Kamis, 26 Maret 2015

KISAH LENGKAP ASHABUL KAHFI

Kisah Lengkap Pemuda Ashabul Kahfi:
Keagungan Allah, Kehebatan Ali, Kecerdasan
Tamlikha
*
Dalam surat
Al-Kahfi, Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu,
yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan nabi Musa
as dan nabi Khaidir as serta kisah Dzulqarnain. Kisah
Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan
digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga
kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata,
tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah
dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata,
tapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah) didalamnya.
Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman
yang hidup pada masa Raja Diqyanus di Romawi,
beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi Isa as.
Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah berhala
dengan seorang raja yang dzalim. Ketika sang raja
mengetahui ada sekelompok orang yang tidak
menyembah berhala, maka sang raja marah lalu
memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk
mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi
menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh.
Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah
mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai
tempat persembunyian.
Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan selama
309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali
ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti
menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah
SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-‘Adzim; jilid:3 ;
hal.67-71).
Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang
ditafsir secara jelas jalan ceritanya. Penulis kitab
Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II,
halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang
dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut
berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi:
“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari
tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka
berdo’a: “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat
kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi
kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami
(ini)” (QS al-Kahfi:10)
Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai
dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:
Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai
Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa
orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah:
“Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan
sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami
hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada
anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami,
barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan
agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang
Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi
jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan
Muhammad bukan seorang Nabi.”
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian
inginkan,” sahut Khalifah Umar.
“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok)
mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta
itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan
kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang
berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan
kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat
memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan
manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang
lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan
bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari
kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada
kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di
saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh
ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang
dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik?
Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang
bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia
sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung
pipit pada waktu ia sedang berkicau?”
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir
sejenak, kemudian berkata: “Bagi Umar, jika ia
menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang
memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu
hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-
pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak
kegirangan, sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi
bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan
agama Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan
berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian
tunggu sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah
bertemu, Salman berkata: “Ya Abal Hasan,
selamatkanlah agama Islam!”
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang
dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali
segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar,
berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain
penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah
s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia
bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya,
sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan
besar, engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang
sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi
Thalib herkata: “Silakan kalian bertanya tentang apa
saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah
mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-
ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi
pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali
bin Abi Thalib berkata: “Aku ingin mengajukan suatu
syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti
sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai
dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya
bersedia memeluk agama kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi
Thalib.
Mereka mulai bertanya: “Apakah induk kunci (gembok)
yang mengancing pintu-pintu langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik
kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria
maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya
tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah
yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu ialah
kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasul Allah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara
mereka, sambil berkata: “Orang itu benar juga!” Mereka
bertanya lebih lanjut: “Terangkanlah kepada kami
tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan
bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi
Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi
Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!”
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi:
“Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat
memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk
itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Makhluk itu ialah semut
Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam.
Semut itu berkata kepada kaumnya: “Hai para semut,
masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak
diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam
keadaan mereka tidak sadar!”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya:
“Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk
yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu
pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari
kandungan ibunya atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Lima makhluk itu ialah,
pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh.
Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi
Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah
mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang
diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: “Kami
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah Rasul Allah!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil
berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, hati teman-
temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama
seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama
Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin
kutanyakan kepada anda.”
“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut Imam
Ali.
“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang
pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun,
kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana
hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab: “Hai pendeta Yahudi,
mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang
mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada
Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah
mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku sudah banyak
mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau
memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama
mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka,
nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung
serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal
sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya,
menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan
burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: “Hai
saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w.
kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu
terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama
Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi
nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus
(Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah
nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di
dalam wilayah Turki).
Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja
yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita
kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama
Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan
dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan
pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota
Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan,
lalu dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu
berdiri, terus bertanya: “Jika engkau benar-benar tahu,
coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana
serambi dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai saudara Yahudi,
raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat
dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km)
dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang
berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan
lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga
semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu
bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari
perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis
minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi
dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah,
demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari
sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat
menerangi serambi.
Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas.
Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah
kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari
emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di
sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat
dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-
penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana
dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi
sambil berkata: “Jika engkau benar-benar tahu, coba
terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan,
“mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas,
berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara
yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang
menerangi kegelapan malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari
anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai
selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana
mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau.
Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat
indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas.
Mereka harus berdiri di belakang raja.
Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri
dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan
menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja
tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa
berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang
pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang
berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya
berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata:
“Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan
nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu
raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: “Kekasihku
Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku,
bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja,
masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan
Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri
di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius,
Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan
mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana
dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa,
masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang
diantaranya membawa piala emas penuh berisi
wewangian murni.
Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari
bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor
burung. Orang yang membawa burung ini kemudian
mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di
atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu
berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-
ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu
habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara
isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di
atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil
berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-
ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni
yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat
sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara
lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas
mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang
harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana
kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak
pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa
pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah
atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri
sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka
dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai “tuhan” dan
tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka
dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh
kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah
lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau
tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera
dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa
mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama,
semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah
dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah
Allah s.w.t.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang
duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas
kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi
tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke
dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak
melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih
dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota
yang sedang dipakainya jatuh dari kepala.
Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas
singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di
sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama Tamlikha–
memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh
fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: “Kalau
Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut
pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur,
tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua
bukanlah sifat-sifat Tuhan.”
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu
mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari
mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran
Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya.
Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan
minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan
minum. Teman-temannya bertanya: “Hai Tamlikha,
mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau
minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku sedang
dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin
makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.”
Teman-temannya mengejar: “Apakah yang merisaukan
hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku memikirkan soal langit,” ujar Tamlikha
menjelaskan.”
Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: ‘siapakah yang
mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa
aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan
tanpa tiang yang menopangnya dari bawah?
Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit
itu?
Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-
bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga bumi
ini: ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-
nya di cakrawala?
Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung
raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak
miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri:
‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari
perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan
memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang
membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di
hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata:
“Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu
seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu,
baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!”
“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha, “baik aku maupun
kalian tidak menemukan akal selain harus lari
meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja
pencipta langit dan bumi!”
“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-
temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual
buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang
sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam
kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda
bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha
berkata kepada teman-temannya: “Saudara-saudara, kita
sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari
kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan
marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan
memudahkan urusan kita serta memberikan jalan
keluar.”
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan
kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak
berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut
mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: “Hai
penggembala, apakah engkau mempunyai air minum
atau susu?”
“Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,” sahut
penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah kalian semuanya
seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti
melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana
cerita perjalanan kalian itu!”
“Ah…, susahnya orang ini,” jawab mereka. “Kami sudah
memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta.
Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang
sebenarnya?”
“Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua
yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka,
penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka,
dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: “Dalam
hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam
hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku
hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada
pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada
kalian.”
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti.
Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan
kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia
datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing
miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi
yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai
Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan
apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib
memberitahukan, “kekasihku Muhammad Rasul Allah
s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu
berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir.
Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing,
masing-masing saling berkata kepada temannya: kita
khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan
membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada
penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan
batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-
temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang,
menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar
dan jelas sekali: “Hai orang-orang, mengapa kalian
hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada
tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya.
Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan
berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah
s.w.t.” Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu
pergi.
Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah
bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi
dari tempat duduknya sambil berkata: “Apakah nama
gunung itu dan apakah nama gua itu?!”
Imam Ali menjelaskan: “Gunung itu bernama Naglus dan
nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan
nama Kheram!”
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba
di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan
memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-
buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu.
Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di
dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti
mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua
kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.
Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut
supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing
orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat
untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri.
Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat
terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari
arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya
sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai
berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya.
Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri.
Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan
berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak
enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke
atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam
orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur
berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan
memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang
tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak
menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman
yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah
menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah
tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke
mari!”
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka
diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-
batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai
dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya:
“Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua,
kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya
minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit,
agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.”
Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309
tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t.
mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari
sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa
seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing.
Yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Malam tadi
kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke
mata air!”
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka
lihat mata air itu sudah mengering kembali dan
pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering
semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa
lapar. Mereka saling bertanya: “Siapakah di antara kita
ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota
membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan?
Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati
benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak
dengan lemak-babi.”
Tamlikha kemudian berkata: “Hai saudara-saudara, aku
sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan.
Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku
dan ambillah bajuku ini!”
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia
berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati
tempat-tempat yang sama sekali belum pernah
dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah
diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia
melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan:
“Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.”
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu
sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri:
“Kusangka aku ini masih tidur!” Setelah agak lama
memandang dan mengamat-amati bendera, ia
meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya
banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan
dengan orang-orang yang belum pernah dikenal.
Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang
penjaja roti: “Hai tukang roti, apakah nama kota kalian
ini?”
“Aphesus,” sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian?” tanya Tamlikha lagi.
“Abdurrahman,” jawab penjual roti.
“Kalau yang kau katakan itu benar,” kata Tamlikha,
“urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini
dan berilah makanan kepadaku!”
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena
uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau,
yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi,
lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, kalau
benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan
kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan
uang baru!”
Imam Ali menerangkan: “Kekasihku Muhammad Rasul
Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang
dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru,
ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua
pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti
lalu berkata kepada Tamlikha: “Aduhai, alangkah
beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan
harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau
tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!”
“Aku tidak menemukan harta karun,” sangkal Tamlikha.
“Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil
penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku
kemudian meninggalkan kota karena orang-orang
semuanya menyembah Diqyanius!”
Penjual roti itu marah. Lalu berkata: “Apakah setelah
engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela
menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula
engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka
yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah
mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan
begitu engkau hendak memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi
menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat
berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-
orang yang membawa Tamlikha: “Bagaimana cerita
tentang orang ini?”
“Dia menemukan harta karun,” jawab orang-orang yang
membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata: “Engkau tak perlu takut!
Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya
memungut seperlima saja dari harta karun itu.
Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan
selanjutnya engkau akan selamat.”
Tamlikha menjawab: “Baginda, aku sama sekali tidak
menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota
ini!”
Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau
penduduk kota ini?”
“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah orang yang kau kenal?” tanya raja lagi.
“Ya, ada,” jawab Tamlikha.
“Coba sebutkan siapa namanya,” perintah raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000
orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh
raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan.
Mereka berkata: “Ah…, semua itu bukan nama orang-
orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi,
apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?”
“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang
menyertai aku!”
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang
menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak
menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu.
Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang
mengantarkan: “Inilah rumahku!”
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki
yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah
keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut
hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia
terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang
yang datang: “Kalian ada perlu apa?”
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: “Orang
muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!”
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha.
Sambil mengamat-amati ia bertanya: “Siapa namamu?”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi lagi!”
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua
itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil
berucap: “Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah
seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari
Diqyanius, raja durhaka.”
Kemudian diteruskannya dengan suara haru: “Ia lari
berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit
dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah
memberitahukan kisah mereka kepada kita dan
mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!”
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian
di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja
segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang
berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat
Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja
Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang
banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki
Tamlikha sambil bertanya-tanya: “Hai Tamlikha,
bagaimana keadaan teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua
temannya masih berada di dalam gua.
“Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang
bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang
lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu
bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa
Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali
melanjutkan ceritanya.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di
dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata
kepada dua orang bangsawan dan para pengikut
mereka: “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku
mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya
senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan
mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian
berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan
menemui dan memberitahu mereka!”
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang
diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-
temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya
kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: “Puji dan
syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari
Diqyanius!”
Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan Diqyanius?
Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di
sini?”
“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab
mereka.
“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian sudah tinggal di sini
selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal
dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih
berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada
Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk
bertemu dengan kalian!”
Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai Tamlikha,
apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang
yang menggemparkan seluruh jagad?”
“Lantas apa yang kalian inginkan?” Tamlikha balik
bertanya.
“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan
berbuat seperti itu juga,” jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas,
kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan kebenaran yang
telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-
keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah
kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!”
Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu
memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa
mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua
tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-
nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar
selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi
tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan
masuk lainnya ke dalam gua.
Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin
tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua
orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang
dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan
yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: “Mereka
mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan
sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.”
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula:
“Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan
ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.”
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah
melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani
terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam.
Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah
berfirman:
“Dan begitulah Kami menyerempakkan mereka,
supaya mereka mengetahui bahawa janji Allah
adalah benar, dan bahawa Saat itu tidak ada
keraguan padanya. Apabila mereka berbalahan
antara mereka dalam urusan mereka, maka mereka
berkata, “Binalah di atas mereka satu bangunan;
Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai
mereka.” Berkata orang-orang yang menguasai
atas urusan mereka, “Kami akan membina di atas
mereka sebuah masjid.”
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti
menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian
berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah
itu: “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam
kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak
bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan
itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat
kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya Abal Hasan, engkau
tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu
huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku
sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa
tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah
hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga,
bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan
ummat ini!”
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua
(Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya
yang tercantum dalam kitab Fadha ‘ilul Khamsah
Minas Shihahis Sittah , tulisan As Sayyid Murtadha Al
Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan
banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali
bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.

(sumber : http://www.indonesiaindonesia.com/f/87236-
kisah-ashabul-kahfi-penghuni-gua-versi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar