Kamis, 05 Maret 2015

SEJARAH SHOLAWAT BADAR

Shalawat Badar
adalah “Lagu Wajib” Nahdlatul Ulama. Berisi puji-pujian
kepada Rasulullah SAW dan Ahli Badar (Para Sahabat
yang mati syahid dalam Perang Badar). Berbentuk Syair,
dinyanyikan dengan lagu yang khas.
Shalawat Badar digubah oleh Kia Ali Mansur Banyuwangi,
salah seorang cucu dari KH. Muhammad Shiddiq Jember
tahun 1960. Kiai Ali Mansur saat itu menjabat Kepala
Kantor Departemen Agama Banyuwangi, sekaligus
menjadi Ketua PCNU di tempat yang sama. Proses
terciptanya Shalawat Badar penuh dengan misteri dan
teka-teki.
Konon, pada suatu malam, ia tidak bisa tidur. Hatinya
merasa gelisah karena terus menerus memikirkan situasi
politik yang semakin tidak menguntungkan NU. Orang-
orang PKI semakin leluasa mendominasi kekuasaan dan
berani membunuh kiai-kiai di pedesaan. Karena memang
kiai-lah pesaing utama PKI saat itu.
Sambil merenung, Kiai Ali Mansur terus memainkan
penanya diatas kertas, menulis syair-syair dalam bahasa
arab. Dia memang dikenal mahir membuat syair sajak
ketika masih belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri.
Kegelisahan Kiai Ali Mansur berbaur dengan rasa heran,
karena malam sebelumnya bermimpi didatangi para
habib berjubah putih-hijau. Semakin mengherankan lagi,
karena pada saat yang sama istrinya bermimpi bertemu
Rasulullah SAW. Keesokan harinya mimpi itu ditanyakan
pada Habib Hadi Al-Haddar Banyuwangi. Habib Hadi
menjawab: “ Itu Ahli Badar, ya Akhy.” Kedua mimpi aneh
dan terjadi secara bersamaan itulah yang mendorong
dirinya menulis syair, yang kemudian dikenal dengan
Shalawat Badar.
Keheranan muncul lagi karena keesokan harinya banyak
tetangga yang datang kerumahnya sambil mebawa beras,
daging, dan lain sebagainya, layaknya akan mendatangi
orang yang akan punya hajat mantu. Mereka bercerita,
bahwa pagi-pagi buta pintu rumah mereka didatangi
orang berjubah putih yang memberitahukan bahwa
dirumah Kiai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Mereka
diminta membantu. Maka mereka pun membantu sesuai
dengan kemampuannya.
“Siapa orang yang berjubah putih itu?” Pertanyaan itu
terus mengiang-ngiang dalam benak Kiai Ali Mansur
tanpa jawaban. Namun malam itu banyak orang bekerja
di dapur untuk menyambut kedatangan tamu, yang
mereka sendiri tidak tahu siapa, dari mana dan untuk
apa.?
Menjelang matahari terbit, serombongan habib berjubah
putih-hijau dipimpin oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-
Habsyi dari Kwitang Jakarta, datang kerumah Kia Ali
Mansur. “Alahamdulillah………,” ucap kiai Ali Mansur
ketika melihat rombongan yang datang adalah para
habaib yang sangat dihormati keluaganya.
Setelah berbincang basa-basi sebagai pengantar,
membahas perkembangan PKI dan kondisi politik
nasional yang
semakin tidak menguntungkan, Habib Ali menanyakan
topik lain yang tidak diduga oleh Kiai Ali Mansur: “ Ya
Akhy! Mana Syair yang ente buat kemarin? Tolong ente
bacakan dan lagukan di hadapan kami-kami ini!” Tentu
saja Kiai Ali Mansur terkejut, sebab Habib Ali tahu apa
yang dikerjakannya semalam. Namun ia memaklumi,
mungkin itulah karomah yang diberikan Allah kepadanya.
Sebab dalam dunia kewalian, pemandangan seperti itu
bukanlah perkara aneh dan perlu dicurigai.
Segera saja Kiai Ali Mansur mengambil kertas yang berisi
Shalawat Badar hasil gubahannya semalam, lalu
melagukannya dihadapan mereka. Secara kebetulan Kiai
Ali Mansur juga memiliki suara bagus. Ditengah alunan
suara Shalawat Badar itu para Habaib mendengarkannya
dengan khusyuk. Tak lama kemudian mereka meneteskan
air mata karena haru.
Selesai mendengarkan Shalawat Badar yang
dikumandangkan oleh Kiai Ali Mansur, Hbib segera
bangkit.
“Ya Akhy….! Mari kita perangi genjer-genjer PKI itu
dengan Shalawat Badar…!” serunya dengan nada mantap.
Setelah Habib Ali memimpin doa, lalu rombongan itu
mohon diri. Sejak saat itu terkenallah Shalawat Badar
sebagai bacaan warga NU untuk membangkitkan
semangat melawan orang-orang PKI.
Untuk lebih mempopulerkannya, Habib Ali mengundang
para habib dan ulama (termasuk Kiai Ali Mansur dan KH.
Ahmad Qusyairi, paman Kiai Ali Mansur) ke Jalan
Kwitang, Jakarta. Di forum istimewa itulah Shalawat
Badar dikumandangkan secara luas oleh Kiai Ali Mansur.

Sumber : Antologi NU Jilid I. Pengantar KH. Abdul
Muhith Muzadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar