 261 H/875M), Abu al Qasim al Junaidi al Baghdadi (w. 911 M) dan Abu Hamid al Ghazali (w. 1111) juga menganut atau mendukung paham ini. Jalal al Din al Rumi (w. 1274) adalah sufi legendaris lain sesudah Ibnu Arabi, yang juga fenomenal dengan gagasan ini.[4] Ini untuk menyebut beberapa saja.

Al Hallaj, sufi martir paling fenomenal, misalnya, mengatakan dalam salah satu puisi sufistiknya :

مزجت روحك روحى كما
تمزج الخمرة بالماءالزلال
فإذا مسك شيئ مسنى
فإذ انت انا فى كل شيئ

Ruh-Mu dan ruhku bercampur
Bagai arak dan air
Jika sesuatu menyentuh-Mu,
Ia menyentuku
Engkau adalah aku
Dalam segalanya

Doktrin Wahdah al Wujud adalah puncak doktrin keberagamaan semua kaum sufi besar. Meski dengan bahasa yang berbeda-beda semua sufi terkemuka (Quthb al Awliya) memproklamirkan gagasan ini. Tetapi Ibnu Arabi sangat eksklusif dan sangat istimewa. Pendekatan atas doktrin Wahdah al Wujud nya sangat berbeda dengan para sufi lainnya. Seluruh pemikiran dan doktrin sufismenya diinspirasi atau diilhami oleh perempuan. Meskipun mungkin saja ada sufi lain yang juga mengambil inspirasi yang sama, namun saya kira Ibnu Arabi dalam hal ini sangat menonjol, sebagaimana yang tampak dengan jelas diutarakan dalam karya-karyanya, termasuk dalam buku “Tarjuman al Asywaq” ini.

Buku Tarjuman al Asywaq

Buku Tarjuman al Asywaq (Tafsir Kerinduan) berisi kumpulan (kompilasi) puisi dengan komposisi notasi yang beragam. Para santri dapat menyanyikannya dengan langgam lagu (bahar) yang berbeda-beda : Thawil, Kamil, Wafir dan lain-lain. Tidak diketahui secara pasti apakah buku ini ditulis mendahului dua buku besar di atas atau sesudahnya. Meski penting untuk ditelusuri, namun yang paling penting dari itu adalah bahwa dalam buku ini Ibnu Arabi memperlihatkan konsistensi atas gagasan-gagasan besarnya, sebagaimana akan diketahui kemudian.

Tarjuman al Asywaq ditulis ketika dia bermukim di Makkah, tahun 597 H/1214 M. Di kota suci kaum muslimin ini dia bertemu dengan sejumlah ulama besar, para sufi dan sastrawan terkemuka, laki-laki dan perempuan. Mereka adalah orang-orang yang menjalani hidupnya dengan serius. Ibnu Arabi banyak meiba ilmu dari mereka. Tetapi perhatiannya tertumbuk pada beberapa orang perempuan “suci”. Dalam pendahuluan buku ini dia menyebut tiga orang perempuan. Pertama, Fakhr al Nisa, saudara perempuan Syeikh Abu Syuja’ bin Rustam bin Abi Raja al Ishbihani. Perempuan ini adalah sufi terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan. Kepadanya dia mengaji kitab hadits; “Sunan Tirmizi”. Kedua, Qurrah al ‘Ain. Pertemuannya dengan perempuan ini terjadi ketika Ibnu Arabi tengah asyik Tawaf, memutari Ka’bah.

Ibnu Arabi menceritakan sendiri pengalaman pertemuannya dengan perempuan itu:

“Ketika aku sedang begitu asyik tawaf, pada suatu malam, hatiku gelisah. Aku segera keluar dengan langkah sedikit cepat (al raml), melihat-lihat ke luar. Tiba-tiba saja mengalir di otakku bait-bait puisi. Aku lalu menyenandungkannya sendiri dengan suara lirih-lirih.

ليت شعرى هل دروا أى قلب ملكوا
وفؤادى لو درى أي شعب سلكوا
أتراهم سلموا أم تراهم هلكوا
حار ارباب الهوى فى الهوى وارتبكوا

Aduhai, jiwa yang gelisah
Apakah mereka tahu
Hati manakah yang mereka miliki

O, relung hatiku
Andai saja engkau tahu
Lorong manakah yang mereka lalui

Adakah engkau tahu
Apakah mereka akan selamat
Atau binasa

Para pecinta bingung akan cintanya sendiri
Dan menangis tersedu-sedu[5]

Tiba-tiba tangan yang lembut bagai sutera menyentuh pundakku. Aku menoleh. O, seorang gadis jelita dari Romawi. Aku belum pernah melihat perempuan secantik ini. Dia begitu anggun. Suaranya terdengar amat sedap. Tutur-katanya begitu lembut tetapi betapa padat, dan sarat makna. Lirikan matanya amat tajam dan menggetarkan kalbu. Sungguh betapa asyiknya aku bicara dengan dia. Namanya begitu terkenal, budinya begitu halus.

Begitu usai menyampaikan syair itu, perempuan itu mengatakan kepadaku :

“Aduhai tuan, kau memesonaku
Engkaulah kearifan zaman”[6]

Selanjutnya mengalirlah dialog antara kedua orang ini dalam suasana mesra, saling memuji, mengagumi dan dengan keramahan yang anggun. Sang perempuan memberikan komentar-komentar spiritualitas ketuhanan secara spontan atas puisi-puisi Ibnu Arabi di atas, bait demi bait. Sesudah pada akhirnya dia memperkenalkan dirinya sebagai Qurrah ‘Ain, dia pamit dan melambaikan tangan sambil mengucapkan “salam” perpisahan lalu pergi entah ke mana. Dan Ibnu Arabipun terpana. Katanya: “Tsumma inni ‘araftuha ba’da dzalik wa ‘Aasyartuha. Fara-aiytu ‘indaha min Lathaa-if al Ma’arif ma la yashifuhu waashif” (lalu aku mengenalnya sangat dekat dan aku selalu bersama dengan dia. Aku memandang dia seorang perempuan yang sangat kaya pengetahuan ketuhanan. Pengetahuannya tentang yang ini sungguh sangat luar biasa).[7]

Perempuan ketiga yang ditemuinya adalah Sayyidah Nizam (Lady Nizam), anak perawan Syeikh Abu Syuja’. Dia biasa dipanggil “’Ain al Syams” (mata matahari), dan “Syaikhah al Haramain” (guru besar untuk wilayah Makkah dan Madinah). Ibn Arabi begitu terpesona dengan perempuan ini. Pujian-pujian kepadanya terus mengalir deras tak tertahankan: “jika dia bicara semua yang ada jadi bisu, dia adalah matahari di antara ulama, taman indah di antara para sastrawan, wajahnya begitu jelita, tutur bahasanya sungguh lembut, otaknya memperlihatkan keerdasan yang sangat cemerlang, ungkapan-ungkapannya bagai untaian kalung yang gemerlap penuh keindahan dan penampilannya benar-benar anggun dan bersahaja”.[8]

Banyak komentar orang yang menyatakan bahwa buku ini merupakan refleksi-refleksi kontempelatif Ibnu Arabi atas keterpesonaannya yang luar biasa pada perempuan perawan maha elok itu. Keterpesonaan ini sekaligus pengalaman spiritualitasnya bersama Nizam diungkapkan dengan jelas dalam syairnya dalam buku ini :

طال شوقى لطفلة ذات نثر
ونظام ومنبر وبيان

من بنات الملوك من دار فرس
من أجل البلاد من أصبهان

هى بنت العراق بنت إمامى
وأنا ضدها سليل يمانى

لو ترانا برامة نتعاطى
أكوسا للهوى بغير بنان

هل رأيتم يا سادتى أو سمعتم
أن ضدين قط يجتمعان
والهوى ببيننا يسوق حديثا
طيبا مطربا بغير لسان

لرأيتم ما يذهب العقل فيه
يمن والعراق معتنقان

Betapa rinduku begitu panjang
Pada gadis kecil, penggubah prosa,
Nizam (pelantun puisi), mimbar dan bayan

Dialah putri raja-raja Persia
Negeri megah dari Ashbihan
Putri Irak, putri guruku
Sementara aku ?
O, betapa jauhnya
Moyangku dari Yaman

Andai saja kalian tahu
Betapa kami berdua
Saling menghidangkan
Cawan-cawan cinta
Meski tanpa jari-jemari

Adakah, kalian, wahai tuan-tuan
Pernah melihat atau mendengar
Dua tubuh yang bersaing
Dapat menyatukan rindu

Andai saja kalian tahu
Cinta kami
Yang menuntun kami
Bicara manis,
bernyanyi riang
meski tanpa kata-kata

Kalian pasti tahu
Meski hilang akal
Yaman dan Irak nyatanya
Bisa berpelukan[9]

Kontempelasi Ketuhanan melalui Perempuan

Puisi-puisi di atas seringkali dipahami pembaca awam dan tekstualis sebagai bentuk kerinduan Ibnu Arabi kepada seorang perempuan; sebuah kerinduan birahi, seksual dan erotis (gharami) terhadap tubuh perempuan nan cantik-jelita, yang pernah ditemuinya selama di Makkah: Sayyidah Nizam. Mereka dalam hal ini telah terjebak dalam pemahaman yang amat dangkal, gersang dan tanpa makna. Orang-orang awam memang selalu dan hanya dapat memahami ucapan verbal seseorang atau goresan kata-kata menurut arti lahiriah, literalnya. Mereka teramat sulit untuk bisa mengerti bahwa kata-kata sebenarnya adalah symbol-simbo dari pikiran dan relung hati yang amat dalam. Puisi adalah untaian kata yang sarat makna, penuh nuansa pikiran dan hati yang sulit ditebak. Maka ia memang bisa diberi makna ganda, eksoterik dan esoterik. Dalam puisi-puisi di atas, Ibnu Arabi boleh jadi memang sedang dicekam kerinduan yang membara terhadap seorang perempuan dalam arti secara fisik. Dengan kata lain kecintaan ibnu Arabi kepadanya tidak hanya secara spiritual dan intelektual, namjun juga secara fisik dan psikis. Katanya : “Jika saja tidak mengkhawatirkan jiwa-jiwa rendah yang selalu siap terhadap skandal dan hasrat kebencian, akan aku sebutkan pula di sini keindahan lahiriah sebagaimana jiwanya yang merupakan taman kedermawanan”.[10] Akan tetapi para pengagumnya menolak tafsir ini. Ungkapan-ungkapan Ibnu Arabi, menurut mereka memang sungguh-sungguh tengah berkontempelasi dan merefleksikan cinta yang menggelora kepada Tuhan. Katanya suatu ketika : “Kontempelasi terhadap Realitas tanpa dukungan formal adalah tidak mungkin, karena Tuhan, Sang Realitas, dalam Esensi-Nya terlampau jauh dari segala kebutuhan alam semesta. Maka bentuk dukungan formal yang paling baik adalah kontempelasi akan Tuhan dalam diri perempuan”. Dengan kata lain, merenungkan ke Ilahian, menurutnya, hanya dapat dicapai dengan merenungkan perempuan.
Refleksi dan kontempelasi Spritualitas Ketuhanan Ibnu Arabi seperti ini sebagaimana diungkapkan dalam buku ini rasanya amat sulit dapat dipahami, kecuali dengan membacaSyarh (komentar) yang ditulisnya sendiri : “Al Dzakha-ir wa al A’laq” (simpanan-simpanan dan kerinduan-kerinduan).[11] Buku komentar ini sengaja ditulis sendiri oleh Ibnu Arabi untuk menjelaskan berbagai kritik dan cacimaki orang (para ahl fiqh) yang ditujukan kepadanya. Mereka menolak puisi-puisi cinta birahi (ghazal), erotis. Ibnu Arabi dalamTarjuman al Asywaqnya yang oleh dia dihubungkan dan dianalogikan dengan cinta kepada Tuhan. Komentar yang ditulisnya di Aleppo, Damaskus, selama tiga bulan; Rajab, Sya’ban dan Ramadhan ini kemudian dibacakan Qadhi Ibnu Adim di hadapan khalayak ahli fiqh. Begitu selesai, para pengkritik kemudian mengakui kesalahannya atau ketidakpahamannya itu dan bertaubat. Meskipun begitu, masih banyak ulama yang menolak kumpulan puisi-puisi mistik ini. Menurut mereka semua puisi ini tidak sesuai dengan pengalaman-pengalaman religious, terlalu erotic, kecabulan dan amat tidak pantas.

Dari buku ini kita akan mengetahui bahwa semua kata-kata dalam puisi-puisinya itu adalah kiasan-kiasan, metafora-metafora, symbol-simbol dan rumus-rumus yang mengandung makna-makna mistis dan sarat dengan hembusan-hembusan spiritualitas ketuhanan yang menukik dan melampaui. Kata “Dzat natsr wa Nizham”, misalnya, merupakan ungkapan tentang Wujud Mutlak dan Sang Pemilik (Pengatur) alam semesta. Kata “mimbar” dimaknai sebagai “martabat-martabat” (tangga-tangga) dalam alam semesta, alam kosmos, metafisika, atau “mimbar alam semesta”, “Bayaan” bermakna “maqam risalah”(tempat kenabian).[12] Ungkapan-ungkapan Ibnu Arabi selalu memperlihatkan dualisme makna : lahir dan batin, tubuh dan ruh, Ketuhanan dan makrokosmos, teologis dan kosmologis, fisika dan metafisika. Ibnu Arabi mengatakan bahwa semua puisi ini berkaitan dengan kebenaran-kebenaran ilahi dalam berbagai bentuknya, seperti tema-tema cinta, eulogi, nama-nama dan sifat-sifat perempuan, nama-nama sungai, tempat-tempat dan bintang-bintang.

Adalah menarik untuk menjelaskan kalimat : “ana dhidduha”(aku lawannya) pada syair di atas. Ibnu Arabi mengatakan : “Jika anda mengetahui keadaan-keadaan kami berdua, niscaya anda mengerti satu tempat (maqam) yang tidak dapat dipahami akal pikiran. Ia adalah penyatuan sifat kasar (al qahr) dan kelembutan (al Luthf). Ini mengingatkan kita pada ucapan Abu Sa’id al Jazar : “Dengan cara apakah engkau mengetahui Tuhan?”. Jawabnya adalah dengan penyatuan dua hal yang berlawanan. Ini memang amat sulit untuk dipahami oleh akal, nalar”.[13] Ya, ini pengalaman spritualitas yang menghanyutkan, sangat ruhaniah dan irrasional. Mungkinkah bahwa ini juga adalah gagasan Ibnu Arabi tentang penyatuan yin dan yang atau Maskulinitas dan Feminitas pada satu sisi, dan tentang “Ittihad” atau “Hulul” pada sisi yang lain?.

Selain tiga nama perempuan di atas, Ibnu Arabi dalam buku ini juga menyebut sejumlah nama perempuan lain : Hindun, Lubna, Sulaima, Salma, Zainab, Laela dan Mayya. Penjelasan Ibnu Arabi terhadap nama-nama perempuan ini, meski juga mengungkapkan kerinduannya kepada mereka, karena mereka adalah nama-nama yang menyejarah dalam kehidupan masyarakat, namun lagi-lagi bagi Ibn Arabi, mereka juga merupakan simbol-simbol kerinduan Ibnu Arabi kepada Tuhan. Tetapi Lady Nizam adalah perempuan yang digilai Ibnu Arabi dan paling mengesankan sepanjang hidupnya. Dia mengatakan : “Seluruh pengetahuan ketuhanan ini berada di balik tirai Nizam, putri guruku yang perawan,Syeikhah al Haramain, maha guru dua tempat suci dan al ‘abidah (pengabdi Tuhan yang tekun)”.[14] Tampaknya dia ingin mengatakan bahwa pengetahuan tentang ketuhanan(ma’rifah Ilahiyyah) hanya bisa ditempuh melalui kontempelasi pada diri perempuan. Atau, melalui perempuanlah Tuhan ditemukan dalam Wujud-Nya yang Maha Sempurna dan Maha Indah. Wallahu A’lam.

Akan tetapi mungkin penting untuk dicatat bahwa dengan penyebutan nama-nama perempuan ini, Ibnu Arabi ingin memperlihatkan juga pandangannya tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam arti sebenarnya. Perempuan, katanya dalam Futuhat al Makiyyah, adalah jiwa yang sempurna. Ini adalah “bi hukm al Ashalah” suatu yang asali (aslinya). Antara keduanya memang ada perbedaan keunggulan satu atas yang lain. Akan tetapi, meski demikian, keduanya adalah setara (sama) dalam kesempurnaannya. Ini identik dengan makna firman Tuhan “Tilka al Rusul Fadhdhalna ba’dhahum ‘ala ba’dh”(para utusan Tuhan itu satu atas yang lain Aku lebihkan). Dari aspek kerasulannya mereka sama, tidak ada yang lebih unggul. Tetapi dari aspek tugas kerasulannya, memang ada perbedaan keunggulan satu atas yang lain”.[15] Memang, karena pada saat lain Tuhan juga mengatakan : “La Nufarriqu baina ahad min rusulih” (Kami tidak membeda-bedakan di antara utusan Kami). Ini agaknya merupakan pandangan Ibnu Arabi tentang relasi laki-laki dan perempuan. Kedua jenis kelamin ini adalah setara dalam aspek universalitas kemanusiannya, tetapi berbeda dalam tugas kemanusiannya dengan kadar yang relative, tergantung konteks sosialnya. Dalam “Al Futuhat”, Ibnu Arabi menyatakan pandangannya dengan lebih jelas :

إن النساء شقائق الذكران
فى عالم الارواح والابدان
والحكم متحد الوجود عليهما
وهو المعبر عنه بالانسان
وتفرقا عنه بامر عارض
فصل الاناث به من الذكران

Perempuan adalah saudara kandung laki-laki
Di alam ruh dan dalam tubuh kasar
Keduanya satu dalam eksistensi
Itulah manusia
Perbedaan antara mereka aksiden semata
Perempuan dan laki-laki memang dibedakan[16]

Tajalla Tuhan dalam Kosmos

Mabuk cinta Ibnu Arabi kepada Sang Kekasih juga diungkapkan dengan menyebut realitas-realitas alam ; burung-burung yang bernyanyi riang, mata rusa yang menatap tajam, sayap-sayap burung merak yang indah bagai pelangi, bunga-bunga yang mekar-mewangi, taman-taman yang teduh nan meriah bagai pelangi, puing-puing yang menggugah rindu dan mabuk kepayang, tempat-tempat persinggahan yang mengingatkan romantisme masa lalu, padang rumput yang terhampar menghijau, angin yang semilir sepoi-sepoi, musim semi yang penuh bunga warna-warni, mega yang berarak, tenang dan teduh, mata air yang mengalir, mata hari yang menghangatkan, rembulan yang bersinar lembut, senja yang temaram dan seterusnya. Dalam waktu yang sama dia juga mengutarakan isi hatinya yang kelu, merindu dan menyinta ; air mata yang menetes satu-satu, pipi perempuan yang ranum, mata yang sendu, luka di relung-relung sanubari, hari-hari perpisahan yang menghancurkan kalbu, canda ria dan celoteh yang menggemaskan, keriangan yang meledak-ledak, pelukan tubuh yang menggairahkan, nyanyi sunyi yang mengiris dan lain-lain. Ini semua diungkapkan Ibnu Arabi dalam buku kompilasi puisi sufistiknya ini.

Kajian-kajian terhadap pemikiran dan gagasan filosofis Ibnu Arabi ini menunjukkan bahwa fenomena-fenomena alam semesta (kosmos) adalah “tajalliyyat” (Penyingkapan) Tuhan dalam alam semesta. Fenomena alam semesta dalam pandangannya adalah keindahan-keindahan yang menunjukkan Eksistensi Tuhan. “Tak ada pada alam semesta ini kecuali Tuhan. Segala selain Tuhan adalah ketiadaan hakiki”. Di sinilah kita dapat memahami kembali doktrin “Wahdah al Wujud” dari sang “al Kibrit al Ahmar” ini.

Sangat menyenangkan bagi saya untuk mengungkapkan gagasan ini dari seorang murid Ibnu Arabi yang terkenal: Abd al Karim al Jili. Katanya dalam sebuah syair :

تجليت فى الا شياء حين خلقتها
فها هى ميطت عنك فيها البراقع

Engkau menyingkapkan Diri
Dalam segala sesuatu
Ketika Engkau menciptakannya
O, lihatlah
Cadar-cadar itu kini tersingkir[17]

Atau dari Ibnu ِAjibah ketika mengomentari ucapan Wahdah al Wujud nya Ibnu Athaillah. Dalam salah satu syairnya dia mengungkapkan:

أنظر جمالى شاهدا فى كل إنسان
الماء يجرى نافدا فى أس الاغصان
تجده ماء واحدا والزهر ألوان

Lihatlah Keindahan-Ku
Saksi pada semua manusia

Air mengalir,
menembus
pokok dahan-dahan

Engkau temui Dia
Mata air yang Tunggal
Dan bunga merekah
berwarna-warni[18]

Banyak syair Ibnu Arabi yang menjebak pembaca awam pada pemahaman yang amat dangkal. Beberapa di antaranya :

يامن يرانى ولا اراه كم ذا أراه ولا يرانى

Aduhai, Dia yang melihatku
dan aku tidak melihat-Nya
Betapa sering aku melihat-Nya
Dan Dia tidak melihatku

Mendengar syair ini mereka marah. Kata mereka : “Bagaimana Tuhan tidak melihat dia. Ibnu Arabi segera menjelaskannya dengan manis:

يا من يرانى مجرما ولا أراه آخذا
كم ذا أراه منعما ولا يرانى لائذا

Aduhai Dia yang melihatku pendosa
Tetapi aku tidak melihat-Nya marah
Betapa sering aku melihat-Nya pemurah
Meski Dia tidak melihat aku minta ampun

Atau syair yang diungkapkannya pada kesempatan yang lain :

فيحمدنى وأحمده ويعبدنى واعبده

Dia memujiku, aku memuji-Nya
Dia mengadi padaku, aku mengabdi padanya

Mereka juga marah. Bagaimana mungkin Tuhan menyembah dia. Ibnu Arabi segera menerangkan. Arti “Dia memujiku” adalah Dia senang karena aku taat pada-Nya, dan arti “Dia mengabdi padaku” adalah Dia mengabulkan doaku.

Kesatuan Agama-agama

Pada bagian lain dari buku kompilasi “Tarjuman al Asywaq” ini, kita menemukan pernyataannya yang sering disebut sebagai pandangan “Wahdah al Adyan” (kesatuan agama-agama) dari sang sufi besar ini. Ibnu Arabi menyatakan:

لقد صار قلبى قابلا كل صورة
فمرعى لغزلان ودير لرهبان
وبيت لاوثان وكعبة طا ئف
والاواح توراة ومصحف قرآن
أدين بدين الحب اين توجهت
ركا ئبه فالحب دينى وإيما نى

Hatiku telah siap menyambut
Segala realitas
Padang rumput bagi rusa
Kuil para Rahib

Rumah berhala-berhala
Ka’bah orang tawaf
Sabak-sabak Taurat
Lembaran al Qur’an

Aku mabuk Cinta
Kemanapun Dia bergerak
Di situ aku mencinta
Cinta kepada-Nya
Adalah agama dan keyakinanku[19]

Semua penulis dan para pembaca Ibnu Arabi biasanya mengomentari syair-syair di atas sebagai sikap dan pandangan dasar sang gnostik besar ini tentang toleransi dan kesatuan agama-agama. Mereka memahami kata-kata di atas menurut makna literalnya. Pernyataan ini boleh jadi memang benar adanya sebagai konsekuensi lebih lanjut dari doktrin Wahdah al Wujudnya sebagaimana sudah sedikit diurai. Semua penganut agama, dengan nama yang berbeda-beda dan dengan cara peribadatan dan penyembahannya masing-masing, pada hakikatnya hendak mengekspresikan kecintaan kepada Tuhan. Semua pemeluk agama bergerak menuju Tuhan yang satu dan sama itu. Mereka sama-sama mencintai, mendambakan Cinta-Nya, mendekat dan ingin menyatu dalam dekapan-Nya. Karena Dialah Pencipta segala yang ada dan Dia mencintai semuanya.

Jalan dan cara pendakian (manusia) beragam
Tetapi mereka berjalan ke arah kebenaran
Yang Satu
Dan para pendaki jalan kebenaran itu
Mencari jalan sendiri-sendiri

Bahasa kita beragam tetapi Engkaulah
Satu-satunya Yang Maha Indah
Dan masing-masing kita
menuju Sang Maha Indah Yang Satu itu

Para sufi besar selalu mengemukakan hadits Qudsi yang sangat terkenal, tentang alasan Tuhan menciptakan manusia dan alam semesta. “Kuntu Kanzan Makhfiyyan fa Ahbabtu an ‘Uraf, fa Khalaqtu al Khalq, Fa bihi ‘Arafuni” (Aku adalah Simpanan berharga yang tersembunyi. Aku ingin sekali dikenal. Lalu Aku ciptakan makhluk. Maka dengan itu mereka mengenalku”. Jadi Tuhan menciptakan alam semesta karena dia Mencintai-Nya dan Dia ingin dicinta. Dan Cintalah yang menyatukan segala yang terserak.

Akan tetapi tafsir di atas tidaklah satu-satunya yang bisa dikemukakan. Ibnu Arabi lagi-lagi sebenarnya sedang asyik dimabuk cinta yang menyala-nyala ketika menatap Realitas Yang Tunggal menampakkan diri dalam wujud semesta. Dia mengungkapkan gairah cinta itu dalam kata-kata metaforis yang tak biasa. Ibnu Arabi menggambarkan “hati yang membuka diri bagi realitas-realitas” sebagai hati yang bergerak ke sana kemari dalam merespon “al Tajalliyyat al Iahiyyah” (Ketersingkapan Kehendak-Kehendak Tuhan) dalam alam semesta yang berwarna-warni dan beragam karakter, sifat dan kehendak. Makna “Padang rumput bagi rusa” baginya merupakan penggambaran hatinya yang lepas dan bebas dalam mencinta, bagai rusa yang bergerak dan berlari-lari di padang rumput yang luas. Ibnu Arabi sengaja menyebut rusa dan bukan binatang yang lain, karena, katanya, meskipun mata kuda lebih lebar, tetapi mata rusa lebih tajam. Dan Mata Tuhan niscaya lebih tajam dari mata siapapun. Dia Melihat yang kasat mata, yang telanjang dan yang tersembunyi di lubuk-lubuk nurani yang pekat dan sunyi senyap. Mengenai kalimat : “Hati adalah rumah berhala-berhala”, dia mengatakan: “Oleh karena Hakikat Yang Dicari (al Haqa-iq al Mathlubah) kepada siapa semua menyembah dan menghambakan diri pada-Nya itu menetap di dalamnya, maka hati disebut ‘watsan’ (yang menetap, yang kokoh). Ibnu Arabi berharap cintanya kepada Tuhan tetap kokoh dan menetap selama-lamanya di relung-relung hatinya yang paling dalam. Dan “oleh karena ruh-ruh luhur (al Arwah al ‘Alawiyyah) mengelilingi hatinya, maka ia dinamai “ka’bah”. Hati yang menerima ilmu-ilmu pengetahuan Musa dari Ibrani (al ‘ulum al Musawiyyah al Ibraniyyah) disebut papan-papan (alwah). Hati yang mewarisi pencerahan kenabian Muhammad (Al Ma’arif al Muhammadiyyah al Kamaliyyah), adalah lembaran-lembaran yang menampung seluruh essensi pengetahuan (Jawami’ al Kalim) bagi hatinya.[20] Pada akhirnya dia mengatakan : “tidak ada agama yang dipeluk manusia di manapun, setinggi agama yang dibangun di atas cinta dan kerinduan (al mahabbah wa al syauq). Ini adalah agama Muhammad. Dialah sang terkasih dan yang dirindukan sepanjang hari sepanjang malam”.[21]

Sebagaimana selalu dikemukakan para pengaji Tasawuf, bahwa Tuhan mencipta makhluk-Nya karena Dia ingin dikenal (dicintai). Sebelumnya Dia adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi. Dalam hadits Qudsi disebutkan :

كنت كنزا مخفيا فأحب ان أعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى

“Aku adalah Perbendaharaan yang Tersembunyi. Aku ingin dikenal. Maka Aku ciptakan makhluk. Berkat Aku mereka mengenalku”

Demikianlah. Sufi legendaris yang agung ini telah menyenandungkan cintanya kepada Tuhan dengan cara yang memang sangat luar biasa. Dia mabuk kepayang dalam cinta kepada Tuhan, cinta yang membara, bergelora dan menghanyutkan. Cinta apa yang ada di langit dan cinta yang ada di bumi. Dia terserap, luruh dan hilang bentuk dalam rindu dendam kepada-Nya.

Sampai di sini aku tidak bisa berkata apa-apa di hadapan orang besar ini. Lidahku kelu. Tanganku tak sampai. Otakku kandas. Maka aku biarkan sang Syeikh berkelana sendiri ke negeri antah berantah atau ke puncak langit alam semesta, dan biarkanlah aku berdiri di sini, di bumi ini. Betapa rendah.

Referensi :
1. Tarjuman al Asywaq, Dar al Shadir, Beirut, 1966
2. Al Dzakhair wa al A’laq, Dar al Shadir, Beirut, 1966
3. Al Futuhat al Makiyyah,Dar Ihya al Turats al Arabi, Beirut, cet.I
4. Fushus al Hikam, Mutiara Hikmah 27 Nabi, (terjemahan Ahmad Sahidah dan Nurjannah Arianti,Islamica, Yogyakarta, Cet. I, 2004,
5. Syarh al Hikam, Ibnu Athaillah al Sakandari, “Iqazh al Humam”, Ibnu ‘Ajibah
6. Al Kasyf ‘an Haqaiq al Shufiyyah, Mahmud Abd ar Rauf
7. Al Tashawwuf al Islami fi al Adab wa al Akhlaq, Zaki Mubarak

_________________________________
[1] Imam al Suyuhti, pendukung setia Ibnu Arab dalam kitabnya “Tanbih al Ghabi fi Tabri’ah Ibnu Arabi” menceritakan bahwa ketika Ibnu Arabi di Mesir, ia pernah dituduh sebagai kafir zindik oleh sebagian ulama di hadapan Izz al Din bin Abd al Salam. Beliau diam saja. Ini menurut banyak orang, menunjukkan bahwa al Izz sepakat dengan pikiran-pikirannya. Akan tetapi usai pengajian bubar. Izz menjelaskan bahwa dia sengaja diam, karena mereka yang hadir adalah para ahli fiqh. Mereka, menurutnya, adalah kelompok yang paling membenci ahli tasawuf. Di negeri yang sama, gara-gara pandangannya, Ibnu Arabi, pernah akan dibunuh beramai-ramai. Tetapi Syeikh al Bujai menyelamatkannya. Katanya kepada rakyat yang marah : “dia ini orang yang lagi ngaco (syathahat) dan mabuk. Orang ini seperti ini tidak perlu dimarahi. Harap maklum”.
[2] Al Futuhat, III, h. 245. Di pesantren, Syair ini ditemukan dalam sedikit perbedaan kata :“Wa Fi Kulli Syaiy-in lahu Aayah, Tadullu ‘ala Annahu Wahid” (dan dalam segala hal adalah bukti bahwa Dia adalah Esa). Ibnu Arabi merubah dari kata “Wahid” menjadi “Ainuhu”).
[3] Al Futuhat, III, hl. 532
[4] Ketika masih belajar di pesantren saya sering mendengar sebuah syair dari panyair Arab klasik; Labid :
Alaa, Kullu Syai-in ma khala Allah Bathil,
wa Kullu Na’im la Mahaalah Zail”.
Ingatlah, segala hal selain Allah adalah tiada
dan segala kenikmaan pastilah akan sirna
[5] Muqaddimah Tarjuman, h. 11
[6] ibid, h. 11
[7] Tarjuman, h. 11
[8] Muqaddimah Tarjuman, h. 8
[9] Tarjuman, h. 85
[10] Tarjuman, h. 11
[11] Dalam buku Tarjuman al Asywaq, terbitan Dar al Shadir, Beirut, 1966, penjelasan ini ditulis dalam catatan kaki.
[12] Dzakhair, h. 83
[13] Dzakhair, h. 85
[14] Dzakhair, h. 84
[15] Ibid, h. 82
[16] Al Futuhat, III, h. 86
[17] Baca : Iyqazh al Humam fi Syarh al Hikam, h. 43
[18] Ibid, h. 43
[19] Tarjuman, h. 43-44
[20] Dzakhair, h. 43-44
[21] Dzakhair, h. 44

Puisi-Puisi Kerinduan Ibnu Arabi

Husein Muhammad | 17 Jun 2014 | Artikel

Copyright © 2015 HuseinMuhammad.Net.

Selasa, 26 Mei 2015

FANA'

MATILAH SEBELUM ENGKAU MATI

Pengertian " Matilah sebelum engkau mati " adalah sebuah pengertian dari salah satu jalan untuk musyahadah ( penyaksikan ) kepada Alloh, yaitu melalui mati. Tapi mati disini bukan matinya jasad ketika terpisah dengan roh, tapi matinya nafsu, sebagaimana sabda Nabi SAW ;

موتوا قبل ان تموتوا

" Rasakanlah mati sebelum engkau mati ".

dalam kitab Al-Hikam, Abu Ma'jam berkata :

من لم يمت لم ير الحق

" Barang siapa tidak merasakan mati, maka ia tidak dapat merasakan ( melihat atau musyahadah ) dengan Al-Haqqu Ta'ala ".

jadi yang dimaksud mati disini adalah hidupnya hati karena matinya nafsu. Dan hati ( bashiroh ) akan hidup pada saat matinya nafsu.

Imam Abul Abbas Al-Mursy dalam kitab Al-Hikam berkata :

لا يدخل على الله الا بابين : من باب الفناء الاكبر، وهو الموت الطبيعى ، ومن باب الفناء الذي تعنيه هذه الطائفة

" Tiada jalan masuk / musyahadah dengan Alloh kecuali melalui dua pintu, dan salah satu dari dua pintu itu ialah pintu " Fana'ul akbar " yaitu mati thobi'i. Dan merupakan setengah daripada pintu fana' menurut pengertian ahli Tashowwuf ".

Adapun pengertian matinya nafsu untuk hidupnya hati dalam musyahadah dapat ditempuh pada 4 tingkat :

(1). MATI THOBI'I.

Menurut sebagian para ahli thoriqoh, bahwa mati thobi'i terjadi dengan karunia Alloh pada saat dzikir qolbi dan dzikir lathoif ( dzikir-dzikir ini biasanya sesuai anjuran Mursyid Thoriqoh ), serta mati Thobi'i ini merupakan pintu pertama musyahadah dengan Alloh. Pintu pertama ini dilalui pada saat seorang salik dalam melakukan dzikir qolbi dalam dzikir lathoif. Maka dengan karunia Alloh ia fana' atau lenyap pendengarannya secara lahir dimana telinga batin mendengar bunyi " Alloh..Alloh..Alloh..". Pada tingkat ini, dzikir qolbi mulanya hati berdzikir, kemudian dari hati naik kemulut dimana lidah berdzikir dengan sendirinya. Dan dalam kondisi seperti ini alam perasaan mulai hilang atau mati thobi'i. Pada saat-saat seperti ini akal pikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai ilham yang tiba-tiba Nur Ilahi terbit dalam hati muhadhoroh ( berdialog ) hati dengan Alloh, sehingga telinga bathin mendengar

انني انا الله

" Sesungguhnya Aku ini adalah Alloh " yang bunyi ini naik kemulut dimana lidah bergerak sendiri mengucapkan " Alloh..Alloh..Alloh..". Dalam tingkatan-tingkatan bathin seperti ini, salik telah mulai memasuki pintu fana' pertama, yang dinamakan Fana' fil af'al dan Tajalli fil af'al dimana gerak dan diam adalah pada Alloh .

لا فاعل الا الله

" Tiada fail ( yang gerak dan diam ) kecuali Alloh ".

(2). MATI MAKNAWI.

Menurut sebagian ahli Thoriqoh, bahwa " Mati Maknawi " ini terjadi dengan karunia dari Alloh pada saat seseorang atau salik melakukan dzikir Lathifatur-Ruh dalam dzikir lathif. Terjadinya itu adalah sebagai ilham yang dimana secara tiba-tiba Nur Ilahiy terbit dalam hati. Ketika itu penglihatan secara lahir menjadi lenyap dan mata bathin menguasai penglihatan ( Bashirohnya mendominasi penglihatan ). Dzikir " Alloh....Alloh..Alloh.." pada tingkat ini semakin meresap terus pada diri dimana dzikir mulai terasa panasnya disekujur tubuh dan disetiap bulu roma di badan. Dalam kondisi seperti ini, perasaan ke-insanan tercengang, bimbang, semua persendian gemetar, bisa juga terus pingsan. Sifat keinsanan lebur diliputi sifat Ketuhanan.
Dalam tingkat ini, salik telah memasuki fana' ke-dua yang dinamakan " Fana' fis Shifat / Tajalli fis sifat ". Sifat kebaharuan dan kekurangan serta alam perasaan lenyap atau fana' dan yang tinggal adalah sifat Tuhan yang sempurna dan azali.

قوله ، لا حيّ إلا الله

" Tiada hidup selain Alloh ".

(3). MATI SURI.

Pada tingkat selanjutnya adalah " Mati Suri ". Mati suri ini terjadi dengan karunia Alloh pada saat seseorang atau salik melakukan dzikir Lathifatus Sirri dalam dzikir lathoif. Pada tingkat ke-tiga ini, seseorang atau salik telah memasuki pintu Musyahadah dengan Alloh. Ketika itu segala ke-insanan lenyap atau fana', alam wujud yang gelap ( ظلمة ) telah ditelan oleh alam ghaib atau malakut ( عالم الملكوت ) yang penuh dengan Nur Cahaya. Dalam pada ini, yang Baqo' adalah Nurulloh semata, Nur Af'alulloh, Nur Shifatulloh, Nur Asmaulloh, Nur Dzatulloh atau Nurun 'ala Nuur.
Sebagaimana firman Alloh ;

....نور على نور يهدى الله لنوره من يشاء....

" Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki.." [ Suroh An-Nur, ayat 35 ]

لا محمود إلا الله

" Tiada yang dipuji melainkan Alloh ".

(4). MATI HISSI.

Selanjutnya ialah Mati Hissi. Mati Hissi ini terjadi dengan karunia Alloh pada saat seseorang atau salik melakukan dzikir Lathifatul Hafi dalam dzikir lathoif. Pada tingkat ke-empat ini, seseorang atau salik telah sampai ketingkat yang lebih tinggi untuk mencapai ma'rifah ( Ma'rifat Billah ) sebagai maqom tertinggi.
Dalam pada ini, lenyap ( fana' ) sudah segala sifat-sifat keinsanan yang baharu dan yang tinggal adalah sifat-sifat Tuhan yang qodim atau azali. Ketika itu menanjaklah bathin keinsanan lebur kedalam keBaqo'an Alloh Yang Qodim atau bersatunya 'Abid dan Ma'bud ( yang menyembah dan Yang Di Sembah ). Dalam tingkat puncak tertinggi ini, seseorang atau salik telah mengalami keadaan yang tak pernah sama sekali dilihat oleh mata, didengar oleh telinga maupun tak sama sekalipun terbersit dalam hati sanubari manusia dan tidak mungkin dapat disifati. Tetapi akan mengerti sendiri bagi siapa saja yang telah merasakan sendiri, sebagaimana kata sufi agung Dzin Nun Al-Mishri ;

من لم يذق لم يعرف

" Siapa saja yang tidak pernah merasakan maka tidak akan mengerti ".

Untuk bisa mencapai keadaan Musyahadah seperti tersebut diatas ( tahapan-tahapan diatas ) adalah dengan jalan mujahadah, karena siapa saja yang menghiasi lahiriyahnya dengan mujahadah maka Alloh akan memperbaiki sirr atau hatinya dengan mujahadah.

——————

PEMBAGIAN TAJALLI KETIKA FANA' MENURUT KITAB INSANUL KAMIL IMAM ABDUL KARIM AL-JILLI

√. Tingkat Ke-1 : TAJALLI AF-'AL

تجلى سبحانه وتعالى في افعاله عبارة عن مشهد يرى فيه العبد جريان القدرة في الأشياء فيشهده سبحانه وتعالى محركها ومسكنها ينفي الفعل عن العبد واثباته للحق

" Tajallinya Alloh SWT dalam Af-'alnya, ialah ibarat penglihatan dimaba seorang hamba Alloh melihat padanya berlaku Qudrot Alloh pada sesuatu. Ketika itu, ia melihat Tuhan, maka tiadalah fiil ( perbuatan ) lagi bagi hamba. Gerak dan diam serta itsbat ( ketetapan ) adalah bagi Alloh semata ".

Jadi Tajalli Af'al ialah nafinya atau lenyapnya fiil ( perbuatan ) daripada seseorang hamba dan itsbatnya yang ada ialah Fiil Alloh semata. Sebagaimana firman Alloh ;

(وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ) [Surat As-Saaffat : 96]

" Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".

لا فاعل الا الله  ( Tiada fiil / perbuatan kecuali Alloh )

√. Tingkat Ke-2 : TAJALLI ASMA'

من تجلى له سبحانه وتعالى من حيث اسمه الظاهر فكشف له عن سر ظهور النور الالهى في كثائف المحدثات ليكون طريقا الى معرفة ان الله هو الظاهر ، فعند ذلك تجلى له بانه الظاهر ، فبطن العبد ببطون فناء الخلق في ظهور وجود الحق .

" Siapapun baginya Tajalli Alloh SWT dari segi Asma-Nya yang disebut, maka terbukalah baginya dari nampaknya Nur Ilahiy dalam keadaan biasa, maksudnya adalah agar ia mendapatkan jalan kepada Makrifat, bahwa sesungguhnya Alloh adalah Yang Nyata ( terlihat ). Maka pada saat itu Tajallilah Alloh baginya, karena sesungguhnya Alloh adalah Adz-Dzhohir. Dan ketika itu bertempatlah hamba pada tempat yang bathin ( tidak tampak ) karena fana' / leburnya sifat-sifat kebaharuannya ketika nampaknya Wujud Al-Haqqu Ta'alaa yang Qodim ".

Jadi Tajalli Asma' adalah fana'nya hamba daripada dirinya sendiri dan bebasnya hamba dari genggaman sifat-sifat kebaharuan dan lepasnya ikatan dari dirinya atau tubuh kasarnya. Ketika itu ia fana' dalam Baqo'nya Alloh karena sucinya ia dari sifat-sifat kebaharuan. Bahwa sesungguhnya Tajalli Asma' sebenarnya tiada yang dilihat kecuali Dzatusshorfi dan bukannya melihat Asma'. Dalam hal ini bisa diambil perumpamaan sebagai berikut :

(وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ) [Surat Al-Araf : 143]

" Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".

مثال ذلك بقوله تعالى : لن ترانى يا موسى يعنى لانك اذا كنت موجودا فانا مفقود عنك ، وان وجدتنى فانا مفقود . ولا يمكن للحادث ان يثبت عند ظهور القديم ، وعند ذلك ، فعدم موسى وصار العبد كأن لم يكن ويبقى الحق كأن لم يزل . 

Perumpamaan untuk itu ialah dengan firman Alloh kepada Nabi Musa, " Kamu tidak dapat melihat Aku ( لن ترانى ) " , artinya bahwa sesungguhnya kamu Musa, selama kamu ada pada dirimu, maka Aku ( Alloh ) sirna ( tak terlihat ) dari pandanganmu Musa. Dan ketika kamu melihat Aku, maka ketika itu engkaupun tiada ( fana' ) ". Tidaklah mungkin bagi yang baharu ada ketika nampaknya yang Qodim. Jadi pengertiannya adalah, " Maka dengan fana'nya Musa , jadilah ia bersifat tiada, dan Baqo'lah Alloh yang bersifat kekal.

√. Tingkat Ke-3 : TAJALLI SIFAT

تجلى الصفات ، عبارة عن قبول ذات العبد الأتصاف بصفات الرب قبولا اصليا حكميا قطعيا .

" Tajalli Sifat adalah ibarat penerimaan tubuh seorang hamba Alloh berlaku sifat dengan sifat-sifat Ketuhanan, suatu penerimaan asli dan ketentuan pasti ".

Artinya, manakala Alloh SWT menghendaki terjadinya Tajalli atas hambanya dengan namaNya atau sifatNya, maka dalam keadaan itu lenyaplah ( Fana' ) seorang hamba dari dirinya dan ketika itu berubahlah daripada wujudnya. Manakala telah hilang cahaya keinsanannya dan telah fana' ruh kebaharuannya, disitulah Al-Haqqu Ta'ala mengambil tempat pada hambanya tanpa hulul daripada Dzat-Nya sebagai ganti dari perubahan hamba itu dari wujudnya, karena sebenarnya Tajallinya Alloh itu terhadap hambanya adalah sebagai karunia dari Alloh semata.

√. Tingkat Ke-4 : TAJALLI DZAT

Tajjali ketika Fana' fiDzzat adalah sebagai tingkatan paling puncak atau tertinggi,

لا موجود علي الاطلاق الا الله

" Tiada wujud secara muthlaq melainkan Alloh ".

Sebelum pada pengertian ta'rif dari Tajalli Dzat saya berikan sedikit uraian agar lebih mudah dipahami, sebagaimana DR. Mustafa Zahri menuturkan dalam buku Memahami Ilmu Tasawuf. 

Pada fana' tingkat ini ( Tajalli Dzat ) seseorang akan memperoleh perasaan batin pada suatu keadaan yang tak berarah, tidak ada lagi kanan atau kiri, depan atau belakang, atas atau bawah. Intinya ia berada pada suatu keadaan tak terbatas dan tak bertepi. Dan dalam keadaan ini juga seseorang yang fana' fi Dzat mencapai derajat " Syuhudul Haqqi bil Haqqi ", dia telah lenyap dari dirinya sendiri dan dalam situasi ia hanya berada dalam baqo'nya Alloh semata, atau sebagai kesimpulannya bahwa ia telah hancur lebur kecuali wujud yang muthlaq, yaitu wujudulloh.
Adapun hikmah dari fana tingkat ini , adalah pengakuan atas ke Esa an Alloh dengan semurni-murninya, bukan sekedar pengakuan atas ke Esa an dengan ucapan syahadat, dalil-dalil atau pendapat-pendapat akal saja, dan pengakuan secara murni ini hanya dapat disaksikan dengan kemakrifatan saja.
Abu Manshur Husein Al Hallaj, mengatakan dalam syairnya;

قلوب العاوفين لها عيون, ما لا يرى للناظرين

" Hatinya orang 'Arif itu mempunyai mata memandang, matanya itu dapat melihat apa yang tak dapat dilihat pandangan mata biasa ".

كان الله ولا شيئ معه وهو الآن على ما عليه كان

" Adalah wujud Alloh itu baqo' dan tidak ada sesuatupun besertanya, Alloh tetap pada wujudnya sebagaimana keadaannya kekal semula ".

Maka mencapai makrifah billah dengan jalan akal pikiran itu mustahil, para Ahlut Tashowwuf berkata ;

وللعقول حدود لا تجاوزها, والعجز عن الادراك ادراك

" Bagi jalan pikiran itu terbatas, maka dengan jalan pikiran tidaklah Dia bisa dicapai, bila telah mengakui kelemahan diri untuk mencapai Dia, itulah tandanya Dia sudah dicapai ".

Didalam Al-Quran sudah diisyaratkan oleh Alloh untuk mencapai puncak fana' fidz Dzat tersebut, coba kita perhatikan rahasia yang diisyaratkan dari ayat ini ;

(كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ) [Surat Ar-Rahman : 26]

" Semua yang ada di bumi itu akan binasa ". Dan ayat selanjutnya ;

(وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ) [Surat Ar-Rahman : 27]

" Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan ".

Kemudian kita perhatikan bagaimana nabi Musa bermunajat kepada Alloh dengan kata-katanya yang masyhur dikalangan para Sufi dalam menuju kefana'an ;

قال موسى عليه السلام : يا رب كيف اصل اليك ؟ قال عز وجل : فارق نفسك وتعال

Nabi Musa berkata kepada Alloh ," Wahai Alloh, bagaimana agar aku sampai kepadaMu. Alloh ' azza wa jalla menjawab ," Tinggalkan ( lenyapkan ) dirimu hai Musa, baru datanglah kepadaKu ".

Apa yang diucapkan Nabi Musa tersebut adalah sebuah permintaannya kepada Alloh agar Alloh " menampakkan Diri " dihadapannya, sebagaimana yang dituturkan pada ayat ;

(وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَٰكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ) [Surat Al-Araf : 143]

" Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".

Sebagai catatan akhir tentang Fana' Fi-Dzat sebagaimana disebutkan dalam kitab Insanul Kamil :

فاعلم ان الذات عبارة عمن كانت اللطيفة الالهية اذا تجلى علي عبده وافناه عن نفسه قام فيه اللطيفة الالهية فتلك اللطيفة قد تكون ذاتيةً وقد تكون صفاتيةً فاذا كانت ذاتية كان ذلك الهيكل الانساني هو الفرد الكامل

" Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya Dzat itu adalah ibarat dimana bertempat anugerah Ketuhanan. Ketika Alloh menghendaki terjadinya Tajalli ( penjelmaan ) atas hambaNya, dimana hambaNya telah mem fana' kan dari dirinya sendiri, maka bertempatlah hamba itu pada Karunia Ketuhanan. Demikianlah karunia itu, adakalanya sebagai karunia Dzat dan adakalanya karunia Sifat. Apabila terjadi karunia Dzat, maka disitulah terjadi " Tunggal Yang Kamil / Sempurna ". Maka dengan fana'nya diri hamba maka yang tinggal adalah yang Baqo' atau Dzatulloh. Dan dalam keadaan ini hamba telah berada pada situasi " Maa siwalloh " ( tiada apapun selain Alloh ) yaitu pada wujud Alloh semata ".

Disinilah pengertian dari Fana' fiDzzat sebagai tingkatan paling puncak atau tertinggi,

لا موجود علي الاطلاق الا الله

" Tiada wujud secara muthlaq melainkan Alloh ".

Wallohu a'lam Bis showab.

——————
Sidoarjo, 27 Mei 2015
Danny Ma'shoum

Selasa, 19 Mei 2015

SYAIR DALAM KITAB ROWAIUL BAYAN

SYAIR-SYAIR CINTA DALAM KITAB ROWAIUL BAYAN TAFSIR AYAAT AL AHKAM KARYA ALLAMAH DR. SYAIKH MUHAMMAD ALI ASH-SHOBUNI

Sekelumit syair-syair dibawah ini adalah tentang cinta, mulai dari kronologi hingga klimaksnya. Syair ini saya sadur dari kitab Rowaiul Bayan  Tafsir Aayat Al-Ahkam fi Al-Quran pada Muhadhoroh ke-6 tentang ayat hijab dan nadzhor ( memandang ), Jilid 2, Hal. 148-172 ;

Berkata Al-Hamasy :

وكنت اذا ارسلت طرفك رائدا      لقلبك يوما أتعبتك المناظر
رايت الذي لا كله انت قادر      عليه ولا عن بعضه أنت صابر *
————
* الدر المنثور للسيوطي  ج ٥   ص ٤٠

" Engkau,  apabila melepaskan kedipan mata sebagai utusan.
Bagi hatimu pada suatu hari nanti..
Maka engkau akan disusah payahkan oleh banyaknya pemandangan.
Engkau tahu,  bahwa dirimu tidak mampu menguasai seluruhnya.
Bahkan sebagian pun engkau tak dapat bersabar ".*

—————
* Kitab Ad-Durrul Mantsur, Jilid 5, Hal. 40, Karya Imam As-Suyuthi.

Syauqi berkata :

نظرة فابتسامة فسلام    فكلام فموعد فلقاء

" Dari pandangan kemudian senyuman lalu salam.
Selanjutnya percakapan, kemudian janji lalu perjumpaan ".

Berkata sebagian penyair :

وما الحب الا نظرة اثر نظرة     تزيد نموا ان تزده لجاجا

" Tiadalah cinta asmara itu melainkan tumbuh dari pandangan demi pandangan.
Semakin sering engkau layangkan pandangan, maka cintapun semakin berkembang ".

قالوا : جننت بما تهوى فقلت لهم     العشق اعظم مما بالمجانين

العشق لا يستنفيق الدهر صاحبه     وانما يصرع المجنون في الحين

" Mereka berkata : Engkau dibuat gila oleh orang yang kau cintai.
Lalu ku katakan pada mereka :
Rindu itu lebih dahsyat dari apa yang diderita orang-orang gila.
Rindu....penderitaannya tak dapat sembuh sepanjang masa.
Tapi orang gila hanya tak sadar pada suatu waktu saja ".

Penyair berkata :

كل الحوادث مبدأها من النظر     ومعظم النار من مستصغر الشرر

" Semua kejadian sumbernya dari pandangan.
Api yang besar itupun asalnya dari percikan yang kecil ".

ان العيون التى في طرفها حور     قتلننا ثم لم يحيين قتلانا

" Sesungguhnya, mata yang dalam kerdipannya ada bidadarinya.
Telah mengorbankan kita, yang kemudian tak pernah lagi menghidupkan korban-korbannya ".

ايه عصر العشرين ظنوك عشرا    نير الوجه مسعد الانسان
لست نورا بل انت نار وظلم    مذ جعلت الانسان كالحيوان

" Ah,...Abad dua puluh dalam dugaanmu.
Suatu abad penyinar wajah yang membahagiakan manusia.
Engkau bukan cahaya, tetapi engkau adalah api dan ketidak adilan.
Semenjak engkau membuat insan laksana hewan ".

كل الحوادث مبدأها من النظر    ومعظم النار من مستصغر الشرر
والمرء ما دام عين يقلبها    في اعين الغيد موقوف على الخطر
يسر مقلته ما ضر مهجته    لا مرحبا بسرور جاء بالضرر
كم نظرة فتكت في قلب صاحبها    فتك السهام بلا قوس ولا وتر

" Seluruh kejadian, pangkalanya dari pandangan mata
Api yang besar asalnya dari percikan api yang kecil.

Manusia, selama ia masih punya mata yang ia layangkan
Pada mata si cantik jelita akan membawa bahaya.

Nikmat pandangan matanya dirasa berbahaya dalam hatinya.
Tidak ada ucapan selamat bagi kesenangan yang membawa bencana.

Banyak pandangan yang mengganggu hati pemiliknya
Laksana serangan anak panah tanpa busur dan talinya

قل للمليحة فى الحمار المذهب    اذهبتِ دين اخ التقى المتعبد
نور الحمار ونور وجهك ساطع    عجبا لوجهك كيف لم يتوقد

" Katakanlah kepada si manis itu tentang kerudung yang terlepas
Engkau telah membuang kepercayaan seorang saudara yang taqwa lagi diperhamba itu.

Cahaya kerudung dan cahaya wajahnya itu sama-sama terang.
Hemmm ! Mengapa wajahmu tidak menyala ?

——————
Danny Ma'shoum
Sidoarjo, 19 Mei 2015

Minggu, 17 Mei 2015

SAJAK CINTA IBNU 'AROBY

SAJAK CINTA SYAIKHUL AKBAR IMAM MUHYIDDIN IBNU AROBY AL- ANDALUSY

ﻃﺎﻝ ﺷﻮﻗﻰ ﻟﻄﻔﻠﺔ ﺫﺍﺕ ﻧﺜﺮ
ﻭﻧﻈﺎﻡ ﻭﻣﻨﺒﺮ ﻭﺑﻴﺎﻥ
ﻣﻦ ﺑﻨﺎﺕ ﺍﻟﻤﻠﻮﻙ ﻣﻦ ﺩﺍﺭ ﻓﺮﺱ
ﻣﻦ ﺃﺟﻞ ﺍﻟﺒﻼﺩ ﻣﻦ ﺃﺻﺒﻬﺎﻥ
ﻫﻰ ﺑﻨﺖ ﺍﻟﻌﺮﺍﻕ ﺑﻨﺖ ﺇﻣﺎﻣﻰ
ﻭﺃﻧﺎ ﺿﺪﻫﺎ ﺳﻠﻴﻞ ﻳﻤﺎﻧﻰ
ﻟﻮ ﺗﺮﺍﻧﺎ ﺑﺮﺍﻣﺔ ﻧﺘﻌﺎﻃﻰ
ﺃﻛﻮﺳﺎ ﻟﻠﻬﻮﻯ ﺑﻐﻴﺮ ﺑﻨﺎﻥ
ﻫﻞ ﺭﺃﻳﺘﻢ ﻳﺎ ﺳﺎﺩﺗﻰ ﺃﻭ ﺳﻤﻌﺘﻢ
ﺃﻥ ﺿﺪﻳﻦ ﻗﻂ ﻳﺠﺘﻤﻌﺎﻥ
ﻭﺍﻟﻬﻮﻯ ﺑﺒﻴﻨﻨﺎ ﻳﺴﻮﻕ ﺣﺪﻳﺜﺎ
ﻃﻴﺒﺎ ﻣﻄﺮﺑﺎ ﺑﻐﻴﺮ ﻟﺴﺎﻥ
ﻟﺮﺃﻳﺘﻢ ﻣﺎ ﻳﺬﻫﺐ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﻓﻴﻪ
ﻳﻤﻦ ﻭﺍﻟﻌﺮﺍﻕ ﻣﻌﺘﻨﻘﺎﻥ

Betapa rinduku begitu panjang
Pada gadis kecil, penggubah prosa,
Nizam (pelantun puisi), mimbar dan bayan
Dialah putri raja-raja Persia
Negeri megah dari Ashbihan
Putri Irak, putri guruku
Sementara aku ?
O, betapa jauhnya
Moyangku dari Yaman
Andai saja kalian tahu
Betapa kami berdua
Saling menghidangkan
Cawan-cawan cinta
Meski tanpa jari-jemari
Adakah, kalian, wahai tuan-tuan
Pernah melihat atau mendengar
Dua tubuh yang bersaing
Dapat menyatukan rindu
Andai saja kalian tahu
Cinta kami
Yang menuntun kami
Bicara manis,
bernyanyi riang
meski tanpa kata-kata
Kalian pasti tahu
Meski hilang akal
Yaman dan Irak nyatanya
Bisa berpelukan

(  Syaikhul Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi Al-Andalusiy  )

Diantara Guru Imam Muhyiddin Ibnu Aroby adalah 2 wanita sufi cantik yang mampu mengantarkan beliau menjadi Sufi agung andalusia, Spanyol. Dialah Yasmin Mursyai Syah dan Fatimah Qurthubiyyah. Dan ketika beliau berada di kota Makkah, sekali lagi beliau bertemu sufi wanita yang cantik jelita dari Isfahan yang banyak memberikan ilham pada Imam Ibnu 'Aroby. Dan dari pertemuannya inilah menjadi inspirasi lahirnya kitab Tarjumanul Asywaaq.

—————
Sidoarjo, 18 Mei 2015
Danny Ma'shoum

Jumat, 08 Mei 2015

KAROMAH IMAM AL-GHOZALI DAN KITAB IHYA ULUMIDDIN

KAROMAH-KAROMAH IMAM AL-GHOZALI YANG BERKAITAN DENGAN KITAB IHYA' ULUMIDDIN-NYA

Hujjatul Islam Al-Imam Abul Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali at-Thusi atau yang masyhur dengan sebutan Imam Al-Ghozali ( L. 450 H / 1058 M— W. 505 H / 1113 M ) dan Kitab Ihya' Ulumiddin nya tidaklah dapat dipisahkan penisbatan kemasyhuran dari keduanya, orang pada umumnya lebih mengenal sosok Imam Al-Ghozali dengan penisbatan pada kitab fenomenalnya ini daripada kitab-kitab beliau yang lainnya diantaranya :

(1). Kitab Minhajul 'Abidin ( kitab ini telah diberi komentar atau syarah oleh Al-Allamah Kyai Ihsan Jampes-Kediri, setebal dua jilid dengan judul Sirojut Tholibin, yang konon kitab ini masih dipakai sebagai rujukan salah satu mata kuliah bidang Tashowwuf di Universitas Al-Azhar Mesir dan dipakai sebagai materi kajian tashowwuf di masjid-masjid Jami' di negara Mali dan negara benua hitam ( Afrika ) lainnya rutin setiap ba'dha subuh, sebagaimana penuturan DR.KH Said Aqil Siroj selaku ketua PBNU sekarang yang pernah melihat sendiri dalam lawatannya berkunjung ke negara-negara di Benua Hitam tersebut )
(2). Al- Munqidz minad Dholal
(3). Al-Khulashoh,
(4). Al-Wasith
(5). Al-Basith,
(6). Al-Wajiz,
(7). Tahafutul Falasifah,
(8). Al-Ghoyatul Quswa,
(9). Jawahirul Qur'an,
(10). Kimiya'us Sa'adah,
(11). Bidayatul Hidayah
(12). Al- I'tiqod fil Iqtishod
(13). Al-Mankhul fii Ushulil Fiqhi ( kitab ini beliau sudun ketika Imam Haromain yang menjadi gurunya masih hidup )
(14). Bidayatul Hidayaat wal Ma`aakhidzu fil Khilafiyaat,
(16). Tahshinul Ma`aakhiidz
(17). Al-Lubab al-Muntakhil fil Jadal
(18). Bayanu Fadhoihil Imamiyyah
(19). Wa iljaamul 'Awaam fii Ilmil Kalaam
(20). Misykatul Anwar
(21). Bayanul Qoulaini lis Syafi'i
(22). Al-Mustadzhhiri fir Roddi 'alal Bathiniyyah
(23). Haqiqotur Ruuh
(24). Sullamus Syayaathin
(25). Al-Qonun Al-Kulliy
(26). Risalatul Aqthob
(27). Al-Mi'roj
(28). Hujjatul Haq
(29). Akhlaqul Abror
(30). Al-Maknuun fil Ushul
(31). Aqidatul Mishbah
(32). Al-Minhajul A'laa
(33). Kitab Al-Asror Mu'aamalatid Diin
(34). Kitab 'Ajaibu Shun'illah
(35). Ar-Roddu 'ala Man Thogho
(36). Asroru Itba'is Sunnah
(37). Risalatut Thoir
(38). Talbis Iblis
(39). Mifsholul Khilaaf fi Ushulil Qiyaas
(40). Al-Qurbatu Ilalloh
(41). Mi'yarul 'Ilm, dan lain sebagainya.

Berkaitan dengan karomah-karomah beliau dan kitab Ihya' Ulumiddin nya, saya nukilkan keterangan dari Al-Imam al-'Allamah Asy-Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani ( l. 1265 / w. 1350 H ) yang beliau kisahkan dalam kitabnya " JAAMI'U KAROMATIL AULIYA' ", Jilid 1 Hal. 180-181  :

ذكر سيدى محي الدين ابن العربى في كتابه روح القدس : ان ابا عبد الله بن زين بأشبيلية وكان من افضل الناس ، وقد اعتكف على كتب أبى حامد ، يعنى الغزالي ، ولكنه قرأ ليلة تأليف أبى القاسم بن احمد في الرد على ابى حامد فعمى ، فسجد لله تعالى من حينه وتضرع وأقسم انه لت يقرأه ابدا ويذهبه ، فرد الله عليه بصره . وقد ذكر سيدى محي الدين هذه الحكاية كرامة لأبى عبد الله بن زين اعتناء من الحق به وتنبيها له رضي الله عنه وعن الإمام الغزالى وعن سائر اولياء الله .

As-Sayyid Muhyiddin Ibnul 'Arobi dalam kitabnya yang berjudul Ruhul Quds menceritakan bahwa Abu Abdillah bin Zein di negeri Asybiliyah adalah seorang yang paling utama di negeri itu dalam menekuni membaca kitab-kitab Imam Al-Ghozali. Akan tetapi pada suatu malam ia membaca kitab yang dikarang oleh Abil Qosim bin Ahmad yang menjelaskan tentang penolakan-penolakannya terhadap Imam Al-Ghozali. Maka seketika matanya buta dan seketika itu pula ia sujud kepada Alloh dengan penuh iba serta bersumpah tidak akan membaca kitab karya Abil Qosim bin Ahmad untuk selamanya dan bersumpah pula untuk membuang kitab tersebut. Maka Alloh SWT memulihkan penglihatannya kembali.
Sayyidi Imam Muhyiddin Ibnul Arobi telah menuturkan bahwa kisah ini juga merupakan karomah bagi Abu Abdillah bin Zein supaya memperhatikan kebenaran kitab Ihya Ulumiddin tersebut dan sebagai peringatan baginya dari Imam Al-Ghozali dan semua wali-wali Alloh lainnya.

قال المناوى : ومن كرامته ما خرجه اليافعى عن ابن الميلق ، عن العرشى ، عن المرسى ، عن الشاذلى ، عن الشيخ ابن حرازم انه خرج على اصحابه ومعه كتاب فقال : اتعرفونه ؟ قال : هذا الإحياء ، وكان الشيخ المذكور يطعن فى الغزالى وينهى عن قراءة الإحياء فكشف لهم عن جسمه فاذا هو مضروب بالسياط  قال : أتانى الغزالى في النوم ودعانى الى رسول الله صلى الله عليه  سلم ، فلما وقفنا بين يديه قال : يا رسول الله هذا يزعم أنى أقول عليك ما لم تقل ، فأمر بضربى فضربت .

Imam Al-Munawi berkata : " Sebagian dari karomah-karomah Imam Al-Ghozali yang diriwayatkan oleh Imam Al-Yafi'i dari Ibnul Mailiq dari Imam Yaqut Al- Arsy dari Imam Abul Abbas Al-Mursiy dari Imam Abil Hasan Asy-Syadzili dari Syaikh Ibnul Harrozim, bahwa Syaikh Ibnul Harrozim keluar menemui murid-muridnya dengan membawa sebuah kitab, lalu ia berkata kepada murid-muridnya, " Tahukah kalian kitab apa ini ?". Murid-muridnya menjawab, " Itu kitab Ihya' ". ( Sebelum ini, Syaikh Ibnul Harrozim pernah mencaci maki Imam Al-Ghozali dan melarang muridnya membaca kitab Ihya' ) Kemudian beliau membuka bajunya dihadapan murid-muridnya dan ternyata pada tubuhnya terdapat bekas pukulan cambuk. Ia berkata pada murid-muridnya, " Aku bermimpi Imam Al-Ghozali datang kepadaku dan mengajakku mendatangi Rosululloh SAW, lalu Imam Al-Ghozali berkata, " Wahai Rosululloh, orang ini ( ibnul Harrozim ) menyangka bahwa aku mengatakan sesuatu yang tidak pernah engkau katakan ".  Kemudian Rosululloh memerintahkan agar memukulku ( dicambuk ), maka dipukul ( cambuk ) lah aku ".

منها : قال العارف الشاذلى :  ورأيت المصطفى صلى الله عليه وسلم في المنام  باهى عيسى وموسى بالغزالى وقال : هل فى أمتكما مثله ؟ قالا لا .

Sebagian dari karomah Imam Al-Ghozali adalah, telah berkata Al-'Arif Asy-Syadzili, " Dalam tidurku, aku melihat Rosululloh SAW membanggakan Imam Al-Ghozali kepada Nabi Isa dan Nabi Musa. Rosululloh SAW berkata, " Apakah ada pada ummat kalian berdua yang seperti Al-Ghozali ?", Nabi Isa dan Nabi Musa menjawab : " Tidak ada ".

ورأى العارف الكبير اليمنى احمد الصياد ابواب السماء مفتحة ، ونزل عصبة من الملائكة ومعهم خلع خضر ودابة ، فوقفوا على رأس قبر وأخرجوا شخصا منه وألبسوه الخلعة واركبوه الدابة وصعدوا به الى السماء  سماء سماء حتى جاوزوا السموات كلها ، وخرق بعدها سبعين حجابا ؛ قال : فتعجبت من ذلك وأردت معرفته ، فقيل لى : هذا الغزالى ، ولا علم لى أين انتهاؤه ، وشهد له المرسى بالصديقية العظمى .

Al-'Arif al-Kabir Al-Yamani Ahmad Ash-Shayyad melihat pintu-pintu langit terbuka, serombongan malaikat turun dengan pakaian warna hijau dan kendaraan, kemudian mereka berhenti di atas kepala sebuah pusara seraya mengeluarkan seseorang dari dalam pusara tersebut lalu membawanya naik kelangit, dari langit ke langit hingga melewati langit seluruhnya, setelah melewati langit dibukalah 70 hijab.
Ahmad Ash-Shayyad berkata ," Aku merasa sangat takjub dengan apa yang aku lihat dan ingin mengetahuinya. Maka tiba-tiba ada yang berkata kepadaku : " Orang ini adalah Al-Ghozali ". Dan aku ( Ahmad Ash-Shayyad ) tidak mengerti sampai dimana puncak ketinggian pendakiannya .

Dalam risalah kecil yang disusun oleh Syaikhina KH. Muhammad Djamaluddin Ahmad, Tambak beras-Jombang, yang berjudul " Dua figur Tokoh Agung ( Pemimpin kelompok-kelompok Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Dalam Bidang Tashowwuf , Al-Imam Al-Ghozali dan Asy-Syaikh Abul Qosim Junaid Al-Baghdady ), Hal. 33, juga menceritakan sebagian karomah Imam Al-Ghozali ( ini adalah kisah lengkapnya sebagaimana yang dituturkan Imam Al-Yafi'i dari Ibnul Mailiq dari Imam Yaqut Al- Arsy dari Imam Abul Abbas Al-Mursiy dari Imam Abil Hasan Asy-Syadzili dari Syaikh Ibnul Harrozim....) sebagaimana berikut ;

" Al-Imam Al-Yafi'i ( penyusun kitab Roudlhur Royahin fi Hikayatis Sholihin ) menyebutkan pula bahwa Asy-Syaikh Al-Imam al-Kabir Abul Hasan Ali bin Hirozim, seorang ahli fiqh yang tersohor di negeri al-Maghrobi pernah mengingkari dengan pengingkaran yang amat sangat terhadap kitab Ihya' Ulumiddin, padahal ia adalah seorang yang diataati masyarakat dan didengar ucapan-ucapannya. Ia memerintahkan agar semua naskah kitab Ihya' yang telah dimiliki oleh masyarakat agar dikumpulkan di Masjid Jami' dan ingin membakarnya pada hari Jum'at. Tiba-tiba pada malam Jum'at itu pula ia bermimpi masuk kedalam masjid jami' dan didalam masjid itu ia bertemu Rosululloh SAW, Abu Bakar dan Umar Ibnul Khotthob dan Imam Al-Ghozali yang berdiri dihadapan Rosululloh SAW.
Ketika Imam Ibnu Hirozim datang, Al-Imam Al-Ghozali berkata : " Wahai Rosululloh, inilah orang yang memusuhi saya, kalau sesuatu yang benar itu seperti yang dikatakan orang ini maka aku akan bertaubat kepada Alloh, dan apabila sesuatu yang aku peroleh itu adalah sesuatu yang berasal dari barokahmu dan mengikuti jejakmu, maka ambilkan hakku untukku dari musuhku ".
Kemudian Rosululloh SAW mengambil kitab Ihya' dan membukanya halaman per halaman, lembar perlembar dari awal sampai akhir, kemudian bersabda, " Ini adalah sesuatu yang baik ". Kemudian Rosululloh memberikannya kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, setelah melihat kitab itu, Abu Bakar menganggap bahwa kitab itu baik sekali, kemudian berkata, " Demi Alloh yang mengutusmu dengan haq, kitab ini adalah sesuatu yang baik ". Kemudian Abu Bakar memberikan kitab itu kepada Umar Al-Faruq r.a ( gelar Umar bin Khotthob ). Setelah memperhatikannya, ia memujinya dan mengatakan seperti apa yang dikatakan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Kemudian Rosululloh SAW memerintahkan agar baju Ibnul Hirozim dilepas dan dipukul diberi sanksi seperti sanksinya orang yang berbuat bohong. Kemudian baju Ibnul Hirozim dilepas dan dipukul dengan cambuk. Ketika pukulan cambuk mencapai hitungan lima kali pukulan, Abu Bakar Ash-Shiddiq memberi pertolongan kepadanya seraya berkata kepada Rosululloh SAW, " Ya Rosulalloh, barangkali ia menduga bahwa kitab Ihya' itu bertentangan dengan sunnah-mu, akan tetapi ia keliru dengan dugaannya ".
Setelah Imam Al-Ghozali mendengar syafaat ( pertolongan Abu Bakar kepada Ibnul Hirozim ) Abu Bakar r.a ia ( Imam Al-Ghozali ) rela dan mau menerima permintaan Abu Bakar itu.
Setelah Ibnu Hirozim bangun dari tidurnya, ia melihat bekas pukulan-pukulan cambuk dipunggungnya dan memberitahukan kepada murid-muridnya dan bertaubat kepada Alloh SWT serta memohon ampun dari kesalahannya. Akan tetapi bekas pukulan cambuk itu dirasakan sakitnya dalam waktu yang sangat lama, sehingga dia bertadhorru' ( menghiba ) kepada Rosululloh SAW sampai ia bermimpi bertemu Rosululloh SAW masuk rumahnya dan mengusap punggungnya dengan tangannya yang mulia, seketika itu ia sembuh dengan izin Alloh SWT.  Setelah itu Ibnu Hirozim selalu mutholaah kitab Ihya' Ulumiddin sehingga Alloh membuka hatinya dan ia memperoleh makrifat billah dan menjadi pembesar masyayikh ahli ilmu lahir dan batin.
Mudah-mudahan Alloh merahmatinya.

——————
Sidoarjo, Jum'at 8 Mei 2015
Danny Ma'shoum.

Kamis, 07 Mei 2015

TALQIN DAN VARIASI REDAKSINYA

BACAAN TALQIN DAN VARIASI REDAKSINYA

بسم الله الرحمن الرحيم

Talqin adalah sebuah doa sebagai bimbingan bagi orang yang akan meninggal maupun bagi jenazah yang telah dikebumikan. Bacaan talqin ini merupakan bagian dari ajaran-ajaran Dienul Islam yang bersumber dari hadist-hadist Nabi Muhammad SAW, dan biasanya dibaca ketika prosesi pemakaman jenazah selesai dikebumikan, dimana para pengiring jenazah berdiam sejenak mendengarkan salah seorang ( modin ) membacakan doa yang dikhususkan bagi jenazah tersebut sebagai paripurnanya acara prossesi pemakaman.
Ada beberapa hadist Nabi SAW yang menganjurkan pembacaan doa talqin jenazah ini, diantaranya adalah ;

(1). Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari sahabat Utsman r.a :

كان النبي صلى الله عليه وسلم اذا فرغ من دفن الميت وقف عليه، فقال : استغفروا لأخيكم واسئلوا له التثبيت فإنه الآن يسأل . ( رواه الحاكم )

" Bahwa Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayat, beliau berdiri dan berkata ; " Mintakanlah ampun saudaramu dan mintakanlah supaya ia berketetapan, karena sekarang ia ditanya ". [ HR. Al-Hakim ]

(2). Hadist yang diriwayatkan oleh Jama'ah dari Abu Sa'id Al-Khudry, sebagaimana Yahya bin Abil-Khoir dalam kitabnya Al-Bayan, Juz 3, Hal. 9 , Terbitan Daarul Kutub al-Ilmiyyah, tahun 2002.

لقنوا موتاكم لا اله الا الله . ( رواه الجماعة )

" Talqinkanlah orang-orang yang akan mati dari kamu semua dengan kalimat " Laa Ilaaha Illa Alloh ". [ HR. Al-Jama'ah ]

(3). Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Sa'd bin Manshur ( Hadist Mauquf ) dari Dhlomroh bin Habib salah seorang tabiin :

عن ضمرة بن حبيب احد التابعين قال : كانوا يستحبون اذا سوّي على ميت قبره ، وانصرف الناس عنه ان يقال عند قبره ، يا فلان قل لا اله الا الله ثلاث مرات يا فلان قل ربي الله، ودينى الاسلام، ونبي محمد . ( رواه ابو سعد ابن منصور )

" Dari Dlhomroh bin Habib, salah seorang tabi'in berkata ; " Apabila sudah diratakan kubur salah seorang mayit, dan pengantarnya meninggalkannya pulang kerumah masing-masing, ada seorang yang berkata disisi kuburnya, " Ya fulan, katakanlah olehmu LAA ILAAHA ILLA ALLOH tiga kali, Ya fulan,..katakanlah ; Tuhanku ialah Alloh, Agamaku ialah Islam dan Nabiku ialah Muhammad ". [ HR. Abu Sa'd bin Manshur ]

(4). Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thobroni dari Abi Usamah yang menguatkan tentang mendengarnya mayit dari dalam kubur sehingga perlu ditalqin adanya sebagai bimbingan baginya ;

وروي الامام الطبراني حديث الى ابي امامة مرفوعا عن النبي صلى الله عليه وسلم انه قال : اذا مات احد من اخوانكم فسوّيتم التراب على قبره فليكم احدكم على رأس قبره ثم اليقل يا فلان ابن فلان فانه يسمعه. ( رواه الطبرانى )

" Dari Abi Umamah dari Nabi SAW, Bahwasannya beliau berkata : " Ketika salah seorang saudaramu ( yang muslim ) meninggal dunia, ratakanlah tanah kuburnya, kemudian katakanlah, " Ya fulan bin fulan..." bahwasannya mayit didalam kubur itu mendengar ". [ HR. Ath-Thobroni ]

——————

REDAKSI-REDAKSI TALQIN

Redaksi-redaksi talqin ini saya sadur dari buku " BIMBINGAN PERAWATAN JENAZAH " , Hal. 96-108 yang disusun dan diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Gresik.

√. REDAKSI TALQIN YANG PENDEK DAN SINGKAT.

(*) Adapun redaksi Talqin yang pendek berdasarkan Hadist riwayat Imam Ath-Thobroni yang dinukil oleh Syaikh DR. Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Juz 2, Hal. 537, sebagai berikut :

يا عبد الله ابن امة الله اذكر ما خرجت عليه من دار الدنيا شهادة ان لا اله الا الله وان محمدا رسول الله. وان الجنة حق. وان النار حق. وان البعث حق. وان الساعة آتية لا ريب فيه. وان الله يبعث من في القبور . وانك رضيت بالله ربا . وبالإسلام دينا . وبمحمد صلى الله عليه وسلم نبيا . وبالقرآن اماما . وبالكعبة قبلة . وبالمؤمنين اخوانا .

√. REDAKSI TALQIN YANG PANJANG

(*) Redaksi Talqin yang panjang menurut Imam Barnawi yang mengutip dari Imam Qosim Al-'Ubbadi yang tercantum dalam kitab 'Ianatut Tholibin, Juz 2, Hal. 140, Karya Allamah As-Sayyid Bakri Syatho' Ad-Dimyathi, sebagai berikut :

بسم الله الرحمن الرحيم

كلّ شيئ هالك الا وجهه له الحكم واليه ترجعون كل نفس ذائقة الموت وانما توفون اجوركم يوم القيامة فمن زحزح عن النار وادخل الجنة فقد فاز وما الحياة الدنيا الا متاع الغرور منها خلقناكم وفيها نعيدكم ومنها نخرجكم تارة اخرى منها خلقناكم للاجر والثواب وفيها نعيدكم للدود والتراب ومنها نخرجكم للعرض والحساب. بسم الله وبالله ومن الله والى الله وعلى ملة رسول الله صلى الله عليه وسلم هذا ما وعد الرحمن وصدق المرسلون ان كانت الا صيحة واحدة فإذا هم جميع لدينا محضرون، يا فلان بن فلانة او يا عبد الله او يا ابن امة الله يرحمك الله ذهبت عنك الدنيا وزينتها وصرت الآن في برزخ من برازخ الآخرة فلا تنس العهد الذي فارقتنا عليه في دار الدنيا وقدمت به الى دار الآخرة وهو شهادات ان لا اله الا الله وان محمدا رسول الله. فاذا جائك الملكان الموكلان بك وبأمثالك من أمة محمد صلى الله عليه وسلم فلا يزعجاك ولا يرعباك واعلم انها خلق من خلق الله تعالى كما انت خلق من خلقه فإذا اتياك واجلساك وسألاك وقالاك ما ربّك وما دينك وما نبيك وماعتقادك وما الذى مت عليه فقل لهما الله ربّى فاذا سألاك الثانية فقل لهما الله ربّى فاذا سألاك الثالثة وهي الخاتمة الحسنى فقل لهما بلسان طلق بلا خوف ولا فزع الله ربّى والإسلام دينى ومحمد نبيّ والقرآن امامى والكعبة قبلتى والصلوات فريضتى والمسلمون اخوانى وابراهيم الخليل أبى وانا عشت ومتّ على قول لا اله الا الله محمد رسول الله. تمسك يا عبد الله بهذه الحجة واعلم انك مقيم بهذا البرزح الى يوم يبعثون ، فاذا قيل لك ما تقول في هذا الرجل الذى بُعِثَ فيكم وفي الخلق اجمعين فقل هو محمد صلى الله عليه وسلم جاءنا بالبينات من ربه فاتّبعناه وأمنّا به وصدقنا برسالته فان تولو فقل حسبي الله لا اله الا هو عليه توكلت وهو رب العرش العظيم.  واعلم يا عبد الله ان الموت حق وان نزول القبر حق وان سؤال منكر ونكير حق وان البعث حق وان الحساب حق وان الميزان حق وان الصراط حق وان النار حق وان الجنة حق وان الساعة آتية لا ريب فيها، وان الله يبعث من في القبور، ونستودعك اللهم يا أنيس كل وحيد ويا حاضرا ليس يغيب آنِس وحدتنا ووحدته وارحم غربتنا وغربته ولقّنه حجته ولا تفتنّا بعده واغفرلنا وله يا رب العالمين ، سبحان ربك رب العزّة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين .

√. REDAKSI TALQIN DALAM BAHASA JAWA

(*) Sedangkan redaksi Talqin dalam bahasa jawa yang disusun oleh Kyai Bisyri Musthofa ( ayahanda Gus Musthofa Bisyri ) adalah sebagai berikut :

بسم الله الرحمن الرحيم

كلّ شيئ هالك الا وجهه له الحكم واليه ترجعون كل نفس ذائقة الموت وانما توفون اجوركم يوم القيامة فمن زحزح عن النار وادخل الجنة فقد فاز وما الحياة الدنيا الا متاع الغرور منها خلقناكم وفيها نعيدكم ومنها نخرجكم تارة اخرى منها خلقناكم للاجر والثواب وفيها نعيدكم للدود والتراب ومنها نخرجكم للعرض والحساب. بسم الله وبالله ومن الله والى الله وعلى ملة رسول الله صلى الله عليه وسلم هذا ما وعد الرحمن وصدق المرسلون ان كانت الا صيحة واحدة فإذا هم جميع لدينا محضرون . — ( lalu dilanjutkan membaca redaksi bahasa jawa dibawah ini ..)

Hei fulan ( ..... ) saiki siro wus mati ngalih marang ngalam kubur, yo iku ngalam barzah, siro ojo nganti lali perkoro kang siro sungkemi naliko siro pisah karo kito kabeh. Hiyo iku nyakseni yen temen ora ono Pengeran Kang Haq kejobo Gusti Alloh Ta'ala. Lan nyekseni yen Gusti kanjeng Nabi Muhammad iku utusane Gusti Alloh Ta'ala.
Hei fulan (......) ! sing ati-ati yen siro ditekani malaikat loro ( dua ) kang dipasrahi nyubo marang siro, siro ojo kaget lan ojo gemeter, ngertio ! saktemene kang bakal nekani siro iku iyo podo makhluqe Alloh.
Hei fulan ( ..... ) ! yen malaikat loro mengko takon marang siro mengkene :
Sopo Pengeranmu ?
Opo Agomomu ?
Sopo Nabimu ?
Opo i'tiqodmu ?
Lan opo kang siro sungkemi naliko siro mati ?

Yen siro ditakoni mengkono, jawabo ! Pengeranku iku Gusti Alloh. Yen dikaping pindoni takone, jawabo maneh ! Gusti Alloh iku Pengeranku. Yen den kaping teloni takone, yo iku pitakon kang pungkasan, siro jawabo kang teges, ojo gemeter lan ojo kuatir, " Gusti Alloh iku pengeranku, Agomo Islam iku Agomoku, Gusti Kanjeng Nabi Muhammad iku Nabiku, Kitab Al-Qur'an iku panutanku, Sholat sembahyang iku kuwajibanku, wong Islam kabeh iku sedulurku, Nabi Ibrohim iku bapakku, aku urip lan mati netepi ucapan " LAA ILAAHA ILLALLOH MUHAMMADUR ROSULULLOH SOLLALLOHU 'ALAIHI WASALLAM ".
Hei fulan ( ..... ) ! Hujjah tak wuruk ake marang siro iku cekelen temen-temen, ngertio yen siro bakal manggoni ing ngalam kubur nganti besok dino qiyamat, yo iku dinane wong-wong ahli kubur podo ditange'ake.
Hei fulan ( ..... ) ! ngertio yen pati iku haq, manggon ing kubur, pitakone munkar nakir ono ing kubur, dinone tangi saking kubur, onone hisab, timbangan amal, wot shirotol mustaqim, neroko lan suwargo, iku kabeh haq lan mesti anane. Setuhune dino kiyamat iku mesti tumekane, lan setuhune Gusti Alloh bakal nangi'ake wong kang ono ing ngalam kubur.

ونستودعك يا الله، اللهم أنيس كل وحيد ويا حاضرا ليس يغيب. آنس وحدتنا ووحدته وارحم غربتنا وغربته ولقنه حجته ولا تفتنا بعده واغفرلنا وله يا رب العالمين ، سبحان ربك رب العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين .

————
(*) Dari ketiga redaksi diatas, kata / lafadz " abdulloh bin amatillah " atau " ya fulan " diganti dengan nama jenazah / mayit yang bersangkutan, (..... bin .....) atau namanya si mayit saja.

Wallohu a'lam bis Showab.

Sidoarjo, Rabu 6 Mei 2015
Danny Ma'shoum.

FATWA IMAM AS-SUYUTHI

FATWA IMAM AS-SUYUTHI TENTANG AYAT 84 DARI SUROH AT-TAUBAH

Alloh SWT berfirman dalam Suroh Baro'ah / At-Taubah ayat 84, yang berbunyi :

(وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ) [Surat At-Tawba : 84]

" Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik ".

Berkaitan dengan pengertian ayat diatas, Al-Imam al-Hafidz Jalaluddin Abdurrohman bin Abu Bakar As-Suyuthi dalam Kitabnya Al-Hawy lil Fatawiy, Jilid 1, Hal. 365, beliau ditanya akan pengertian lafadz " al-qiyaamu " pada teks ayat, "......walaa taqum 'alaa qobrihi...", Bab " Al-Fatawy Al-Quraniyyah " tentang Suroh Baro'ah, sebagaimana saya tulis salinannya berikut dibawah ini :

مسألة : في قوله تعالى :  
(وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ) هل يفسر القيام هنا بزيارة القبور ؟ وهل يستدل بذلك على ان الحكمة في زيارته صلى الله عليه وسلم قبر امه انه لإحيائها لتؤمن به بدليل ان تاريخ الزيارة كان بعد النهي ؟.

PERTANYAAN : Tentang firman Alloh Ta'ala Suroh Baro'ah ( At-Taubah ayat 84 ), apakah penafsiran lafadz " al-qiyaamu ( berdiri ) disini diartikan dengan ziarah kubur ? dan apakah hal itu mengindikasikan terhadap hikmah ziarahnya Nabi SAW ke kubur ibundanya ( memohon kepada Alloh ) untuk menghidupkan ibundanya kembali supaya mengimani dengan ( risalah yang diemban ) nya itu, sebagai bukti bahwa sejarah ziarah itu telah ada sebelum adanya larangan berziarah ?

الجواب : ان المراد بالقيام على القبر الوقوف عليه حالة الدفن وبعده ساعة ، ويحتمل ان يعم الزيارة ايضا أخذا من الاطلاق ، وتاريخ الزيارة كان قبل النهي لا بعده ، فان الذي صح في الاحاديث انه صلى الله عليه وسلم زارها عام الحديبية والآية نازلة بعد غزوة تبوك ثم الضمير في ( منهم ) خاص بالمنافقين وان كان بقية المشركين يلحقون بهم قياسا ، وقد صح في حديث الزيارة انه استأذن ربه في ذلك فأذن له ، وهذ الإذن عندي يستدل به على انها من الموحدين لا من المشركين كما هو اختياري ، ووجه الاستدلال به انه نهاه عن القيام علي قبور الكفار وأذن له في القيام على قبر امه فدل على انها ليست منهم والا لما كان يأذن له فيه واحتمال التخصيص خلاف الظاهر ويحتاج الى دليل صريح . فان قلت : استئذانه يدل على خلافه والا لزارها من غير استئذان . قلت : لعله عنده وقفة في صحة توحيد من كان في الجاهلية حتى اوحى اليه بصحة ذلك .

JAWABAN : Yang dimaksud berdiri diatas kubur disini adalah berdiam diri dalam prosesi pemakaman jenazah dan sesaat setelah pemakaman, dan bisa juga ( lafadz al-qiyaam ) dipakai sebagai keumuman hukum berziarah secara muthlaq, dan sejarah ziarah telah ada sebelum adanya larangan berziarah, bukan sesudah adanya larangan. Dan bahwasannya hal ini dibenarkan didalam beberapa hadist bahwa Nabi SAW telah menziarahi kubur ibundanya pada tahun ( terjadinya perjanjian ) Hudaibiyah, dan ayat ( 84, Suroh Baro'ah ) itu diturunkan sesudah terjadinya perang Tabuk. Kemudian dhomir pada lafadz " minhum ( منهم ) " pada ayat tersebut hanya tertentu bagi orang-orang munafiq saja serta dijadikan analogi ( qiyas ) apabila masih ada sisa dari orang-orang musyrik yang masih dapat  dijumpai pada golongan mereka ( munafiqin ). Dan sungguh telah dinyatakan dalam hadist tentang ziarah, bahwa Nabi SAW meminta izin kepada Alloh untuk ini ( menziarahi kubur ibundanya ), maka Alloh pun mempersilahkannya. Dan izin ( yang diberikan Alloh ) ini menurutku ( As-Suyuthi ) membuktikan bahwa ibunda Nabi SAW termasuk dari golongan Muwahhidin ( yang meng-Esa-kan Alloh ) dan bukan dari golongan orang-orang musyrikin, sebagaimana ini adalah pendapat yang dipilih. Dan sudut pandang pada kesimpulan ayat ini, bahwa sesungguhnya Alloh melarang Nabi SAW berdiri ( ziarah ) pada kubur orang-orang kafir dan Alloh mempersilahkan ( memberi idzin ) kepada beliau untuk berdiri ( ziarah ) kekubur ibundanya yang menandakan bahwa ibundanya bukanlah dari golongan kaum kafir. Dan jika tidak begitu,  maka ketika diizinkannya bagi Nabi dalam hal ini ( ziarah ) dan menjadikan kekhususan ( pada diri Nabi SAW ) itu memunculkan perbedaan pendapat dan akan memerlukan adanya bukti yang kongkrit. Maka jika kamu berkata, " Permohonan izin Nabi itu menunjukkan sebuah kontroversi, dan jika tidak, maka Nabi menziarahi kubur ibunya tidak perlu meminta izin. Aku ( As-Suyuthi ) berkata , " Bisa jadi apa yang ada pada Nabi ketika itu merupakan jeda waktu ( untuk mengetahui ) atas pernyataan tauhid seseorang yang hidup dimasa jahiliyah sampai diwahyukan kepada Nabi tentang kebenaran pernyataan tersebut ".

Wallohu a'lamu bis showab
————————
Sidoarjo, Kamis 7 Mei 2015
Danny Ma'shoum.