Senin, 30 Maret 2015

KAJIAN TENTANG " RUH-RUH LAKSANA TENTARA YANG BERKUMPUL "

MAKNA HADIST " AL-ARWAH JUNUDUN MUJANNADAH "

Dalam Suroh Al-Isro', Alloh berfirman ;

(وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا) [Surat Al-Isra : 85]

" Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

Tema kajian ;

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ؛ الارواح جنود مجندة، فما تعارف منها...ائتلف، وما تناكر منها...اختلف. رواه مسلم من حديث ابي هريرة والبخارى تعليقا من حديث عائشة

* Referensi yang saya pakai sebagai muqobalah untuk pembahasan ini adalah ;

(1). Kitab Syarhus Shudur, bi Syarhi Halil Mauta wal Qubur, lil Imam Jalaluddin As-Suyuthi.
(2). Ihya' Ulumiddin, lil Imam Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali.

Ada beberapa sudut pandang berbeda dari pengertian hadist tentang makna " Al-arwah junudun mujannadah... ", akan tetapi kesimpulan akhirnya terdapat kesamaan.
Sebagaimana pada Kitab Syarhus shudur nya Imam As-Suyuthi, Hal. 570, beliau menerangkan begini ;

اختلف في معني قوله صلى الله عليه وسلم (( الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها...ائتلف، وما تناكر منها...اختلف ))، فقيل : هو اشارة الى معنى التشاكل في الخير والشر، والصلاح والفساد، وان الخير من الناس يحن الى شكله، والشرير يميل الى نظيره، فتعارف الارواح يقع بحسب الطباع التي جبلت عليها من خير او شر، فاذا اتفقت...تعارفت، واذا اختلفت...تناكرت.

Terjadi perbedaan pendapat tentang makna sabda Rosululloh SAW, " Ruh-ruh itu laksana tentara yang berkumpul, maka yang saling mengenal daripadanya niscaya menyelaraskan ( mudah bergaul atau saling menyesuaikan ) dan yang bertentangan daripadanya, niscaya saling menyelisihi ( bersebrangan ) ".
Maka dikatakan, bahwa ini adalah isyarat terhadap penyesuaian makna dari kebaikan dan keburukan, integritas dan disintegritas ( kemanfaatan dan kerusakan ). Dan sesungguhnya bentuk kebaikan dari sesama manusia adalah bentuk penyesuaian dari rasa mengasihi itu, dan keburukan senantiasa condong pada apa yang pararel dengannya ( partnernya ). Maka ruh-ruh itu saling mengenal menurut karakter atau watak yang dibentuk daripadanya kebaikan dan keburukan. Maka apabila cocok, akan saling mengenal, apabila tidak cocok maka saling bersebrangan atau berselisih.

Dalam hal ini, Imam As-Suyuthi menyajikan beberapa sudut pandang lain, sebagaimana dalam paragraf berikutnya ;

وقيل : المراد : الإخبار عن بدئ الخلق، على ما ورد (( ان الارواح خلقت قبل الاجساد، فكانت تلتقي فتتشام، فلما حلت الاجساد...تعارفت )) *٣ بالمعنى الاول، فصار تعارفها وتناكرها علي ما سبق من العهد والمتقدم.

Dan dikatakan, yang dimaksud adalah pemberitaan tentang permulaan penciptaan. Sebagaimana keterangan, " Bahwa ruh itu diciptakan sebelum tubuh, maka ruh itu saling bertemu dan saling mengendus atau menciumi. Maka ketika timbul ( terbentuk ) jasad...mereka saling mengenal. (*3 ) Dengan pengertian dari makna yang pertama, maka jadilah mereka saling mengenal dan menyelisihi terhadap apa yang telah ditetapkan pada masa yang terdahulu ( penciptaan ).

(*3) Imam Al-Hakim at-Tirmidzi menuturkannya dalam kitab " Nawadirul Ushul , Hal. 409 pada pokok yang ke-283.

وقال بعضهم : الارواح وان اتفقت في كونها ارواحا، لكنها تتمايز بأمور مختلفة، تتنوع بها، فتتشاكل اشخاصا، كل نوع تألف نوعها، وتنفر من مخالفها.
وفي (( تاريخ ابن عساكر )) بسنده عن هرم بن حيان قال : اتيت أويسا القرني، فسلمت عليه، ولم اكن رأيته قبل ذلك ولم رآني. فقال لي : وعليك السلام يا هرم بن حيان. قلت : من اين عرفت اسمى واسم ابي، ولم اكن رايتك قبل اليوم ولا رايتني ؟! قال : عرفت روحى وروحك حيث كلمت نفسي نفسك ؛ إن الارواح لها انفاس كانفاس الاجساد، وان المؤمنين ليعرف بعضهم بعضا، ويتحابون بروح الله وان لم يلتقوا .(*١)

Dan sebagian mereka berkata ; " Ruh-ruh itu sekalipun sudah saling cocok didalam eksistensinya, akan tetapi saling membeda-bedakan terhadap perkara yang diperselisihkan, saling bervariasi, saling menyesuaikan kepribadiannya. Setiap jenis terbiasa dengan jenisnya, dan menghindar dari yang bertentangan dengannya.
Didalam kitab " Tarikh Ibnu 'Asakir " dengan sanadnya dari Harom bin Hayyan, yang berkata ," Aku mendatangi Uwais Al-Qorny, maka aku mengucapkan salam kepadanya dan sebelumnya saya tidak pernah melihatnya, begitupula dia belum pernah melihatku. Maka dia berkata kepadaku ; " Wa'alaikas salam ya Harom bin Hayyan ". Aku berkata ," Darimana engkau tahu namaku dan nama ayahku ? padahal aku belum pernah melihatmu sebelum hari ini dan engkaupun tidak pernah melihatku ?". Berkata Uwais Al-Qorny ;" Roh ku melihat roh mu semenjak jiwaku berbicara dengan jiwamu , sesungguhnya ruh itu mempunyai nafas sebagaimana bernafasnya tubuh, dan sesungguhnya orang-orang mu'min itu akan mengenali bagian dari sebagian yang lain, mereka saling mencintai dengan anugerah Alloh apabila belum saling berjumpa ". (*1)

(*1). Kitab Tarikh Madinah Damsyiq, jilid 9, Hal. 447. Perkataan Uwais Al-Qorny " Anfaasun ka anfaasil ajsaad " maksudnya adalah, bentuk seperti hanya bentuk tubuh, hanya saja ruh itu halus, Wallohu a'lam.

Pada paragraf berikutnya, Imam At-Thusi dalam kitab " Uyunil Akhbar " meriwayatkan dari Aisyah. Sebagaiman penuturan Imam As-Suyuthi pada halaman 471 ;

واخرج الطوسي في (( عيون الاخبار )) عن عائشة : ان امرأة كانت بمكة تدخل على نساء قريش تضحكهن، فلما هاجرت الى المدينة...قدمت علي، فقلت ؛ اين نزلت ؟ قالت : على فلانة— امرأة كانت تضحك بالمدينة — فدخل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : فلانة المضحكة عندكم !! قال : الحمد لله ؛ ان الارواح جنود مجندة، فما تعارف منها..ائتلف، وما تناكر منها..اختلف .(٢).

Imam At-Thusi dalam kitabnya " 'Uyunil Akhbar " mengeluarkan riwayat dari siti Aisyah, bahwa di Makkah ada seorang wanita berkunjung kepada wanita Quraisy yang mereka saling bercanda ( ketawa ), maka ketika ia hijrah ke Madinah, ia mendatangiku ( Aisyah ). Aku bertanya, " Dari manakah engkau datang ?". Ia menjawab, " Dari fulanah -para wanita yang suka bercanda ( ketawa ) di kota Madinah -maka Rosululloh SAW masuk dan bertanya, " si fulanah yang suka tertawa bersamamu ?". Wanita itu menjawab, " Iya ". Lalu Rosululloh berkata, " Kepada siapa engkau tinggal ?". Maka wanita itu menjawab, " Kepada sifulanah yang suka bercanda itu ". Maka berkata Rosululloh, " Segala puji bagi Alloh, sesungguhnya ruh itu laksana tentara yang berkumpul, maka yang saling mengenal daripadanya niscaya menyelaraskan ( mudah bergaul atau saling menyesuaikan ) dan yang bertentangan daripadanya, niscaya saling menyelisihi ( bersebrangan ) ".(*2)

* (2). Imam Al-Hafidz As-Sakhowi menuturkan juga riwayat ini didalam kitabnya " Al-Maqoshid al-Hasanah " Hal. 51. Serta mengacu pada Zubair bin Bakr dalam kitabnya " Al-Mizahu al-Fawakihah ".

* Demikian pembahasan Imam As-Suyuthi tentang " Al-Arwaah junudun mujannadah " yang merupakan bagian ke-8 dari penutup pada bab " خاتمة في فوائد تتعلق بالروح " ( Faedah-2 yang berkaitan dengan ruh ).

————

Sekarang mari kita lihat bagaimana analisa Imam Al-Ghozali yang lebih spesifik lagi dengan tamtsil-tamtsil atau contoh-contoh sebagai penguat dari analisanya terhadap hadist diatas.

Disini, tidak semua teks per-paragraf saya tulis lengkap, akan tetapi beberapa poin pentingnya saja sebagai pelengkap agar pembahasan tidak terlalu melebar.
Dalam kitab Ihya' Ulumiddin-nya, Hal. 159-160, beliau memberikan ulasannya sebagai berikut ;

الارواح جنود مجندة فما تعارف منها ائتلف وما تناكر منها اختلف (*1) فالتناكر نتيجة التباين والائتلاف نتيجة التناسب الذى عبر عنه بالتعارف وفي بعض الالفاظ " الارواح جنود مجندة تلتقي فتتشام في الهواء (*2). وقد كنى بعض العلماء عن هذا بان قال ان الله تعالى خلق الارواح ففلق بعضها فلقا واطافها حول العرش فأى روحين من فلقتين تعارفا هناك فالتقيا تواصلا في الدنيا. وقال صلى الله عليه وسلم ان ارواح المؤمنين ليلتقيان علي مسيرة يوم وما رأى احدهما صاحبه قط (*3)

Ruh-ruh / jiwa itu laksana tentara yang berkumpul, maka yang saling mengenal daripadanya niscaya menyelaraskan ( mudah bergaul atau saling menyesuaikan ) dan yang bertentangan daripadanya, niscaya saling menyelisihi ( bersebrangan ) ".(1).

Kata " Tanakur / pertentangan " adalah natijah ( hasil ) dari perbedaan, dan " I'tilaf /kejinakan " adalah hasil dari kesesuaian yang diibaratkan dengan " Ta'aruf " atau saling mengenal, atau berkenalan satu sama lain.
Pada sebagian teks hadist diatas terdapat maksud yang mengindikasikan bahwa " jiwa atau ruh itu ibarat tentara yang berkumpul dan berjumpa, lalu berciuman diudara ".(2).
Sebagian Ulama menyebutkan hal ini dengan cara kinayah atau sindiran dengan mengatakan, bahwa Alloh SWT menjadikan segala nyawa, maka dipecahkanNya sebagian dan dithowafkanNya disekeliling Arsy. Maka mana diantara dua nyawa atau ruh dari dua pecahan yang berkenalan itu lalu bertemu sebagai kesinambungan terhadap perjumpaan keduanya didunia.  Nabi SAW bersabda, " Bahwa nyawa dua orang mu'min bertemu dalam perjalanan sehari, dan tidak sekali-kali salah satu dari keduanya melihat temannya ".(3).

———
(1). Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Huroiroh dan Imam Bukhori meriwayatkan sebagai ulasan dari hadist Siti Aisyah.
(2). Hadist " jiwa atau ruh itu ibarat tentara yang berkumpul dan berjumpa, lalu berciuman diudara ". Imam At-Thobroni menyandarkan kelemahan hadist ini dari hadist Ali.
(3). Hadist " Bahwa nyawa dua orang mu'min bertemu dalam perjalanan sehari, dan tidak sekali-kali salah satu dari keduanya melihat temannya ". Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdulloh bin 'Amr dengan lafadz " تلتقى " dan berkata salah seorang dari mereka yang terdapat didalamnya Ibnu Luhai'ah dari Darooj.  ( footnote Ihya, Hal. 159, tentang makna " al-ikhwah fillah ").

Kemudian pada halaman 160, dituturkan lebih lanjut oleh Imam Al-Ghozali ;

سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول (( الارواح جنود مجندة )) الحديث، والحق في هذا ان المشاهدة والتجربة تشهد للائتلاف عند التناسب والتناسب في الطباع والاخلاق باطنا وظاهرا امر مفهوم. واما الاسباب التي اوجبت تلك المناسبة فليس في قوة البشر الا طلاع عليها وغاية هذيان المنجم ان يقول اذا كان طالعه على تسديس طالع غيره او تثليثه فهذا نظر الموافقة والمودة فتقتضي التناسب والتواد واذا كان علي مقابلته او تربيعته اقتضي التباغض والعداوة فهذا لو صدق بكونه كذلك في مجارى سنة الله فى خلق السموات والارض لكان الاشكال فيه اكثر من الاشكال في اصل التناسب فلا معنى للخوض فيما لم يكشف سره للبشر فما اوتينا من العلم الا قليلا ويكفينا في التصديق بذلك التجربة والمشاهدة فقد ورد الخبر به قال صلى الله عليه وسلم (( لو ان مؤمنا دخل الى مجلس فيه مائة منافق ومؤمن واحد لجاء حتى يجلس اليه ولو ان منافقا دخل الى مجلس فيه مائة مؤمن ومنافق واحد لجاء حتى يجلس اليه (2)

Aku mendengar Rosululloh SAW bersabda, " Jiwa itu laksana tentara yang berkumpul...al-Hadist ". Pengertian yang sebenarnya mengenai hal ini adalah, bahwa pandang memandang dan percobaan menjadi saksi dari kejinakan hati ketika terjadi kecocokan atau kesesuaian. Dan kesesuaian tentang tabiat atau watak dan akhlak pada bathin dan pada lahir adalah hal yang dapat difahami.
Adapun sebab-sebab yang mengharuskan adanya persesuaian itu tidaklah manusia sanggup mendalaminya. Dan sejauh kekonyolan ahli nujum yang mengatakan bahwa " Apabila bintangnya berada enam kali dari bintangnya orang lain atau tiga kali dari yang lain, maka hal ini bisa menunjukkan bukti adanya persesuaian dan kasih sayang. Lantas yang demikian itu menghendaki kepada kesesuaian dan berkasih-kasihan. Dan apabila sebaliknya atau berada empat kali ( bintangnya ), maka akan membawa pertengkaran dan permusuhan ".
Maka kalau hal ini benar adanya dalam berlakunya sunnatulloh pada kejadian langit dan bumi, niscaya persoalan yang ada padanya adalah lebih banyak dari persoalan tentang pokok kesesuaian. Maka tidak ada artinya memasuki hal yang tidak terbuka rahasianya bagi manusia. Dan tidaklah dianugerahkan kepada kita ilmu pengetahuan ( tentang ruh ) kecuali sedikit saja. Dan cukuplah bagi kita untuk membenarkan yang demikian itu akan percobaan dan penyaksian.
Dan telah datang Hadist akan hal yang demikian itu, dimana Rosululloh SAW bersabda ;

" Jika seorang mu'min masuk ke suatu majelis, yang dimana pada majelis itu terdapat seratus orang munafiq dan satu orang mu'min, maka pasti ia datang sehingga duduk pada satu orang mu'min tadi. Dan kalau orang munafiq masuk pada suatu majelis, yang dimana pada majelis itu terdapat seratus orang mu'min dan satu orang munafik, maka sesungguhnya ia datang sehingga duduk pada seorang munafik tadi ". (2). — Hadist ini oleh Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya " Syu'bil Iman " dianggap mauquf ( terhenti ) pada Ibnu Mas'ud. Pengarang kitab " Al-Firdaus " menuturkan hadist ini dari Mu'adz bin Jabal, dan putranya ( shohibul firdaus ) tidak mentakhrijnya dalam Al-Musnad.

Dalam hadist diatas, Imam Al-Ghozali memberikan analisanya ;

وهذا يدل على ان شبه الشيء منجذب اليه بالطبع وان كان هو لا يشعر به. وكان مالك بن دينار يقول لا يتفق نوعان من الطير في الطيران الا وبينهما مناسبة قال فرأى يوما غرابا مع حمامة فعجب من ذلك فقال اتفقا وليسا من شكل واحد ثم طارا فاذا هما أعرجان فقال من ههنا اتفقا ولذلك قال بعض الحكماء : كل انسان يأنس الى شكله كما ان كل طير يطير مع جنسه، واذا اصطحب اثنان برهة من زمان ولم يتشا كلا في الحال فلا بد ان يفترقا، وهذا معنى خفي تفطن له الشعراء حتى قال قائلهم :

وقائل كيف تفرقتما    فقلت قولا فيه إنصاف
لم يك من شكلى ففارقته   والناس اشكل وألاف

فقد ظهر من هذا ان لانسان قد يحب لذاته لا لفائدة تنال منه في حال او مآل بل لمجرد المجانسة والمناسبة في الطباع الباطنة والاخلاق الخفية ويدخل في هذا القسم الحب للجمال اذا لم يكن المقصود قضاء الشهوة.

Ini menunjukkan bahwa keserupaan sesuatu adalah tertarik padanya dengan tabiat sekalipun ia tidak merasakan hal itu.
Malik bin Dinar berkata ;" Tidak akan sesuai ( cocok ) dua orang dalam sepuluh orang, selain kepada salah seorang dari keduanya terdapat sifat ( yang sesuai ) dari seorang lagi. Sesungguhnya jenis-jenis manusia adalah seperti jenis-jenis burung. Dua macam burung tidak akan sepakat terbang bersama, kecuali diantara keduanya ada kesesuaian ( kecocokan ). Lalu Malik bin Dinar meneruskan dengan mengatakan bahwa pada suatu hari beliau melihat seekor burung gagak bersama seekor burung merpati, maka heranlah beliau melihat yang hal itu, lalu beliau berkata, " Keduanya itu telah sepakat dan tidaklah keduanya itu dari satu bentuk ( jenis ) ". Kemudian kedua ekor burung itu terbang, dan rupanya kedua ekor burung itu pincang kakinya, lantas Malik bin Dinar berkata, " Dari segi inilah keduanya sepakat ".

Karena itulah, sebagian ahli hikmah mengatakan ;
" Tiap-tiap manusia jinak hatinya kepada yang dengan dia sebagaimana masing-masing burung itu terbang bersama jenisnya. Dan apabila dua orang bersahabat pada suatu waktu dan keadaan keduanya tidak serupa, maka tidak bisa tidak, suatu saat keduanya pasti akan berpisah ".

Dan ini adalah suatu pengertian yang tersembunyi yang telah difahami oleh para penyair, sehingga berkatalah salah seorang penyair dari mereka ;

" Seorang bertanya :
Bagaimana engkau berdua jadi berpisah ?
Maka aku menjawab :
Dengan jawaban keinsyafan
Dia tidak sebentuk dengan aku,
Maka aku berpisah dengan dia..
Manusia itu berbagai bentuk
Dan beribu macam keadaan..."

Maka jelaslah dari yang tersebut ini, bahwa manusia kadang-kadang mencintai karena zat barang itu sendiri, bukan karena sesuatu faedah yang akan dicapai pada masa sekarang atau pada masa yang akan datang. Tetapi karena semata-mata kesejenisan dan kesesuaian pada sifat-sifat bathin dan budi pekerti yang tersembunyi. Dan termasuk dalam bagian ini, adalah cinta karena kecantikan, apabila tidak ada maksud untuk melepas nafsu syahwat.

والله اعلم بالصواب

—————
* Danny Ma'shoum, Sidoarjo- Senin 30 Maret 2015.
Terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Alloh SWT yang telah memberi banyak kesempatan dalam hidupku untuk berfikir dan merenung dll.
2. Rosululloh SAW yang telah menunjukkan jalan terang akan indahnya nikmat Islam Iman dan Ihsan.
3. Para Ulama selaku warotsatul anbiya'

Dan saya hadiahkan sekelumit ulasan ini kepada ;
1. Kedua orang tuaku dan mertuaku yang telah memberi hadiah berjilid-jilid buku.
2. Guru-guruku yang tercinta.
3. Istriku Syarifah Dayang " Dinda " Basyaf Ba'alawy.
4. Putra-putra ku : Muhammad Aroobillah Arofat, Muhammad Al-Kaff Ubaydillah, Muhammad Haqqy An-Nazily Basyaf.
5. Semua sahabat-sahabat setiaku semua yang tak dapat saya sebut satu persatu oleh karena " kesesuaian " kalian dengan ku. " 'Asallohu an yaj'ala bainanaa wa bainakum mawaddatan warohmatan ".

Kamis, 26 Maret 2015

KISAH LENGKAP ASHABUL KAHFI

Kisah Lengkap Pemuda Ashabul Kahfi:
Keagungan Allah, Kehebatan Ali, Kecerdasan
Tamlikha
*
Dalam surat
Al-Kahfi, Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu,
yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan nabi Musa
as dan nabi Khaidir as serta kisah Dzulqarnain. Kisah
Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan
digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga
kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata,
tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah
dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata,
tapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah) didalamnya.
Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman
yang hidup pada masa Raja Diqyanus di Romawi,
beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi Isa as.
Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah berhala
dengan seorang raja yang dzalim. Ketika sang raja
mengetahui ada sekelompok orang yang tidak
menyembah berhala, maka sang raja marah lalu
memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk
mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi
menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh.
Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah
mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai
tempat persembunyian.
Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan selama
309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali
ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti
menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah
SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-‘Adzim; jilid:3 ;
hal.67-71).
Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang
ditafsir secara jelas jalan ceritanya. Penulis kitab
Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II,
halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang
dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut
berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi:
“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari
tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka
berdo’a: “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat
kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi
kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami
(ini)” (QS al-Kahfi:10)
Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai
dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:
Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai
Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa
orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah:
“Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan
sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami
hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada
anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami,
barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan
agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang
Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi
jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan
Muhammad bukan seorang Nabi.”
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian
inginkan,” sahut Khalifah Umar.
“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok)
mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta
itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan
kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang
berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan
kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat
memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan
manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang
lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan
bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari
kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada
kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di
saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh
ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang
dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik?
Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang
bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia
sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung
pipit pada waktu ia sedang berkicau?”
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir
sejenak, kemudian berkata: “Bagi Umar, jika ia
menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang
memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu
hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-
pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak
kegirangan, sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi
bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan
agama Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan
berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian
tunggu sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah
bertemu, Salman berkata: “Ya Abal Hasan,
selamatkanlah agama Islam!”
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang
dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali
segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar,
berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain
penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah
s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia
bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya,
sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan
besar, engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang
sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi
Thalib herkata: “Silakan kalian bertanya tentang apa
saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah
mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-
ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi
pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali
bin Abi Thalib berkata: “Aku ingin mengajukan suatu
syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti
sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai
dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya
bersedia memeluk agama kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi
Thalib.
Mereka mulai bertanya: “Apakah induk kunci (gembok)
yang mengancing pintu-pintu langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik
kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria
maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya
tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah
yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu ialah
kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasul Allah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara
mereka, sambil berkata: “Orang itu benar juga!” Mereka
bertanya lebih lanjut: “Terangkanlah kepada kami
tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan
bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi
Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi
Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!”
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi:
“Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat
memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk
itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Makhluk itu ialah semut
Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam.
Semut itu berkata kepada kaumnya: “Hai para semut,
masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak
diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam
keadaan mereka tidak sadar!”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya:
“Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk
yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu
pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari
kandungan ibunya atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Lima makhluk itu ialah,
pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh.
Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi
Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah
mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang
diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: “Kami
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah Rasul Allah!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil
berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, hati teman-
temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama
seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama
Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin
kutanyakan kepada anda.”
“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut Imam
Ali.
“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang
pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun,
kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana
hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab: “Hai pendeta Yahudi,
mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang
mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada
Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah
mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku sudah banyak
mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau
memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama
mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka,
nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung
serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal
sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya,
menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan
burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: “Hai
saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w.
kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu
terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama
Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi
nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus
(Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah
nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di
dalam wilayah Turki).
Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja
yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita
kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama
Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan
dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan
pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota
Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan,
lalu dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu
berdiri, terus bertanya: “Jika engkau benar-benar tahu,
coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana
serambi dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai saudara Yahudi,
raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat
dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km)
dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang
berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan
lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga
semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu
bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari
perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis
minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi
dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah,
demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari
sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat
menerangi serambi.
Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas.
Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah
kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari
emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di
sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat
dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-
penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana
dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi
sambil berkata: “Jika engkau benar-benar tahu, coba
terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan,
“mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas,
berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara
yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang
menerangi kegelapan malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari
anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai
selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana
mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau.
Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat
indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas.
Mereka harus berdiri di belakang raja.
Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri
dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan
menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja
tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa
berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang
pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang
berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya
berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata:
“Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan
nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu
raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: “Kekasihku
Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku,
bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja,
masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan
Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri
di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius,
Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan
mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana
dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa,
masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang
diantaranya membawa piala emas penuh berisi
wewangian murni.
Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari
bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor
burung. Orang yang membawa burung ini kemudian
mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di
atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu
berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-
ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu
habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara
isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di
atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil
berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-
ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni
yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat
sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara
lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas
mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang
harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana
kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak
pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa
pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah
atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri
sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka
dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai “tuhan” dan
tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka
dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh
kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah
lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau
tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera
dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa
mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama,
semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah
dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah
Allah s.w.t.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang
duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas
kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi
tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke
dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak
melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih
dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota
yang sedang dipakainya jatuh dari kepala.
Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas
singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di
sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama Tamlikha–
memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh
fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: “Kalau
Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut
pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur,
tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua
bukanlah sifat-sifat Tuhan.”
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu
mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari
mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran
Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya.
Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan
minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan
minum. Teman-temannya bertanya: “Hai Tamlikha,
mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau
minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku sedang
dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin
makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.”
Teman-temannya mengejar: “Apakah yang merisaukan
hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku memikirkan soal langit,” ujar Tamlikha
menjelaskan.”
Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: ‘siapakah yang
mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa
aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan
tanpa tiang yang menopangnya dari bawah?
Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit
itu?
Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-
bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga bumi
ini: ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-
nya di cakrawala?
Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung
raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak
miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri:
‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari
perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan
memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang
membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di
hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata:
“Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu
seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu,
baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!”
“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha, “baik aku maupun
kalian tidak menemukan akal selain harus lari
meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja
pencipta langit dan bumi!”
“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-
temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual
buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang
sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam
kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda
bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha
berkata kepada teman-temannya: “Saudara-saudara, kita
sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari
kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan
marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan
memudahkan urusan kita serta memberikan jalan
keluar.”
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan
kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak
berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut
mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: “Hai
penggembala, apakah engkau mempunyai air minum
atau susu?”
“Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,” sahut
penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah kalian semuanya
seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti
melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana
cerita perjalanan kalian itu!”
“Ah…, susahnya orang ini,” jawab mereka. “Kami sudah
memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta.
Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang
sebenarnya?”
“Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua
yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka,
penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka,
dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: “Dalam
hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam
hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku
hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada
pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada
kalian.”
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti.
Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan
kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia
datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing
miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi
yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai
Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan
apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib
memberitahukan, “kekasihku Muhammad Rasul Allah
s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu
berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir.
Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing,
masing-masing saling berkata kepada temannya: kita
khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan
membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada
penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan
batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-
temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang,
menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar
dan jelas sekali: “Hai orang-orang, mengapa kalian
hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada
tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya.
Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan
berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah
s.w.t.” Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu
pergi.
Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah
bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi
dari tempat duduknya sambil berkata: “Apakah nama
gunung itu dan apakah nama gua itu?!”
Imam Ali menjelaskan: “Gunung itu bernama Naglus dan
nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan
nama Kheram!”
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba
di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan
memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-
buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu.
Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di
dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti
mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua
kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.
Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut
supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing
orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat
untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri.
Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat
terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari
arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya
sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai
berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya.
Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri.
Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan
berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak
enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke
atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam
orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur
berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan
memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang
tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak
menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman
yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah
menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah
tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke
mari!”
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka
diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-
batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai
dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya:
“Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua,
kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya
minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit,
agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.”
Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309
tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t.
mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari
sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa
seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing.
Yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Malam tadi
kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke
mata air!”
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka
lihat mata air itu sudah mengering kembali dan
pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering
semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa
lapar. Mereka saling bertanya: “Siapakah di antara kita
ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota
membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan?
Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati
benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak
dengan lemak-babi.”
Tamlikha kemudian berkata: “Hai saudara-saudara, aku
sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan.
Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku
dan ambillah bajuku ini!”
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia
berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati
tempat-tempat yang sama sekali belum pernah
dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah
diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia
melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan:
“Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.”
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu
sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri:
“Kusangka aku ini masih tidur!” Setelah agak lama
memandang dan mengamat-amati bendera, ia
meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya
banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan
dengan orang-orang yang belum pernah dikenal.
Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang
penjaja roti: “Hai tukang roti, apakah nama kota kalian
ini?”
“Aphesus,” sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian?” tanya Tamlikha lagi.
“Abdurrahman,” jawab penjual roti.
“Kalau yang kau katakan itu benar,” kata Tamlikha,
“urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini
dan berilah makanan kepadaku!”
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena
uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau,
yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi,
lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, kalau
benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan
kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan
uang baru!”
Imam Ali menerangkan: “Kekasihku Muhammad Rasul
Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang
dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru,
ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua
pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti
lalu berkata kepada Tamlikha: “Aduhai, alangkah
beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan
harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau
tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!”
“Aku tidak menemukan harta karun,” sangkal Tamlikha.
“Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil
penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku
kemudian meninggalkan kota karena orang-orang
semuanya menyembah Diqyanius!”
Penjual roti itu marah. Lalu berkata: “Apakah setelah
engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela
menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula
engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka
yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah
mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan
begitu engkau hendak memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi
menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat
berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-
orang yang membawa Tamlikha: “Bagaimana cerita
tentang orang ini?”
“Dia menemukan harta karun,” jawab orang-orang yang
membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata: “Engkau tak perlu takut!
Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya
memungut seperlima saja dari harta karun itu.
Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan
selanjutnya engkau akan selamat.”
Tamlikha menjawab: “Baginda, aku sama sekali tidak
menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota
ini!”
Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau
penduduk kota ini?”
“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah orang yang kau kenal?” tanya raja lagi.
“Ya, ada,” jawab Tamlikha.
“Coba sebutkan siapa namanya,” perintah raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000
orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh
raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan.
Mereka berkata: “Ah…, semua itu bukan nama orang-
orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi,
apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?”
“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang
menyertai aku!”
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang
menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak
menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu.
Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang
mengantarkan: “Inilah rumahku!”
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki
yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah
keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut
hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia
terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang
yang datang: “Kalian ada perlu apa?”
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: “Orang
muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!”
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha.
Sambil mengamat-amati ia bertanya: “Siapa namamu?”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi lagi!”
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua
itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil
berucap: “Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah
seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari
Diqyanius, raja durhaka.”
Kemudian diteruskannya dengan suara haru: “Ia lari
berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit
dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah
memberitahukan kisah mereka kepada kita dan
mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!”
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian
di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja
segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang
berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat
Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja
Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang
banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki
Tamlikha sambil bertanya-tanya: “Hai Tamlikha,
bagaimana keadaan teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua
temannya masih berada di dalam gua.
“Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang
bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang
lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu
bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa
Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali
melanjutkan ceritanya.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di
dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata
kepada dua orang bangsawan dan para pengikut
mereka: “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku
mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya
senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan
mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian
berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan
menemui dan memberitahu mereka!”
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang
diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-
temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya
kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: “Puji dan
syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari
Diqyanius!”
Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan Diqyanius?
Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di
sini?”
“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab
mereka.
“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian sudah tinggal di sini
selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal
dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih
berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada
Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk
bertemu dengan kalian!”
Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai Tamlikha,
apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang
yang menggemparkan seluruh jagad?”
“Lantas apa yang kalian inginkan?” Tamlikha balik
bertanya.
“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan
berbuat seperti itu juga,” jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas,
kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan kebenaran yang
telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-
keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah
kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!”
Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu
memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa
mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua
tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-
nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar
selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi
tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan
masuk lainnya ke dalam gua.
Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin
tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua
orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang
dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan
yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: “Mereka
mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan
sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.”
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula:
“Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan
ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.”
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah
melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani
terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam.
Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah
berfirman:
“Dan begitulah Kami menyerempakkan mereka,
supaya mereka mengetahui bahawa janji Allah
adalah benar, dan bahawa Saat itu tidak ada
keraguan padanya. Apabila mereka berbalahan
antara mereka dalam urusan mereka, maka mereka
berkata, “Binalah di atas mereka satu bangunan;
Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai
mereka.” Berkata orang-orang yang menguasai
atas urusan mereka, “Kami akan membina di atas
mereka sebuah masjid.”
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti
menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian
berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah
itu: “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam
kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak
bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan
itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat
kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya Abal Hasan, engkau
tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu
huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku
sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa
tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah
hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga,
bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan
ummat ini!”
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua
(Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya
yang tercantum dalam kitab Fadha ‘ilul Khamsah
Minas Shihahis Sittah , tulisan As Sayyid Murtadha Al
Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan
banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali
bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.

(sumber : http://www.indonesiaindonesia.com/f/87236-
kisah-ashabul-kahfi-penghuni-gua-versi/

Rabu, 25 Maret 2015

KEAJAIBAN HATI PARA AHLUL QUR'AN

JIWA-JIWA QUR'ANI, SEBUAH BENTUK RASA CINTA DAN KERINDUAN TERAMAT DALAM PADA KALAM ILAHI

Ulasan kali ini adalah sedikit penyempurnaan dari beberapa kajian yang sudah saya posting beberapa waktu yang lalu, agar kiranya menjadi bahan renungan dan muhasabah diri saya pribadi khususnya, bagi pembaca, pengkaji ayat-ayat Al-Qur'an, terlebih lagi bagi para penghafalnya. Adapun bahasan beberapa poin dari topik diatas lebih banyak saya nukil dari catatan-catatan harian saya.

بسم الله الرحمن الرحيم

Ahlul Qur'an adalah Ahlulloh ( keluarganya Alloh ), dan dipermukaan bumi ini tidak ada keluarga yang lebih terhormat dibanding orang-2 yang dipilih untuk masuk dalam lingkup keluargaNya, dan ini adalah bentuk penghargaan yang luar biasa dari hamba-hamba yang dipilih olehNya.

Sebagaimana Hadist yang diriwayatkan Imam An-Nasai dalam kitabnya " Fadhoilul Qur'an ", Hal. 98 -99 ;

اخبرنا عبيد الله ابن سعيد عن عبد الرحمن قال : حدثني عبد الرحمن بن بديل ميسرة عن ابيه عن انس ابن مالك قال : قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : ان لله اهلين من خلقه، قالوا : ومن هم يا رسول الله ؟ قال : اهل القرآن هم اهل الله وخاصته.

اسناده حسن فرجاله كلهم ثقات سوي عبد الرحمن بن بديل، قال عنه الحافظ لا بأس به انظر التقريب ١/٤٧٣ ووثقه الطيالسي وقد صحح هذا الحديث المنذري في الترغيب والترهيب انظر ٢/٣٥٤، والبوصيرى في مصباح الزجاجة بزوائد ابن ماجه ورقة ١٤. وقد اخرجه احمد في مسنده ٣/١٢٧ ،١٢٨، ٢٤٢ ، والحاكم في المستدرك ١/٥٥٦، وابن ماجه في سننه رقم ٢١٥، وابو داوود الطيالسي ذكره البوصيرى والدارمي في سننه رقم ٣٣٢٩، والبزار في مسنده ذكره القرطبي في تفسيره ١/١.

" Telah memberitahukan kepada kami 'Ubaidulloh ibn Sa'id dari 'Abdur Rohman, yang berkata : Abdur Rohman ibn Bidyl bercerita kepadaku dari ayahnya dari Anas ibn Malik, berkata Anas : Rosululloh SAW bersabda : " Sesungguhnya Alloh memiliki keluarga dari makhluk ciptaanNya ". Maka berkata para sahabat, " Siapakah mereka wahai Rosululloh ?, Rosululloh berkata ;" Ahlul Qur'an itulah keluarganya Alloh, dan orang-orang yang dihususkanNya ".

Isnad Hadist ini hasan dan para rijalul hadistnya  semuanya terpercaya kecuali Abdur Rohman ibn Bidyl/ Budayl, Al Hafidz ibnu Hajar berkata tentangnya, " tidak ada masalah dengan Abdur Rahman ibn Bidyl " Lihat kitab At-Taqrib juz 1 / Hal. 473, dan Imam At-Thoyalisy menganggapnya sebagai rowi yang tsiqoh. Imam Al Hafidz Al Mundziry mensohihkannya sebagaimana dalam kitabnya At-Targhib wat Tarhib, jilid 2, Hal. 354, serta Imam Al-Bushiry dalam kitabnya yang berjudul Mishbahuz Zujaajah bi Zawaaidi bni Majah, lembar ke 14. Imam Ahmad ibn Hanbal mengeluarkan riwayat hadist ini dalam Musnadnya, jilid 3, Hal. 127, 128, 242, dan Imam Al-Hakim dalam Mustadrok nya , jilid 1, Hal. 556. Imam Ibnu Majah dalam kitab Sunan nya pada No. 215, dan Imam Abu Dawud At-Thoyalisy sebagaimana yang dituturkan Imam Al-Bushiry dan Imam Ad-Darimi dalam Sunan Ad-Darimi, No. 3329, dan Imam Al-Bazzar didalam Musnad nya sebagaimana yang telah dituturkan Imam Al-Qurthuby didalam Tafsirnya jilid 1, Hal. 1.

Kedahsyatan hati para Ahlulloh ( salah satunya adalah ahli Qur'an ) dalam menangkap isyarat-2 makna yang terkandung didalamnya sungguh luar biasa. Sehingga berdampak pada cerminan kehidupan sehari-harinya.
Bahkan sebagian dari golongan Salafus Sholih apabila membaca Al-Quran atau suatu ayat dari Al-Quran, akan tetapi hatinya tidak fokus pada apa yang dibaca, maka diulang-ulanginya sampai kedua kalinya, dan bahkan berkali-kali sampai hatinya,  fikirannya tertuju pada apa yang dibaca.
Bagi mereka, kelengahan hati dan fikiran ketika membaca Al-Quran merupakan ketakutan yang luar biasa bagi para salafus sholih. Oleh karena saking begitu dahsyatnya getaran hatinya, sampai-sampai ada dari mereka jatuh tersungkur dan bahkan sampai meninggal.
Dalam hal ini, sebagaimana yang dituturkan Imam An-Nawawi dalam kitabnya At-Tibyan fii Adaabi Hamalatil Qur'an, Hal. 81 ;

والاحاديث فيه كثيرة، واقاويل السلف / فيه مشهورة. وقد بات جماعات من السلف يتلون آية واحدة يتدبرونها ويرددونها الى الصباح، وقد صعق جماعات من السلف عند القراءة ومات جماعات منهم حال القراءة.  وروينا عن بهز بن حكيم ان زرارة بن اوفي التابعي الجليل رضي الله عنهم أمّهم في صلاة الفجر فقرأ حتى بلغ : فإذا نقر في الناقور * فذلك يومئذ يوم عسير ( المدثر : ٨-٩ ) خر ميتا، قال بهز فكنت فيمن حمله.

" Banyak hadist diriwayatkan mengenai hal itu dan perkataan-perkataan ulama salaf tentang hal itu cukup masyhur. Segolongan ulama salaf ada yang membaca satu ayat sambil merenungkannya dan mengulang-ulanginya sampai pagi.
Segolongan ulama salaf telah pingsan ketika membaca Al-Qur'an dan banyak pula yang meninggal dalam keadaan membaca Al-Qur'an. Kami riwayatkan dari Bahzin bin Hakim, bahwa Zuroroh bin Aufa adalah seorang tabi'in yang mulia, ia mengimami orang-orang dalam sholat fajar. Maka ia membaca Al-Quran sampai pada ayat ( diatas ) yang artinya ;
" Apabila ditiup sangkakala. Maka waktu itu adalah waktu datangnya hari yang sulit ". ( Suroh Al-Muddatsir, Juz 29, ayat 8-9 ). Tiba-tiba beliau roboh dan meninggal seketika itu juga. Bahzin bin Hakim berkata, " Aku termasuk orang-orang yang memikul jenazahnya ".

Lebih lanjut, Imam An-Nawawi menuturkan kembali pada Hal. 81-82 ;

وكان احمد بن ابي الحواري رضي الله عنه، وهو ريحانة الشام كما قال أبو القاسم الجنيد رحمه الله اذا قرئ عنده القرآن يصيح ويصعق.

" Adalah Ahmad bin Abul Hawari r.a. yang digelari Roihanatus Syam, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Abul Qosim Al-Junaid Al-Baghdady r.a, apabila dibacakan Al-Qur'an didekatnya, ia menjerit dan jatuh pingsan.

( * saya cukupkan disini dari beberapa kisah tersebut )

Dan hal ini sebagaimana kisah diatas, jelas sekali mengindikasikan bahwa membaca Al-Quran tidaklah sekedar membaca. Mereka memperlakukan dirinya ketika membaca Al-Quran, seolah-olah sedang membaca dihadapan Sang Pemilik Kalam itu sendiri dengan berduaan serta berhadap-hadapan.

Jika Ahli hikmah saja mengatakan ;

اذا جلست بين العلمآء فاحفظ لسانك، واذا جلست بين الاوليآء فاحفظ قلبك

" Apabila engkau duduk diantara para Ulama' maka jagalah lisanmu. Dan apabila engkau duduk diantara para Auliya' maka jagalah hatimu ".

Maka bagaimana pula ketika kita duduk berdua dengan Alloh ketika membaca KalamNya, yang mana Dia mengetahui betul akan siapa diri kita. Maka tidak hanya lisan dan hati saja yang kita jaga, bahkan fikiran dan sikap demi menjaga tata krama dihadapanNya.

Coba kita renungkan lebih dalam dari makna ayat berikut ini ;

(وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ) [Surat Al-Araf : 204]

" Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat ".

Jika kita perhatikan dari dhohir ayat, maka ada sebuah tuntunan bahwa seseorang harus menjadi pendengar yang baik dan dianjurkan diam ketika Al-Quran dibacakan. Tapi coba kita analisa dalam-2 dari sebagian rahasia dari hakikat ayat, " Dan apabila dibacakan Al Quran...", Siapakah yang membaca ? kita ? ataukah Dia ( Alloh ) Sang pemilik Kalam yang membacakan untuk kita ?. Jika sebagian dari kita mengatakan bahwa yang membaca adalah kita, maka berhati-hatilah bahwasannya Dia tidak sedikitpun lengah memperhatikan bacaan kita. Di hadapan Sang Raja kita telah diberi kesempatan " berbicara " dengan disaksikan begitu banyak para malaikat-2nya, baik yang menjaga tiap-tiap huruf dari runtutan ayat yang kita baca maupun para malaikat yang menjaga setiap bagian dari bagian anggota tubuh kita, dan bahkan lebih dari itu. Maka sudah selayaknya ketika berbicara di hadapan Sang Raja, fikiran dan hati kita hanya tertuju pada apa yang hendak kita sampaikan kepadaNya.
Dan jika sebagian dari kita mengatakan bahwa Dia ( Alloh SWT ) yang membacakan untuk kita, maka kita benar-2 harus ekstra hati-hati dari kelengahan fikiran dan hati dari tertuju padaNya. Umpamakan ketika Sang Raja menyampaikan titahnya kepada kita, sedang hati dan fikiran kita tidak disana, maka bagaimana kita bisa mengerti dan memahami materi titah Sang Raja tersebut. Bukankah ini suatu kecerobohan dan kesembronoan dari bentuk adab yang tidak baik dari seorang hamba ketika berhadap-hadapan langsung dengan Rajanya.

Sekarang mari kita lihat, bagaimana Hujjatul Islam Imam Al-Ghozali mengajak kita untuk menerjuni amaliah-2 bathin ketika tilawatil Quran, sebagaimana beliau tuturkan dalam salah satu karya monumentalnya, Kitab Ihya' Ulumuddin, hal. 283 ;

الثالث : حضور القلب وترك حديث نفس، قيل في نفسير — يا يحي خذ الكتاب بقوة — اي بجد واجتهاد واخذه بالجد ان يكون متجردا له عند قراءته منصرف الهمة اليه عن غيره، وقيل لبعضهم اذا قرأت القرآن تحدث نفسك بشيئ فقال او شيئ احب اليّ من القرآن حتى احدث به نفسى

" KETIGA :( termasuk bagian dari amaliyah bathin ketika membaca Al-Quran ) adalah kehadiran hati dan meninggalkan bisikan jiwa. Ada yang mengatakan, pada penafsiran firman Alloh Ta'ala, " Yaa yahyaa khudzil kitaaba biquwwah " ( Suroh Maryam, ayat 12 ) yang artinya : " Hai Yahya ! Ambillah kitab itu dengan sungguh-sungguh dan rajin ". Mengambilnya dengan sungguh-sungguh, ialah menghadapkan diri kepada kitab itu semata-mata ketika membacanya, memfokuskan atau memusatkan kemauan hati kepadanya saja, tidak kepada yang lain. Ditanyakan kepada sebagian mereka :" Apabila engkau membaca Al-Quran, adakah engkau itu berbicara dengan dirimu akan sesuatu ( selain Al-Quran ) ? " Maka yang ditanya menjawab, " Adakah sesuatu yang lain yang lebih aku cintai dari Al-Quran, sehingga aku berbicara dengan dia akan diriku ?".
Selanjutnya ( masih di kitab yang sama dan halaman yang sama dari Ihya' nya Imam Al-Gozali ), mari kita beranjak untuk melihat bagaimana Rosululloh SAW dalam merenungi atau mentadabburi ayat.

ويروى انه صلى الله عليه وسلم قرأ بسم الله الرحمن الرحيم فرددها عشرين مرة (١).
(١). حديث انه قرأ بسم الله الرحمن الرحيم فرددها عشرين مرة رواه ابو ذر الهروى في معجمه من حديث ابي هريرة بسند ضعيف.

" Diriwayatkan bahwa Nabi SAW membaca " Bismillahir rohmaanir rohiim ", lalu beliau mengulang-ulanginya sampai 20 kali ". (1). Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dzar Al-Harawy dalam Mu'jamnya dari Abu Hurairah dengan sanad dhoif.

Imam Al-Ghozali memberi komentar bahwa sesungguhnya Nabi mengulang-ulanginya sampai 20 kali, adalah karena bertadabbur pada segala pengertiannya.

(أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا) [Surat Muhammad : 24]

" Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? ".

Terlepas dari penafsiran para mufassir, bahwa " memperhatikan Al-Quran " adalah adanya tuntutan dalam pemfokusan hati, serta fikiran agar tidak lengah dalam mentadabburi makna-2nya, mencurahkan segala perhatian hanya semata-mata tertuju padanya ( Al-Quran ) dari apa yang kita baca. Adapun pengertian " ataukah hati mereka terkunci " adalah bentuk kelalaian, kelengahan dari ketidak peka-an hati untuk membuka diri dalam menerima pesan-2 agung dari apa yang telah dibaca. Sehingga hati tidak mampu meresapinya dengan baik.

Dimulai dari masa hidup Rosululloh SAW, para sahabat dan tabi'in dari generasi salafus sholih, banyak kita jumpai akan kepekaan hati mereka dalam menangkap isyarat-isyarat Ilahiyyah dari ayat-ayat Al-Qur'an yang mereka baca. Sejarah telah merekam dengan jelas jejak-jejak keagungan pribadi mereka dalam berinteraksi dengan ayat-ayatNya. Imamuna Abul Hamid Al-Ghozali dengan gamblang menuturkan akan kedahsyatan hati para Ahlulloh ini, sebagaimana yang beliau kisahkan dalam Ihya'nya, juz 2, Hal. 293 ;

واما الحكايات الدلة على ان ارباب القلوب ظهر عليهم الوجد عند سماع القرآن فكثيرة قوله صلى الله عليه وسلم " شيبتنى هود واخواتها ( ٤ ) " خبر ان الوجد فان الشيب يحصل من الحزن والخوف وذلك وجد. وروي ان ابن مسعود رضى الله عنه قرأ على رسول الله صلى الله عليه وسلم سورة النساء فلما انتهى على قوله تعالى " فكيف اذا جئنا من كل امة بشهيد وجئنا بك على هؤلاء سبيلا " قال حسبك وكانت عيناه تذرفان بالدموع ( ١ ) وفي رواية انه عليه السلام قرأ هذه الآية او قرئ عنده — ان لدينا أنكالا وجحيما. وطعاما ذا غصة وعذابا أليما — فصعق ( ٢ )  وفي رواية انه صلى الله عليه وسلم قرأ — إن تعذبهم فانهم عبادك — فبكى ( ٣ ) وكان عليه السلام اذا مر بآية رحمة دعا واستبشر ( ٤ ) والاستبشار وجد وقد أثنى الله تعالى على اهل الوجد بالقرآن فقال تعالى — واذا سمعوا ما أنزل الى الرسول ترى اعينهم تفيض من الدمع مما عرفوا من الحق — وروي ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلى لصدره أزيز كأزيز المرجل ( ٥ ).

Hikayat-hikayat yang menunjukkan bahwa orang-orang yang mempunyai hati suci itu, banyak yang timbul dari adanya perasaan yang begitu mendalam ketika mendengar Al-Qur'an dibacakan. Sebagaimana sabda Nabi SAW, " Berubannya diriku, adalah karena surat Hud dan surat-surat lainnya yang semisal dengan surat Hud ". ini mengindikasikan adanya perasaan yang mendalam ( al wajd ) dalam hati beliau. Karena ubanan itu terjadi dari ekspresi kesedihan dan ketakutan, dan inilah yang dimaksud al-wajd. (*4).
Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud r.a. membaca dihadapan Rosululloh SAW surat An-Nisa'. Maka ketika sampai pada ayat ;

(فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ شَهِيدًا) [Surat An-Nisa : 41]

Yang artinya :" Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu) ". Lalu Nabi SAW berkata ," Cukuplah olehmu ". Tampak kedua mata beliau bercucuran air mata.
Pada suatu riwayat, Nabi SAW membaca ayat atau dibacakan seseorang disampingnya dari ayat ke 12-13 dari suroh Al-Muzammil, yang artinya " Sesungguhnya disisi kami ada rantai yang berat dan api neraka. Dan makanan yang mencekikkan dan siksa yang pedih ". Lalu beliau pingsan.
Pada suatu riwayat, Nabi SAW membaca ayat 118 dari suroh Al-Maidah, yang artinya ," Kalau mereka Engkau siksa, sesungguhnya mereka itu hamba-hambaMu ". Lalu beliau menangis.

Adalah Nabi SAW apabila telah membaca ayat-ayat tentang rahmat, beliau lalu berdoa dan tampak gembira. Kegembiraan itu adalah bentuk dari perasaan yang amat mendalam dari pekanya hati, dan Alloh Ta'ala memuji orang-orang yang mempunyai al-Wajd ( perasaan atau rasa cinta yang mendalam dikarenakan Al-Quran ).
Sebagaimana firman Alloh ;

(وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَىٰ أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ الْحَقِّ ۖ يَقُولُونَ رَبَّنَا آمَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ) [Surat Al-Maeda : 83]

" Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s. a. w.).

Diriwayatkan, bahwa Rosululloh SAW mengerjakan sholat dan dadanya berbunyi menggelegak seperti bunyi menggelegaknya periuk ".

Kemudian masih dikitab yang sama dari Ihya, Juz 2, Hal. 294, Imam Al-Ghozali kembali mengisahkan dari kalangan sahabat dan tabi'in tentang ekspresi luar biasa dari kepekaan hati mereka terhadap haibah dari ayat-ayat Al-Qur'an yang mereka baca. Sebagaimana dalam penuturannya ;

واما ما نقل من الوجد بالقرآن من الصحابة رضي الله عنهم والتابعين فكثير : فمنهم من صعق ومنهم من بكى ومنهم من غشى عليه ومنهم من مات في غشيته وروي ان زرارة بن اوفي وكان من التابعين كان يؤم الناس بالرقة فقرأ — فاذا نقر في الناقور — فصعق ومات في محرابه رحمه الله وسمع عمر رضى الله عنه رجلا يقرأ — ان عذاب ربك لواقع — فصاح صيحة وخر مغشيا عليه فحمل الي بيته فلم يزل مريضا في بيته شهرا وابو جرير من التابعين قرأ عليه صالح المرى فشهق ومات وسمع الشافعى رحمه الله قارئا يقرأ — هذا يوم لا ينطقون ولا يؤذن لهم فيعتذرون — فغشى عليه وسمع على ابن الفضيل قارئا يقرأ — يوم يقوم الناس لرب العالمين — فسقط مغشيا عليه فقال الفضيل شكر الله لك ما قد علمه منك وكذلك نقل عن جماعة منهم وكذلك الصفية فقد كان الشبلى في مسجده ليلة من رمضان وهو يصل خلف امام له فقرأ الامام — ولئن شئنا لنذهبن بالذى اوحينا اليك — فزعق الشبلى زعقة ظن الناس انه قد طارت روحه واحمر وجهه وارتعدت فرائصه وكان يقوم بمثل هذا يخاطب الأحباب يردد ذلك مرارا. وقال الجنيد دخلت على سرى السقطى فرايت بين يديه رجلا قد غشى عليه فقال لى هذا رجل قد سمع آية من القرآن فغشى عليه فقلت اقرءوا عليه تلك الآية بعينها فقرئت فأفاق فقال من اين قلت هذا فقلت رايت يعقوب عليه السلام كان عماه من اجل مخلوق فبمخلوق ابصر ولو كان عماه من اجل الحق ما ابصر بمخلوق فاستحسن ذلك ويشير الي ما قاله الجنيد.

وكأس شربت على لذة      وأخرى تداويت منها بها

" Adapun yang dinukilkan dari al wajd ( perasaan yang mendalam ) dari para sahabat dan tabi'in disebabkan Al-Qur'an banyak sekali. Diantara mereka ada yang menangis, diantara mereka ada yang sampai jatuh tersungkur, dan bahkan diantara mereka ada yang sampai meninggal dunia pada saat tersungkurnya itu.
Diriwayatkan, bahwa Zaroroh bin Aufa salah seorang tabi'in, beliau menjadi imam sholat orang banyak dengan perasaan malu, dan ketika ia membaca ayat " Faidzaa nuqiro fin naaquur " ( Suroh Al-Muddatsir, ayat 8 ) yang artinya " ketika terompet dibunyikan " maka seketika ia jatuh pingsan dan meninggal di mihrobnya, sekiranya Alloh menurunkan rahmat baginya.
Sahabat Umar bin Al-Khotthob mendengar seorang laki-2 membaca ayat ;

ان عذاب ربك لواقع. ما له من دافع

" Sesungguhnya siksaan Tuhan engkau pasti terjadi. Tiada seorangpun dapat menolaknya ". ( Suroh At-Thur, ayat 7-8 ). Lalu beliau ( sahabat Umar ) memekik dan jatuh tersungkur, maka beliaupun dibawa kerumahnya sampai sakit sebulan lamanya.
Abu Jarir termasuk golongan tabi'in. Sholih Al-Marri membacakan beberapa ayat Al-Qur'an kepadanya dengan suara yang sangat merdu. Lalu Abu Jarir jatuh pingsan dan meninggal.
Imam Asy-Syafi'i mendengar seorang pembaca Al-Qur'an membaca ayat :

هذا يوم لا ينطقون. ولا يؤذن لهم فيعتذرون

" Inilah hari yang dikala itu mereka tiada dapat berbicara. Dan kepada mereka tiada diberikan keizinan, sehingga mereka dapat mengajukan keberatan ( pembelaan ). ( Suroh Al-Mursalaat, ayat 35-36 ) lalu beliau ( Imam Asy-Syafi'i jatuh tersungkur.
Ali bin Al-Fudhail mendengar seorang pembaca Al-Qur'an membaca ayat ;

يوم يقوم الناس لرب العالمين

" Dihari manusia berdiri dihadapan Tuhan semesta alam ". ( Suroh Al-Muthoffifin, ayat 6 ). Lalu ia jatuh pingsan. Maka Al-Fudhail ( ayahnya ) berkata ," Alloh mengucapkan terima kasih kepadamu, atas apa yang diketahuiNya dari padamu ".

Begitu pula dinukilkan dari segolongan mereka, dan begitu pula pada kaum Sufi. Pada suatu malam bulan Romadhon, Asy-Syibli berada dimasjidnya, dan ia sholat dibelakang imam sholatnya. Lalu imam itu membaca ayat ;

ولئن شئنا لنذهبن بالذى اوحينا اليك

" Dan kalau kami kehendaki, niscaya kami hilangkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu " ( Suroh Al-Isro', ayat 86 ) Maka Asy-Syibli berteriak-teriak sehingga orang-orang mengira bahwa nyawa Asy-Syibli telah terbang ( lepas dari raganya ), mukanya merah padam dan amat takut hatinya. Dia mengatakan seperti itu dihadapan teman-temannya dan banyak mengulang-ulanginya yang demikian itu.
Al-Junaid berkata ," Aku masuk ketempat Sary As-Saqhothi, dan aku melihat dihadapannya seorang lelaki yang jatuh pingsan. Lalu Sary As-Saqothi berkata kepadaku, " Ini adalah orang yang mendengar suatu ayat dari Al-Quran lalu jatuh pingsan ". Maka aku menjawab ," Bacakanlah ayat itu lagi kepadanya ". Lalu dibacakan oleh Sary As-Saqothi dan lelaki itupun sadar seketika dari pingsannya.
Lalu Sary As-Saqothi bertanya, " Dari manakah sumbernya sampai engkau mengatakan hal ini ?". Aku ( Syaikh Junaid Al-Baghdady ) menjawab ," Aku melihat Nabi Ya'qub buta matanya karena makhluk, maka dengan makhluk pula ia dapat kembali melihat. Dan jika butanya karena Al-Haq, maka ia tidak akan melihat dengan sebab makhluk ". Sary As-Saqothi memandang baik perkataan Al-Junaid tersebut. Dan terhadap apa yang dikatakan oleh Al-Junaid tadi ditunjukkan oleh sebuah sajak seorang penyair ;

Segelas khomer aku minum
Untuk kesenangan
Dan segelas lagi aku minum
Untuk pengobatan.

Masih banyak kisah-kisah Ahlul Quran yang begitu dalam penghayatannya dalam tiap-tiap ayat yang dibaca. Disini saya cantumkan juga dari beberapa kisah penggugah jiwa dari gurunya guru kami tercinta.

Adalah Hadrotus Syaikh Muhammad Hasyim Asy'ari, pada suatu peristiwa beliau amat letih oleh karena seharian penuh mengikuti Konferensi Nahdlatul Ulama' di kota Malang. Ketika itu beliau tidak dapat memberikan pelajaran dimalam harinya kepada murid-2, karena beliau tidur mulai ba'da Isya, dan tampak nyenyak sekali tidurnya. Sekitar pukul 3:30 malam beliau baru bangun lalu mengambil air wudhu terus melanjutkannya dengan sholat tahajjud. Walaupun sejak siang belum makan, tetapi makanan yang terhidang tidak juga dijamahnya, bahkan beliau langsung mengambil Al-Quran dan membacanya dengan Tartil ( jawa : antan-antan ). Setelah membacanya sekitar setengah jam, sampailah pada Suroh Ad-Dzariyat, ayat 17-18 yang berbunyi ;

(كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ (وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

" Di dunia, mereka ( para sahabat dan pengikut Nabi Muhammad SAW ) sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.

Setelah sampai pada ayat tersebut, beliau menghentikan bacaannya, diam sejenak lalu beliau menangis tersedu-sedu sampai air matanya membasahi jampang dan janggutnya yang sudah mulai memutih. Agaknya beliau merasa bahwa malam itu beliau terlalu banyak tidurnya.

Seorang guru senantiasa menjadi panutan murid-2nya, begitupula agaknya Kyai Fattah dalam meneladani sifat-2 gurunya, Hadrotus Syaikh Muhammad Hasyim Asy'ari, pendiri pondok pesantren Tebuireng, Jombang.

Kyai Abdul Fattah Hasyim, ( ayah mertua sekaligus Guru dari guru kami KH. Muhammad Djamaluddin Ahmad pengasuh Pon-Pes Bumi Damai Al-Muhibbin, TambakBeras-Jombang ) adalah salah satu pengasuh Pon-Pes Bahrul Ulum TambakBeras, Jombang. Dulu kalau mengajar Tafsir Jalalain di sekolah Mu'allimin-Mu'allimat tidak pernah bawa kitab, karena beliau hafal diluar kepala isi kitab tersebut. Dan setiap pelajaran, kalau materi ayatnya berkaitan dengan nikmat Alloh pasti rasa suka citanya luar biasa. Tapi kalau materi yang disampaikan berkenaan dengan ayat-ayat adzab atau siksa, maka dapat dipastikan dari 2 jam pelajaran, yang 1 jam dipakai penyampaian materi dan 1 jam nya beliau menangis tersedu-sedu, sehingga siswa2 waktu itu banyak yang menangis oleh karena ikut terbawa suasana hati beliau.

Maka hendaklah kita fahami dengan fikiran yang jernih, hati yang tulus dari membaca kedahsyatan ayat-ayatNya yang mulia dan agung itu, agar kita senantiasa mendapatkan hikmah dari amanah yang dititipkan kepada kita. Mudah-2an dengan sedikit ulasan saya yang dhoif ini, kita mendapat petunjuk dari Alloh agar menjadi Ahlul Quran yang Sabiqun bil khoirot bi idznillah. Dan untuk menggapai " bi idznillah " sebagai bagian dari Hidayah-Nya, maka hendaknya kita berazam sekuat hati untuk bisa mencontoh teladan  Rosululloh, sahabat-2 beliau dan para salafus sholih. Tetap mengedepankan husnudzhon kepada Alloh bahwasanya kita masih disediakan peluang untuk ambil bagian di kelas VIP dari kelas-2 Ahlul Quran lainnya.

Mudah-2an bermanfaat  sekelumit analisa kami yang faqir ini untuk sekiranya dapat dijadikan motivasi diri  dalam menggapai ridho Alloh SWT.

————
Danny Ma'shoum. Sidoarjo, Kamis 25 Maret 2015.

Selasa, 24 Maret 2015

SILSILAH SYEH SITI JENAR

SILSILAH SYEH SITI JENAR

Sayyid Syeh Abdul Jalil, adalah nama asli dari Syaikh Siti Jenar ( Sidi Jenar ) atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Jabaranta.

Adapun silsilah beliau adalah sebagai berikut ;

1. NABI MUHAMMAD SAW.
2. SAYYIDAH FATHIMAH AZ-ZAHRO'
3. SAYYIDINA HUSEIN AS-SIBTI ( Assabti )
4. SAYYIDINA ZAINAL ABIDIN
5. SAYYIDINA MUHAMMAD AL-BAQIR
6. SAYYIDINA JA'FAR ASH-SHODIQ
7. SAYYIDINA QOSIM AL-KAMIL ( ALI AL-UROIDHI )
8. SAYYIDINA MUHAMMAD AN-NAQIB ( IDRIS )
9. SAYYIDINA ISA AL-BASRI ( AL-BAQIR )
10. SAYYIDINA AHMAD AL-MUHAJIR
11. SAYYIDINA UBAIDILLAH
12. SAYYIDINA MUHAMMAD
13. SAYYIDINA ALWI
14. SAYYIDINA ALI QOSAM
15. SAYYIDINA MUHAMMAD
16. SAYYIDINA ALWI AMIR FAQIH
17. SAYYIDINA ABDUL MALIK
18. SAYYIDINA ABDULLOH KHON ( AMIR ), beliau ini mempunyai 2 putra ;

(1). SAYYID AHMAD SYAH JALALUDDIN
(2). SAYYID SYEH ABDUL QODIR KAILANI — beliau mempunyai putra bernama SAYYID SYEH DATUK ISA ( menetap di Malaka )— berputra SAYYID SYEH DATUK SHOLIH — beliau ini mempunyai putra yang bernama SAYYID SYEH ABDUL JALIL ( Datuk Abdul Jalil ) yang mashur dengan julukan SYEH SITI JENAR atau SYEH LEMAH ABANG atau SYEH JABARANTA.

* Silsilah ini saya sadur dari Babad Tanah Sunda dan Babad Cirebon, Hal. 100-101, yang telah diterjemahkan dari manuskrip asli tulisan huruf Pegon atau huruf Arab berbahasa Cirebon Madya oleh Pangeran Sulaeman Sulendraningrat , seorang Rama Guru Tarekat Satariyyah di Pengguron Caruban Krapyak Kaprabonan Cirebon, sekaligus dzurriyyah Sunan Gunung Jati yang ke 14.

————
Danny Ma'shoum, Sidoarjo

Dibawah ini adalah ilustrasi foto Syeh Siti Jenar

SILSILAH JOKO TINGKIR

SILSILAH JOKO TINGKIR ( SAYYID ABDURROHMAN )

Ada 2 buah kitab ( buku ) yang saya pakai acuan untuk penulisan silsilah, yang ditulis oleh dua orang Mursyid ;
1. Napak Tilas Auliya' Mataram, Karya Al-Arifu billah KH. Muhammad Djamaluddin Ahmad, TambakBeras-Jombang ( Mursyid Tarekat Syadziliyyah )

2. Babad Tanah Pasundan dan Babad Cirebon, Karya Pangeran Sulaeman Sulendraningrat, Kaprabonan-Cirebon ( Maha Guru Tarekat Satariyyah, cucu ke-14 Syarif Hidayatulloh / Sunan Gunung Jati ).

1. SAYYIDINA WA MAULANA MUHAMMAD SAW.
2. SAYYIDAH FATHIMAH AZ-ZAHRO'
3. AL-IMAM AL-HUSEIN AS-SIBTHI
4. AL-IMAM 'ALI ZAINAL 'ABIDIN
5. AL-IMAM MUHAMMAD AL-BAQIR
6. AL-IMAM JA'FAR ASH-SHODIQ
7. AL-IMAM 'ALI AL-'UROIDHI
8. AL-IMAM MUHAMMAD AN-NAQIB
9. AL-IMAM 'ISA AN-NAQIB
10. AL-IMAM AHMAD AL-MUHAJIR ILALLOH
11. AL-IMAM 'UBAIDILLAH
12. AS-SAYYID 'ALAWY
13. AS-SAYYID MUHAMMAD
14. AS-SAYYID 'ALAWY
15. AS-SAYYID 'ALI KHOLI' QOSAM
16. AS-SAYYID MUHAMMAD SHOHIB AL-MIRBATH
17. AS-SAYYID 'ALAWY
18. AS-SAYYID AMIR ABDUL MALIK
19. AS-SAYYID ABDULLOH 'ADZHOMAH KHON
20. AS-SAYYID AHMAD SYAH JALAL
21. MAULANA JAMALUDDIN AKBAR AL-HUSEIN.      Beliau ini mempunyai 4 putra, yaitu ;

(1). MAULANA ISHAQ
(2). MAULANA IBROHIM AS-SAMARQONDI
(3). MAULANA 'ALI NURUDDIN ( NURUL ALIM )
(4). MAULANA ZAINUL BAROKAT ( ZAINUL ALAM )

Dari ke-4 putra Maulana Jamaluddin Akbar Al-Husein ini menurunkan beberapa putra-putri ;

1. MAULANA ISHAQ yang menikah dengan Dewi Sekardadu mempunyai anak bernama MAULANA AINUL YAQIN ( Raden Paku / Sunan Giri )— dan pernikahannya dengan istri yang lain (?) menurunkan putra-putri bernama ;
(1). MAULANA ABDUL QODIR ( Syaikh Dzatul Kafi )
(2). SAYYIDAH SHUFIYYAH ( istri Sunan Drajad )
(3). MAULANA ABDULLOH FAQIH SYIHABUDDIN ( Pangeran Pandan Arum / Aryo Pengging / Kebo Kenongo ) yang berputra SAYYID ABDURROHMAN ( JOKO TINGKIR / Mas Karebet / Sultan Hadiwijaya )

2. MAULANA IBROHIM AS-SAMARQONDI ( mempunyai putra bernama SAYYID ALI ROHMATULLOH ( Sunan Ampel ) dan SAYYID ALI MURTADHO ( Raden Santri )

3. MAULANA ALI NURUDDIN / NURUL ALIM mempunyai putra bernama MAULANA ABDULLOH 'IMADUDDIN ( Sultan Mesir ) berputra MAULANA SYARIF HIDAYATULLOH ( Sunan Gunung Jati ) dan SYARIF NURULLOH ( penerus Kesultanan Mesir )

4. MAULANA ZAINUL BAROKAT / ZAINUL ALAM berputra MAULANA MALIK IBROHIM.

* Silsilah diatas saya sadur dengan sistematika ringkas dan beberapa penjelasan dari buah karya Syaikhi wa Murobbi ruhii Al-Mursyid KH. Muhammad Djamaluddin Ahmad, Tambak Beras-Jombang, yang berjudul Napak Tilas Auliya' Mataram, Hal. 16.

Dilain kesempatan insya Alloh akan kami tuturkan versi Babad Demak nya, beserta silsilah Syaikh Siti Jenar..
————
*Danny Ma'shoum
Sidoarjo 25-3-2015.

Senin, 23 Maret 2015

ARTI SEBUAH KEIKHLASAN

MAKNA IKHLAS BESERTA TANDA-TANDANYA DAN RIYA' DALAM PANDANGAN ULAMA SUFI ( MUTASHOWWIFUN )

Definisi-definisi Ikhlas dan tanda-tandanya beserta riya menurut para Ulama Sufi ini saya sadur dari kitab " Ad-Durrotun Nafisah min Syuruhil Hikam al 'Athoiyyah li Qoshdi Mahabbatillah ", Hal. 76-91, karya Syaikhy wa murobbi ruhiy KH. Muhammad Djamaluddin Ahmad, Tambak Beras-Jombang.

( * ) Syaikh Junaid Al-Baghdady ( w. 297 H / 910 M ) ;

الإخلاص تصفية العمل من الكدورات

" Ikhlas adalah, membersihkan amal dari kotoran-kotoran amal ".

( * ) Syaikh Sahl bin Abdillah Al-Tustary ( w. 200-283 H / 815-896 M ) ;

الإخلاص ان يكون سكون العبد وحركاته لله تعالى خاصة

" Ikhlas adalah, apabila semua diam dan geraknya hamba hanya khusus karena Alloh Ta'ala semata ".

( * ) Sayyid Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatho' Ad-Dimyathi ( muallif kitab Ianatut Tholibin ) ;

الإخلاص ان يكون قصد الانسان في جميع طاعته واعماله مجرد التقرب الى الله تعالى

" Ikhlas adalah, apabila tujuan manusia dalam semua amal ibadahnya melulu hanya pendekatan diri kepada Alloh Ta'ala ".

* Abu Utsman Al-Makki ;

الإخلاص نسيان رؤية الخلق بدوام النطر الى الخالق فقط

" Ikhlas adalah, melupakan memandang makhluq dengan selalu memandang Kholiq saja ".

( * ) Al-Harits Al-Muhasibi ( w. 243 H / 857 M ) ;

الإخلاص هو اخراج الخلق عن معاملة الربّ

" Ikhlas adalah, tidak memandang makhluq dari ibadah kepada Tuhan ".
—————
RIYA' DAN ANTISIPASINYA

( * ) Sayyid Abdulloh bin Alwy Al-Haddad dalam kitabnya An-Nashoih ad Diniyyah ;

الذي يعمل لقصد التقرب الى الله تعالى وطلب مرضاته وثوابه هو المخلص، والذي يعمل لله ولمراآت الناس هو المرآئى وعمله غير مقبول، والذي يعمل لمراآت الناس فقط ولو لا الناس لم يعمل اصلا امره خطر هائل، وريائه رياء المنافقين نعوذ بالله من ذلك ونسأله العافية من جميع البليات

" Orang yang beramal karena tujuan taqorrub ( pendekatan diri ) kepada Alloh Ta'ala serta mencari ridho dan pahalaNya, orang tersebut adalah Mukhlis ( orang yang ikhlas ). Dan orang yang beramal karena Alloh Ta'ala dan karena riya' ( pamer ) pada masyarakat, maka orang itu adalah riya' ( tukang pamer ) dan amalnya tidak diterima. Dan orang yang beramal hanya karena riya' pada masyarakat, dan seandainya tidak ada masyarakat maka ia tidak akan beramal sama sekali. Maka persoalan orang itu adalah sangat dikhawatirkan dan berbahaya, dan riya'-riya'nya termasuk riya' nya orang munafiq. Kami mohon perlindungan kepada Alloh Ta'ala dari hal-hal tersebut dan kami mohon kepada Alloh Ta'ala agar selamat dari semua ujian ".

( * ) Syaikh Ali bin Ahmad Al-Jaizi, dalam kitabnya Tuhfatul Khowwash, menjelaskan tentang kedudukan riya' ;

الرياء هو فعل العبادة بقصد اطلاع الناس لتحصيل مال او جاه او مدح وهو من الكبائر، وكل عمل خالطه الرياء فهو باطل مردود، واما غيره كحج مع تجارة وطهارة مع تبرد ففيه الثواب بقدر باعث الآخرة ولو مغلوبا، والرياء يدخل كل الاعمال حتي الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم على الاصح كما افتى به شيخ الاسلام والرملي

" Riya adalah melakukan ibadah dengan tujuan supaya dilihat oleh masyarakat agar memperoleh harta, kedudukan atau pujian. Riya' itu termasuk dosa besar ( dalam hati ). Semua amal yang dicampur dengan riya' adalah batal dan tertolak. Adapun amal yang lain seperti Haji disertai dengan dagang, dan bersuci disertai dengan tujuan mendapatkan rasa segar dibadan, maka amal itu ada pahalanya sebatas dorongqn karena akhirat walaupun hanya sedikit. Dan riya' itu bisa masuk kedalam semua amal hingga membaca sholawat Nabi SAW ( pun bisa kemasukan ). Hal ini menurut Syaikhul Islam Zakaria al-Anshori dan Imam Ar-Romli ".

Kemudian dalam Kitab Nashoihud Diniyyah nya, As-Sayyid Abdulloh bin Alwy Al-Haddad memberi solusi agar terhindar dari penyakit riya' sebagaimana kata beliau ;

ومهما خاف على نفسه الرياء فليخف اعماله ويفعلها في السر حيث لا يطلع عليه الناس فذلك احوط واسلم وهو افضل مطلقا اعني العمل في السر حتي لمن لم يخف على نفسه الرياء الا للمخلص الكامل الذي يرجو اذا اظهر العمل ان يقتدي به الناس فيه نعم ومن الاعمال ما لا يتمكن الانسان من فعله الا ظاهرا كتعلم العلم وتعليمه وكالصلاة في الجماعة والحج والجهاد ونحو ذلك فمن خاف من الرياء حال فعله شيئا من هذه الاعمال الظاهرة فليس ينبغي له ان يتركه بل عليه ان يفعله ويجتهد في دفع الرياء عن نفسه ويستعين بالله تعالى فانه نعم المولى ونعم المعين

" Seandainya seseorang itu mengkhawatirkan dirinya terjangkit riya', maka hendaklah ia merahasiakan amal-amalnya dan melakukannya secara samar, sekiranya masyarakat tidak melihatnya. Hal yang demikian itu adalah lebih berhati-hati dan lebih selamat. Dan amalan sirri itu adalah lebih utama secara muthlaq hingga bagi orang yang tidak menghawatirkan dirinya terjangkit penyakit riya', kecuali bagi orang yang sempurna keikhlasannya ( al-Mukhlis al-Kamil ) yang memperlihatkan amalnya dengan harapan agar amal perbuatannya diikuti oleh masyarakat. Dari berbagai macam amal, ada amal yang manusia tidak mungkin melakukannya kecuali dengan jelas dan tampak, seperti menuntut ilmu, mengajarkan ilmu, sholat berjamaah, beribadah haji, berperang dan sesamanya. Barang siapa yang khawatir terjangkit riya, maka seharusnya ia tidak meninggalkan amal-amal itu, bahkan harus melakukannya dan berusaha dengan keras untuk menolak riya' dalam dirinya serta memohon pertolongan Alloh SWT, karena Alloh adalah sebaik-baik Dzat Yang Menguasai dan sebaik-baik Dzat Yang Menolong ".

————

TANDA-TANDA IKHLAS

( * ) Imam Al-Ghozali ( 450-505 H ) ;

علامة الأخلاص ان يكون الخاطر يألفه في الخلوة كما يألفه في الملاء، ولا يكون حضور الغير هو السبب في حضور الخاطر كما لا يكون حضور البهيمة سببا في ذلك فما دام يفرق في احواله بين مشاهدة إنسان ومشاهدة بهيمة فهو خارج عن صفو الإخلاص مدنس الباطن بالشرك الخفي من الرياء وهذا شرك اخفى في قلب ابن آدم من دبيب النملة السوداء في الليلة الظلماء على الصخرة الصماء.

" Tanda-tanda ikhlas ialah, apabila khothir ( Bhs Jawa : Krentek'e ati ) merasa senang ditempat yang sepi, seperti halnya senang diantara banyak orang, dan kedatangan orang lain tidak menjadi sebab datangnya khotir ( krentek'e ati ), seperti halnya datangnya binatang tidak menjadi sebab datangnya khothir tersebut. Maka seseorang itu masih membeda-bedakan dalam tingkah lakunya antara dilihat manusia dan dilihat binatang, berarti ia keluar dari kejernihan ikhlas dan mengotori hatinya dari syirik khofi, yang dimana syirik khofi itu lebih samar daripada merayapnya semut hitam dimalam yang gelap diatas batu besar yang keras ".

( * ) Syaikh Abu Madyan Al-Hadidy, dalam kitab al-Hikam ;

علامة الإخلاص ان يفنى عنك الخلق في مشاهدة الحق

" Tanda-tanda ikhlas adalah, apabila telah sirna darimu memandang makhluk dalam memandang Al-Haq ".

( * ) Syaikh Ahmad bin 'Alan, dalam syarahnya ;

اذ حقيقة الإخلاص : الخلوص من شهود الاكوان والدخول في مقام الاحسان

" Karena hakekatnya ikhlas adalah lepas dari memandang makhluk dan masuk didalam maqom ihsan ".

( * ) Imam Al-Ghozali r.a ;

الاصل في الإخلاص استواء السريرة والعلانية

" Asal ( pokok ) didalam keikhlasan adalah kesamaan antara isi hati dan perbuatan lahiriyah ".

Dalam hal ini seperti yang dikatakan Umar ibn Al-Khottob r.a kepada seorang lelaki ;

عليك بعمل العلانية، قال : يا أمير المؤمنين وما عمل العلانية ؟، قال : ما اذا اطلع عليك لم تستحي منه

" Berpeganglah dengan amal 'alaniyyah ( amal yang tampak ). Laki-laki itu bertanya ; " Wahai amirul mukminin apakah amal 'alaniyyah itu ?". Umar menjawab ;" Yaitu amal yang apabila kamu dilihat orang, maka kamu tidak merasa malu kepadanya ".

Abu Muslim al-Khaulani r.a. berkata ;

ما عملت عملا أبالب ان يطلع الناس عليه الا اتياني اهلي والبول والغائط وهذه درجة عظيمة لا ينالها كل احد

" Tidaklah aku mengerjakan suatu amal yang aku peduli dilihat manusia kecuali bersenggama dengan istri, kencing dan berak. Hal ini merupakan derajat yang sangat agung, yang tidak semua orang dapat memperolehnya ".

( * ) Syaikh Fudhail bin 'Iyadh ( 105-187 H / 723-803 M ) ;

ترك العمل لأجل الناس رياء ، والعمل لأجل الناس شرك ، والإخلاص ان يعافيك الله منهما

" Meninggalkan amal karena manusia adalah riya' ( pamer ), dan beramal karena manusia adalah syirik, sedangkan ikhlas adalah engkau diselamatkan oleh Alloh dari keduanya ".

( * ) Imam Al-Ghozali r.a. ;

واما ترك الطاعة خوف الرياء فلا وجه له بل ينبغي ان يعمل ويخلص الا اذا كان العمل فيما يتعلق بالخلق كالقضاء والامانة والوعظ فاذا علم من نفسه انه بعد الخوض فيه لا يملك نفسه بل يميل الى دواعي الهوى فيجب عليه الاعراض والهرب كذلك فعل جماعة من السلف.

" Adapun meninggalkan taat karena takut riya ', maka tidak ada alasan untuk hal itu, bahkan seyogyanga ia tetap beramal dan berusaha ikhlas, kecuali apabila amal itu tentang sesuatu yang berkaitan dengan makhluk, seperti menjadi Qodhi ( hakim ), memegang amanah, memberikan mau'idzhoh. Maka apabila ia mengetahui dari dirinya bahwa sesungguhnya setelah ia menyelami begitu dalam ia tidak dapat menahan nafsunya bahkan cenderung pada pengaruh-pengaruh hawa nafsu, maka wajib baginya untuk lari dan berpaling dari pekerjaan itu. Demikian itu adalah perilaku sebagian besar orang-orang salaf ".

Mudah-mudahan bermanfaat.
———————
Sidoarjo , Selasa 24-3-2015.

Danny Ma'shoum.

Selasa, 17 Maret 2015

BIDADARI DUNIA

PARA BIDADARI DUNIA

Ada keterangan cukup menarik dari kitab Ihya' Ulumiddin nya Imam Al-Ghozali, seputar karakter wanita yang sebagian para Ulama besar dahulu menjatuhkan pilihannya pada sosok-2 yang layak dijadikan istri sebagai pendamping hidup dan sudah barang tentu demi kemaslahatan agama tentunya. Dan hal ini memungkinkan bahwa istri-2 beliau ( para Ulama ) ini adalah sosok bidadari bagi pribadi mereka. Dan bagaimana pula nasehat-nasehat salafus sholih dalam hal ini.

Dalam kitab Ihya' Ulumiddin-nya Imam Al-Ghozali, Jilid 2, Hal. 40. dituturkan sebagai berikut ;

والغرور يقع في الجال والخلق جميعا فيستحب ازالة الغرور في الجمال بالنظر و الخلق بالوصف والاستيصاف فينبغى ان يقدم ذلك علي النكاح ولا يسوصف  في اخلاقها وجمالها الا من هو بصير صادق خبير بالظاهر والباطن  ولا يميل اليها فيفرط في الثناء ولا يحسدها فيقصر فالطباع مائلة في مبادى النكاح ووصف المنكوحات الي الافراط والتفريط وقل من يصدق فيه  ويقتصد بل الخداع والاغراء أغلب والاحتياط فيه مهم لمن يخشى علي نفسه التشوف الي غير زوجته .فاما من اراد من الزوجة مجرد السنة اوالولد او ندبير المنزل فلو رغب عن الجمال فهو الي الزهد اقرب لأنه علي الجملة باب من الدنيا وان كان قد يعين علي الدين في حق بعض الاشخاص، قال ابو سليمان الداراني الزهد في كل شيئ حتى في المرأة يتزوج الرجل العجوز إثارا للزهد في الدنيا، وقد كان مالك بن دينار رحمه الله يقول يترك احدكم ان يتزوج يتيمة فيؤجر فيها إن اطعمها وكساها تكون خفيفة المؤنة ترضي باليسير ويتزوج بنت فلان وفلان يعني ابناء الدنيا فتشتهى عليه الشهوات وتقول اكسنى كذا وكذا، واختار احمد بن حنبل عوراء علي اختها جميلة فسأل من اعقلهما فقيل العوراء فقال زوجونى اياها فهذا دأب من لم يقصد التمتع.
فاما من لا يؤمن علي دينه مالم يكن له مستمتع فليطلبالجمال فالتلذذ بالمباح حصن للدين.
وقد قيل اذا كانت المرأة حسناء خيرة الاخلاق سوداء الحدقة والشعر كبيرة العين بيضاء اللون محبة لزوجها قاصرة الطرف عليه فهي صورة الحور العين فان الله تعالي وصف نساء اهل الجنة بهذه الصفة في قوله — خيرات حسان—اراد باخيرات حسنات الاخلاق، وفي قوله — قاصرات الطرف — وفي قوله — عربا اترابا — العروب هي العشقة لزوجها المشتهية للوقاع وهي تتم اللذة والحور البياض والحوراء شديدة بياض العين شديدة سوادها في سواد الشعر والعيناء الواسعة العين.

Terperdaya itu terjadi lantaran kecantikan bersama dengan budi pekerti. Maka disunnahkan menghilangkan terperdaya pada kecantikan itu dengan melihat dan terperdaya dengan budi pekerti saja, dengan disifatkan dan diperhatikan sifat-2 dari karakter wanita yang akan dinikahi. Maka sebaiknya yang demikian itu didahulukan dari pernikahan, dan tidaklah diterima pensifatan tentang budi pekerti dan kecantikan wanita yang akan dinikahi itu selain dari orang yang melihat benar, dapat dipercaya dan mengetahui dengan lahir dan batin, serta netral ( tidak condong ) pada wanita itu ( sampai ) berlebihan memujinya, dan tidak dengki pada wanita itu sehingga ia tak perlu berlama-lama dengan hal beginian.
Sifat manusia itu condong mengenai hal-2 yang menyangkut dengan hal-2 pada awal pernikahan dan pensifatan terhadap wanita-2 yang akan dinikahi, berkaitan dengan kelebihan-2 dan kekurangan-2nya. Dan sedikit sekali orang yang menjelaskan secara jujur dan menyederhanakan akan hal ini, tetapi menipu dan menjelek-jelekkannya yang lebih banyak terjadi. Maka dari itu, berhati-hatilah mengenai hal yang demikian ini, adalah penting sekali bagi orang khawatir terhadap dirinya sendiri akan memperoleh yang tidak pantas untuk dijadikan istrinya.
Adapun orang yang berkeinginan menikah semata-mata mengikuti sunnah atau memperoleh keturunan dan untuk mengatur rumah tangga, maka kalau ia tidak menghendaki kecantikan niscaya ia lebih mendekati kepada zuhud. Karena kecantikan itu umumnya adalah suatu pintu dari duniawi, meskipun bagi sebagian orang terkadang dapat membantu dalam hal agama.

Imam Abu Sualaiman Ad-Daroni berkata : " Zuhud itu terdapat pada tiap-tiap hal, bahkan terhadap wanita yang dinikahi oleh seorang laki-laki atas wanita yang sudah tua bangka, oleh karena mengutamakan kezuhudan di dunia ".
Malik bin Dinar rahimahulloh berkata : " Salah seorang darimu meninggalkan menikahi wanita yatim, lalu diupahinya wanita itu. Kalau ia memberi makan dan pakaian, maka perbelanjaan terhadap wanita itu adalah ringan, yang rela dengan yang sedikit. Dan ia mengawini anak sifulan dan sifulan lainnya, yaitu anak-anak dunia, maka bergejolaklah hawa nafsunya, dan wanita itu berkata : " Berilah aku pakaian ini dan itu ".

Imam Ahmad bin Hanbal memilih wanita yang matanya juling dari saudara nya yang cantik untuk dijadikan istrinya, maka beliau bertanya ," Siapakah yang paling berakal diantara kedua wanita itu ? Maka orang menjawab, " Yang juling itu ". Lalu Imam Ahmad bin Hanbal berkata ," Nikahkan aku dengan wanita itu ".   Maka inilah sifatnya orang-2 yang tidak tertuju pada kesenangan semata-mata.
Adapun orang yang tidak merasa aman terhadap agamanya, selagi ia tidak mempunyai tempat kesenangan, maka hendaklah mencari kecantikan. Sebab memperoleh kelezatan dengan yang diperbolehkan adalah benteng bagi Agama.

Dan sungguh telah dikatakan, bahwa apabila wanita itu cantik, baik budi pekertinya, hitam pekat mata dan rambutnya, besar matanya, putih kuning warnanya, mencintai suaminya, tidak banyak memandang kepada suaminya, maka wanita yang demikian itu adalah bentuk BIDADARI. ( karena ) Sesungguhnya Alloh Ta'ala mensifatkan wanita-wanita penduduk surga dengan sifat-sifat tadi. Sebagaimana dalam firmanNya ;

...خيرات حسان

yang artinya," Didalam surga itu bidadari-bidadari yang baik, cantik jelita " ( Suroh Ar-Rohman, juz 27, ayat 70 ). Yang dimaksud dengan " Khoirotun " adalah yang baik akhlaqnya.
Dan dalam firmanNya lagi ;

..قاصرات الطرف

yang artinya :" Didalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya..." ( Suroh Ar-Rohman, juz 27, ayat 56 ).

Dan firmanNya lagi :

عربا اترابا

yang artinya :" Penuh kecintaan dan sebaya umurnya ". ( Suroh Al-Waqiah, juz 27, ayat 37 )
'Uruban itu artinya ; wanita itu asyik kepada suaminya, amat rindu dengan persetubuhan, dan dengan persetubuhan itu sempurnalah kelezatan. Dan bidadari itu matanya putih, rambutnya hitam mengikal dan matanya agak meluas ".

—————
*Danny Ma'shoum
Sidoarjo, 17 Maret 2015