Jumat, 01 Mei 2015

HUJJAH AMALIYAH TAHLIL, KENDURI ARWAH ATAU SELAMATAN KEMATIAN

TAHLIL

 

MUQADDIMAH

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.

Tahlilan, sebagian kaum Muslimin menyebutnya dengan “majelis tahlil”, “selamatan kematian”, “kenduri arwah” dan lain sebagainya. Apapun itu, pada dasarnya tahlilan adalah sebutan untuk sebuah kegiatan dzikir dan bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Yang mana didalamnya berisi kalimat-kalimat thayyibah, tahmid, takbir, tasybih hingga shalawat, do’a dan permohonan ampunan untuk orang yang meninggal dunia, pembacaan al-Qur’an untuk yang meninggal dunia dan yang lainnya. Semua ini merupakan amaliyah yang tidak ada yang bertentangan dengan syariat Islam bahkan merupakan amaliyah yang memang dianjurkan untuk memperbanyaknya.

Istilah tahlilan sendiri diambil dari mashdar dari fi’il madzi “Hallalla – Yuhallilu – Tahlilan”, yang bermakna membaca kalimat Laa Ilaaha Ilaallah. Dari sini kemudian kegiatan merahmati mayyit ini di namakan tahlilan karena kalimat thayyibah tersebut banyak dibaca didalamnya dan juga penamaan seperti ini sebagaimana penamaan shalat sunnah tasbih, dimana bacaan tasbih dalam shalat tersebut dibaca dengan jumlah yang banyak (300 kali), sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Namun, masing-masing tempat kadang memiliki sebutan tersendiri yang esensinya sebenarnya sama, sehingga ada yang menyebutnya sebagai “Majelis Tahlil”, “Selamatan Kematian”, “Yasinan” (karena dimulai dengan pembacaaan Yasiin), “Kenduri Arwah”, “Tahlil”, dan lain sebagainya.

Tahlilan sudah ada sejak dahulu, di Indonesia pun atau Nusantara pun tahlilan sudah ada jauh sebelum munculnya aliran yang kontra, yang mana tahlilan di Indonesia di prakarsai oleh para ulama seperti walisongo dan para da’i penyebar Islam lainnya. Tahlilan sebagai warisan walisongo terus di laksanakan oleh masyarakat muslim hingga masa kini bersamaan dengan sikap kontra segelintir kaum muslimin yang memang muncul di era-era dibelakangan. Dalam bahasan ini setidaknya ada beberapa hal pokok dalam tahlilan yang harus dipaparkan sebab kadang sering dipermasalah. Untuk mempermudah memahami masalah ini yakni amaliyah-amaliyah masyru’ yang terdapat dalam tahlilan (kenduri arwah) maka bisa di rincikan sebagai berikut :
 

 

||| DO'A UNTUK ORANG MATI |||

Kaitan dengan do’a, hal ini tidak begitu dipermasalahkan, sebab telah menjadi kepakatan ulama ahlus sunnah wal jama’ah bahwa do’a sampai kepada orang mati dan memberikan manfaat bagi orang mati. Begitu banyak dalil yang menguatkan hal ini. Diantaranya dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’alaa telah berfirman :

والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رءوف رحيم

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. al-Hasyr 59 ; 10)

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’alaa memberitahukan bahwa orang-orang yang datang setelah para sahabat Muhajirin maupun Anshar mendo’akan dan memohonkan ampun untuk saudara-saudaranya yang beriman yang telah (wafat) mendahului mereka sampai hari qiamat. [1] Mereka yang dimaksudkan adalah para tabi’in dimana mereka datang setelah masa para sahabat, mereka berdoa untuk diri mereka sendiri dan untuk saudara mukminnya serta memohon ampun untuk mereka. [2]

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan” (QS. Muhammad 47 : 19)

Ayat ini mengisyaratkan bermanfaatnya do’a atau permohonan ampun oleh yang hidup kepada orang yang meninggal dunia. Serta perintah untuk memohonkan ampunan bagi orang-orang mukmin.

رب اغفر لي ولوالدي ولمن دخل بيتي مؤمنا وللمؤمنين والمؤمنات ولا تزد الظالمين إلا تبارا

“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan”. (QS. Nuh 71 : 28)

Allah Subhanahu wa Ta’alaa juga berfirman :

وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ

“dan mendo'alah untuk mereka, sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka” (QS. at-Taubah : 104)

Frasa “shalli ‘alayhim” maksudnya adalah berdolah dan mohon ampulan untuk mereka, [3] ini menunjukkan bahwa do’a bermanfaat kepada orang lain.
 

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم كلما كان ليلتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم يخرج من آخر الليل إلى البقيع فيقول السلام عليكم دار قوم مؤمنين وأتاكم ما توعدون غدا مؤجلون وإنا إن شاء الله بكم لاحقون اللهم اغفر لأهل بقيع الغرقد.

“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada malam hari yaitu keluar pada akhir malam ke pekuburan Baqi’, kemudian Rasulullah mengucapkan “Assalamu’alaykum dar qaumin mu’minin wa ataakum ma tu’aduwna ghadan muajjaluwna wa innaa InsyaAllahu bikum laa hiquwn, Allahummaghfir lil-Ahli Baqi al-Gharqad”. [4]

Ini salah satu ayat dan hadits yang menyatakan bahwa mendo’akan orang mati adalah masyru’ (perkara yang disyariatkan), dan menganjurkan kaum muslimin agar mendo’akan saudara muslimnya yang telah meninggal dunia. Banyak-ayat-ayat serupa dan hadits-hadits yang menunjukkan hal itu.

‘Ulama besar madzhab Syafi’iyah yaitu al-Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar menyebutkan :

بابُ ما ينفعُ الميّتَ من قَوْل غيره : أجمع العلماء على أن الدعاء للأموات ينفعهم ويَصلُهم‏.‏ واحتجّوا بقول اللّه تعالى‏:‏ ‏{‏وَالَّذِينَ جاؤوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنا اغْفِرْ لَنا ولإِخْوَانِنا الَّذين سَبَقُونا بالإِيمَانِ‏} وغير ذلك من الآيات المشهورة بمعناها، وفي الأحاديث المشهورة كقوله صلى اللّه عليه وسلم‏:‏ ‏"‏اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأهْلِ بَقِيعِ الغَرْقَدِ‏"‏ وكقوله صلى اللّه عليه وسلم‏:‏ ‏"‏اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنا وَمَيِّتِنَا‏"‏ وغير ذلك‏.‏

“Bab perkataan dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi mayyit : ‘Ulama telah ber-ijma’ (bersepakat ) bahwa do’a untuk orang meninggal dunia bermanfaat dan pahalanya sampai kepada mereka. Dan ‘Ulama’ berhujjah dengan firman Allah : {“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami (59:10)”}, dan ayat-ayat lainnya yang maknanya masyhur, serta dengan hadits-hadits masyhur seperti do’a Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam “ya Allah berikanlah ampunan kepada ahli pekuburan Baqi al-Gharqad”, juga do’a : “ya Allah berikanlah Ampunan kepada yang masih hidup dan sudah meninggal diantara kami”, dan hadits- yang lainnya.” [5]

Didalam Minhajuth Thalibin :

وتنفع الميت صدقة ودعاء من وارث وأجنبي.

“dan memberikan manfaat kepada mayyit berupa shadaqah juga do’a dari ahli waris dan orang lain” [6]

Imam al-Mufassir Ibnu Katsir asy-Syafi’i terkait do’a dan shadaqah juga menyatakan sampai.

فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما، ومنصوص من الشارع عليهما

“Adapun do’a dan shadaqah, maka pada yang demikian ulama telah sepakat atas sampainya pahala keduanya, dan telah ada nas-nas dari syariat atas keduanya”. [7]

Syaikh an-Nawawi al-Bantani (Sayyid ‘Ulama Hijaz) didalam Nihayatuz Zain :

وَالدُّعَاء ينفع الْمَيِّت وَهُوَ عقب الْقِرَاءَة أقرب للإجابة

“dan do’a memberikan manfaat bagi mayyit, sedangkan do’a yang mengiringi pembacaan al-Qur‘an lebih dekat di ijabah”.[8]

Syaikh al-‘Allamah Zainudddin bin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibari didalam Fathul Mu’in :

وتنفع ميتا من وارث وغيره صدقة عنه ومنها وقف لمصحف وغيره وبناء مسجد وحفر بئر وغرس شجر منه في حياته أو من غيره عنه بعد موته. ودعاء له إجماعا وصح في الخبر أن الله تعالى يرفع درجة العبد في الجنة باستغفار ولده له وقوله تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} عام مخصوص بذلك وقيل منسوخ.

“dan memberikan manfaat bagi mayyit dari ahli waris atau orang lain berupa shadaqah darinya, diantara contohnya adalah mewaqafkan mushhaf dan yang lainnya, membangun masjid, sumur dan menanam pohon pada masa dia masih hidup atau dari orang lain yang dilakukan untuknya setelah kematiannya, dan do’a juga bermanfaat bagi orag mati berdasarkan ijma’, dan telah shahih khabar bahwa Allah Ta’alaa mengangkat derajat seorang hamba di surga dengan istighafar (permohonan ampun) putranya untuknya [9]. dan tentang firman Allah {wa an laysa lil-insaani ilaa maa sa’aa} adalah ‘amun makhsush dengan hal itu, bahkan dikatakan mansukh”. [10]

Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi didalam I’anatuth Thalibin :

(قوله: ودعاء) معطوف على صدقة، أي وينفعه أيضا دعاء له من وارث وغيره،

“Frasa (do’a) ma’thuf atas lafadz shadaqah, yakni do’a juga memberikan manfaat bagi orang mati baik dari ahli waris atau orang lain”.[11]

Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari didalam Fathul Wahab :

" وينفعه " أي الميت من وارث وغيره " صدقة ودعاء " بالإجماع وغيره وأما قوله تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} فعام مخصوص بذلك وقيل منسوخ وكما ينتفع الميت بذلك ينتفع به المتصدق والداعي

“dan memberikan manfaat bagi orang mati baik dari ahli waris atau orang lain berupa shadaqah dan do’a berdasarkan ijma’ dan hujjah lainnnya, adapun firman Allah {wa an laysa lil-insaani ilaa maa sa’aa} adalah ‘amun makhshush dengan hal itu bahkan dikatakan mansukh, sebagaimana itu bermanfaat bagi mayyit juga bermanfaat bagi person yang bershadaqah dan yang berdo’a”.[12]

Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam Tuhfatul Muhtaj :

(وينفع الميت صدقة) عنه ومنها وقف لمصحف وغيره وحفر بئر وغرس شجر منه في حياته أو من غيره عنه بعد موته (ودعاء) له (من وارث وأجنبي) إجماعا وصح في الخبر: «إن الله تعالى يرفع درجة العبد في الجنة باستغفار ولده له» وهما مخصصان وقيل ناسخان لقوله تعالى {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} [النجم: 39] إن أريد ظاهره وإلا فقد أكثروا في تأويله، ومنه أنه محمول على الكافر أو أن معناه لا حق له إلا فيما سعى، وأما ما فعل عنه فهو محض فضل لا حق له فيه

Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam Tuhfatul Muhtaj :

(وينفع الميت صدقة) عنه ومنها وقف لمصحف وغيره وحفر بئر وغرس شجر منه في حياته أو من غيره عنه بعد موته (ودعاء) له (من وارث وأجنبي) إجماعا وصح في الخبر: «إن الله تعالى يرفع درجة العبد في الجنة باستغفار ولده له» وهما مخصصان وقيل ناسخان لقوله تعالى {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} [النجم: 39] إن أريد ظاهره وإلا فقد أكثروا في تأويله، ومنه أنه محمول على الكافر أو أن معناه لا حق له إلا فيما سعى، وأما ما فعل عنه فهو محض فضل لا حق له فيه

“dan memberikan manfaat kepada mayyit berupa shadaqah darinya, seperti mewaqafkan mushhaf dan yang lainnya, menggali sumur dan menanam pohon pada masa hidupnya atau dari orang lain untuknya setelah kematiannya, dan do’a juga bermanfaat bagi orang mati baik berasal dari ahli waris atau orang lain berdasarkan ijma’ dan telah shahih didalam khabar bahwasanya Allah mengangkat derajat seorang hamba didalam surga dengan istighafar anaknya untuknya, keduanya (ijma’ dan khabar) merupakan pengkhusus, bahkan dikatakan sebagai penasikh untuk firman Allah {wa an laysa lil-insaani ilaa ma sa’aa} jika menginginkan dhahirnya, namun jika tidak maka kebanyakan ulama menta’wilnya, diantaranya itu dibawa atas pengertian kepada orang kafir atau maknanya tidak ada haq baginya kecuali pada perkara yang diusahakannya”. [13]

Imam Syamsuddin al-Khathib as-Sarbiniy didalam Mughni :

ثم شرع فيما ينفع الميت فقال (وتنفع الميت صدقة) عنه، ووقف، وبناء مسجد، وحفر بئر ونحو ذلك (ودعاء) له (من وارث وأجنبي) كما ينفعه ما فعله من ذلك في حياته

“kemudian disyariatkan tentang perkara yang bermanfaat bagi mayyit, maka kemudian ia berkata (dan bermanfaat bagi mayyit berupa shadaqah) darinya, waqaf, membangun masjid, menggali sumur dan seumpamanya, (juga bermanfaat berupa do’a) untuknya (baik dari ahli waris atau orang lain) sebagaimana bermanfaatnya perkara yang ia kerjakan pada masa hidupnya”. [14]

Al-‘Allamah Muhammad az-Zuhri al-Ghamrawi didalam As-Siraajul Wahaj :

وتنفع الميت صدقة عنه ووقف مثلا ودعاء من وارث وأجنبي كما ينفعه ما فعله من ذلك في حياته ولا ينفعه غير ذلك من صلاة وقراءة ولكن المتأخرون على نفع قراءة القرآن وينبغي أن يقول اللهم أوصل ثواب ما قرأناه لفلان بل هذا لا يختص بالقراءة فكل أعمال الخير يجوز أن يسأل الله أن يجعل مثل ثوابها للميت فان المتصدق عن الميت لا ينقص من أجره شيء

“dan shadaqah darinya bisa memberikan manfaat bagi mayyit seumpama mewaqafkan sesuatu, juga do’a dari ahli waris atau orang lain sebagaimana bermanfaatnya sesuatu yang itu ia lakukan pada masa hidupnya dan tidak memberikan manfaat berupa shalat dan pembacaan al-Qur’an akan tetapi ulama mutaakhirin berpendapat atas bermanfaatnya pembacaan al-Qur’an, dan sepatutrnya mengucapakan : “ya Allah sampaikan apa apa yang kami baca untuk fulan”, bahkan ini tidak khusus untuk qira’ah saja tetapi juga seluruh amal kebaikan boleh untuk memohon kepada Allah agar menjadikan pahalanya untuk mayyit, sungguh orang yang bershadaqah untuk mayyit tidak mengurangi pahalanya dirinya”.[15]

Al-‘Allamah Syaikh Sulaiman al-Jamal didalam Futuhat al-Wahab :

قوله: وينفعه صدقة) ومنها وقف لمصحف وغيره وحفر بئر وغرس شجرة منه في حياته، أو من غيره عنه بعد موته ودعاء له من وارث وأجنبي إجماعا

“(frasa bermanfaatnya shadaqah) diantaranya yakni waqaf untuk mushhaf dan yang lainnya, menggali sumur dan menanam pohon darinya pada masa hidupnya atau dari orang lain untuknya setelah kematiannya, dan do’a untuknya dari ahli waris dan orang lain berdasarkan ijma’”.[16]

Masih banyak lagi pertanyaan ulama-ulama Syafi’iyah yang termaktub didalam kitab-kitab mereka. Oeh karena itu dapat disimpulkan bahwa do’a jelas sampai dan memberikan kepada orang mati dan ulama telah berijma’ tentang ini. Artinya dari sini, mayyit bisa memperoleh manfaat dari amal orang lain berupa do’a. Ini adalah amal baik dan penuh kasih sayang terhadap saudara muslimnya yang telah meninggal dunia, dan telah menjadi kebiasaan kaum muslimin terutama yang bermandzhab syafi’i baik di Indonesia yang lainnya, yang dikemas dalam kegiatan tahlilan.
 

CATATAN KAKI :

[1] Lihat : Tafsirul Jalalain karya al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli (asy-Syafi’i).

[2] Lihat : Tafsir Ma’alimut Tanzil lil-Imam al-Baghawi asy-Syafi’i (w. 516 H).

[3] Lihat ; Ibid. “Ash-Shalah” menurut bahasa adalah do’a. Frasa “sakanun lahum” yaitu sesunguhnya do’amu sebagai rahmat bagi mereka, ini qaul Ibnu ‘Abbas. ; Juga didalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhiim, Ibnu Katsir.

[4] Shahih Muslim no. 1618 ; Sunan an-Nasa’i no. 2012 ; Assunanul Kubra lil-Imam al-Baihaqiy (4/79) ; Musnad Abu Ya’la no. 4635 ; Shahih Ibnu Hibban no. 3239 ;

[5] Lihat Al-Adzkar li-Syaikhil Islam al-Imam an-Nawawi hal. 150.

[6] Lihat ; Minhajuth Thalibin lil-Imam an-Nawawi [hal. 193].

[7] Lihat ; Tafsirul Qur’an al-‘Adzhim li-Ibni Katsir (7/465).

[8] Lihat : Niyahatuz Zain fiy Irsyadil Mubtadi-in lil-Syaikh Ibnu ‘Umar an-Nawawi al-Jawi [hal. 162]

[9] Haditsnya terdapat dalam Shahih Muslim (1631), Ibnu Majah [3660], Musnad Ahmad [8540] dan ad-Darimi [3464].

[10] Lihat : Fathul Mu’in bisyarhi Qurrati ‘Ain, al-‘Allamah Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibari [hal. 431].

[11] Lihat : I’anatuth Thalibin li-Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi [3/256].

[12] Lihat : Fathul Wahab bisyarhi Minhajith Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari [w. 926 H] (2/23).

[13] Lihat : Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [7/72].

[14] Lihat : Mughni al-Muhtaj, Imam Syamsuddin al-Khatib as-Sarbini [4/110].

[15] Lihat : as-Sirajul Wahaj ‘alaa Matni al-Minhaj lil-‘Allamah Muhammad az-Zuhri [1/344]

[16] Lihat : Futuhatul Wahab lil-Imam Sulaiman al-Jamal (Hasyiyatul Jamal) [4/67].

================================================

 

||| SHADAQAH UNTUK MAYYIT |||

Telah diketahui sebelumnya pada kutipan-kutipan diatas bahwa pahala shadaqah juga sampai kepada orang mati sebagaimana do’a, dan memberikan manfaat bagi orang mati. Sebagai tanbahan dari pernyataan sebelumnya maka berikut diantara hadits dan juga pendapat ‘ulama Syafi’iyah lainnya tentang bermanfaatnya shadaqah untuk orang mati. Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan :

أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم

“Sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, kemudian ia berkata ; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia (mendadak) namun ia belum sempat berwasiat, dan aku menduga seandainya sempat berkata-kata ia akan bershadaqah, apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bershadaqah atas beliau ?, Nabi kemudian menjawab ; “Iya (maka bershadaqahlah, riwayat lain)”.[1]

Ketika mengomentari hadits ini, Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan :

وفي هذا الحديث : أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها ، وهو كذلك بإجماع العلماء ، وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ، ويصح الحج عن الميت إذا كان حج الإسلام ، وكذا إذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا ، واختلف العلماء في الصواب إذا مات وعليه صوم ، فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه

“Pengertian dalam hadits ini adalah bahwa shadaqah dari mayyit bermanfaat dan pahalanya sampai kepada mayyit, dan hal itu dengan ijma’ ulama, sebagaimana juga ulama ber-ijma’ atas sampainya pahala do’a dan membayar hutang berdasarkan nas-nas yang telah warid didalam keseluruhannya, dan juga sah berhaji atas mayyit apabila haji Islam, dan seperti itu juga ketika berwasiat haji sunnah berdasarkan pendapat yang ashah (lebih sah), dan Ulama berikhtilaf tentang pahala orang yang meninggal dunia namun memiliki tanggungan puasa, pendapat yang rajih (lebih unggul) memperbolehkannya (berpuasa atas namanya) berdasarkan hadits-hadits shahih tentang hal itu”. [2]
 

وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردي البصري الفقيه الشافعي في كتابه الحاوي عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة وإجماع الأمة فلا التفات إليه ولا تعريج عليه

“Adapun mengenai yang dikisahkan oleh Qadli dari pada qadli Abul Hasan al-Mawardi al-Bashriy al-Faqih asy-Syafi’i didalam kitabnya (al-Hawiy) tentang sebagian ahli bicara yang menyatakan bahwa mayyit tidak bisa menerima pahala setelah kematiannya, itu adalah pendapat yang bathil secara qath’i dan kekeliruan diantara mereka berdasarkan nas-nas al-Qur’an, as-Sunnah dan kesepakatan (ijma’) umat Islam, maka tidak ada toleransi bagi mereka dan tidak perlu di hiraukan. [3]

Banyak penjelasan kitab-kitab syafi’iyah yang senada dengan hal diatas. Hal yang juga perlu di garis bawahi disini adalah bahwa seseorang bisa memperolah manfaat dari amal orang lain.
 

CATATAN KAKI :

[1] Shahih Muslim no. 1672 ( Bab sampainya pahala shadaqah dari mayyit atas dirinya) dan no. 3083 (Bab sampainya pahala shadaqah kepada mayyit), dalam bab ini Imam Muslim mencantum beberapa hadits lainnya yang redaksinya mirip ; Mustakhraj Abi ‘Awanah no. 4701.

[2] Lihat ; Syarah Shahih Muslim [3/444] Imam Nawawi

[3] Lihat ; Syarah Shahih Muslim [1/89-90] ;
 
=================================================

||| QIRA'ATUL QUR'AN UNTUK ORANG MATI |||

Dalam membahas masalah ini, memang ada perselisihan dalam madzhab Syafi’i yang mana ada dua qaul (pendapat) yang seolah-olah bertentangan, namun kalau dirincikan maka akan nampak tidak ada bedanya. Sedangkan Imam Tiga (Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal) [1] berpendapat bahwa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada orang mati. Apa yang telah dituturkan oleh para Imam syafi’iyah yakni berupa petunjuk-petunjuk atau aturan dalam permasalahan ini telah benar-benar diamalkan dengan baik dalam kegiatan tahlilan.

Perlu diketahui, bahwa seandainya pun ada perselisihan dikalangan syafi’iyah dalam masalah seperti ini, maka itu hanyalah hal biasa yang sering terjadi ketika mengistinbath sebuah hukum diantara para mujtahid dan bukanlah sarana untuk berpecah belah sesama kaum Muslimin, dan tidak pula pengikut syafi’iyah berpecah belah hanya karena hal itu, tidak ada kamus yang demikian sekalipun ‘ulama berbeda pendapat, semua harus disikapi dengan bijak. Akan tetapi, sebagian pengingkar tahlilan selalu menggembar-gemborkan adanya perselisihan ini (masalah furu’), mereka mempermasalahkan yang tidak terlalu dipermasalahkan oleh syafi’iyah dan mereka mencoba memecah belah persatuan umat Islam terutama Syafi’iyah, dan ini tindakan yang terlarang (haram) dalam syariat Islam. Mereka juga telah menebar permusuhan dan melemparkan banyak tuduhan-tuduhan bathil terhadap sesama muslim, seolah-olah itu telah menjadi “amal dan dzikir” mereka sehari-hari, tiada hari tanpa menyakiti umat Islam. Na’udzubillah min dzalik. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam sangat benci terhadap mereka yang suka menyakiti sesama muslimin. Berikut diantara qaul-qaul didalam madzhab Syafi’iyah yang sering dipermasalahkan : Imam an-Nawawi menyebut didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim :

والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها ، وقال جماعة من أصحابنا : يصله ثوابها ، وبه قال أحمد بن حنبل

“Dan yang masyhur didalam madzhab kami (syafi’iyah) bahwa bacaan al-Qur’an pahalanya tidak sampai kepada mayyit, sedangkan jama’ah dari ulama kami (Syafi’iyah) mengatakan pahalanya sampai, dengan ini Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat”. [2]

Dihalaman lainnya beliau juga menyebutkan :

وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها إلى الميت وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إلى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن بن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار إلى اختيار هذا، وقال الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من طعام طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل بالاجماع

“Adapun pembacaan al-Qur’an, yang masyhur dari madzhab asy-Syafi’i pahalanya tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashabusy syafi’i (‘ulama syafi’iyah) mengatakan pahalanya sampai kepada mayyit, dan pendapat kelompok-kelompok ulama juga mengatakan sampainya pahala seluruh ibadah seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan selain yang demikian, didalam kitab Shahih al-Bukhari pada bab orang yang meninggal yang memiliki tanggungan nadzar, sesungguhnya Ibnu ‘Umar memerintahkan kepada seseorang yang ibunya wafat sedangkan masih memiliki tanggungan shalat supaya melakukan shalat atas ibunya, dan diceritakan oleh pengarang kitab al-Hawi dari ‘Atha’ bin Abu Ribah dan Ishaq bin Ruwaihah bahwa keduanya mengatakan kebolehan shalat dari mayyit (pahalanya untuk mayyit). Asy-Syaikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad Hibbatullah bin Abu ‘Ishrun dari kalangan syafi’iyyah mutaakhhirin (pada masa Imam an-Nawawi) didalam kitabnya al-Intishar ilaa ikhtiyar adalah seperti pembahasan ini. Imam al-Mufassir Muhammad al-Baghawiy dari anshabus syafi’i didalam kitab at-Tahdzib berkata ; tidak jauh (tidaklah melenceng) agar memberikan makanan dari setiap shalat sebanyak satu mud, dan setiap hal ini izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah qiyas atas do’a, shadaqah dan haji, sesungguhnya itu sampai berdasarkan ijma’.” [3]

Juga dalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab :

واختلف العلماء في وصول ثواب قراءة القرآن، فالمشهور من مذهب الشافعي وجماعة أنه لا يصل. وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل، والمختار أن يقول بعد القراءة: اللهم أوصل ثواب ما قرأته، والله أعلم اه

“’Ulama’ berikhtilaf (berselisih pendapat) terkait sampainya pahala bacaan al-Qur’an, maka yang masyhur dari madzhab asy-Syafi’i dan sekelompok ulama syafi’i berpendapat tidak sampai, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal, sekelompok ‘ulama serta sebagian sahabat sy-Syafi’i berpendapat sampai. Dan yang dipilih agar berdo’a setelah pembacaan al-Qur’an : “ya Allah sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang telah aku baca”, wallahu a’lam”.[4]

Imam Syamsuddin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini didalam Mughni :

تنبيه: كلام المصنف قد يفهم أنه لا ينفعه ثواب غير ذلك كالصلاة عنه قضاء أو غيرها، وقراءة القرآن، وها هو المشهور عندنا، ونقله المصنف في شرح مسلم والفتاوى عن الشافعي - رضي الله عنه - والأكثرين، واستثنى صاحب التلخيص من الصلاة ركعتي الطواف

“Tahbihun : perkataan mushannif sungguh telah dipahami bahwa tidak bermanfaat pahala selain itu (shadaqah) seperti shalat yang di qadha’ untuknya atau yang lainnya, pembacaan al-Qur’an, dan yang demikian itu adalah qaul masyhur disisi kami (syafi’iyah), mushannif telah menuqilnya didalam Syarhu Muslim dan al-Fatawa dari Imam asy-Syafi’i –radliyallahu ‘anh- dan kebanyak ulama, pengecualian shahiu Talkhis seperti shalat ketika thawaf ”.[5]

Imam al-Mufassir Ibnu Katsir asy-Syafi’i didalam penjelasan tafsir QS. An-Najm ayat 39 juga menyebutkan pendapat Imam asy-Syafi’i :

ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛

“Dan dari ayat ini, Imam asy-Syafi’i rahimahullah beristinbath (melakukan penggalian hukum), demikian juga orang yang mengikutinya bahwa bacaan al-Qur’an tidak sampai menghadiahkan pahalanya kepada mayyit”. [6]

Dari beberapa kutipan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam Madzhab Syafi’i ada dua pendapat yang seolah-olah berseberangan, yakni ;

Pendapat yang menyatakan pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai, ini pendapat Imam asy-Syafi’i, sebagian pengikutnya ; kemudian ini di istilahkan oleh Imam an-Nawawi (dan ‘ulama lainnya) sebagai pendapat masyhur (qaul masyhur).

Pendapat yang menyatakan sampainya pahala bacaan al-Qur’an, ini pendapat ba’dlu ashhabis Syafi’i (sebagian ‘ulama Syafi’iyah) ; kemudian ini di istilahkan oleh Imam an-Nawawi (dan ulama lainnya) sebagai pendapat/qaul mukhtar (pendapat yang dipilih/ dipegang sebagai fatwa Madzhab dan lebih kuat), pendapat ini juga dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan imam-imam lainnya.
 

CATATAN KAKI :

[1] Lihat : Mughni Muhtaj lil-Imam al-Khatib as-Sarbini [4/110] ;

وحكى المصنف في شرح مسلم والأذكار وجها أن ثواب القراءة يصل إلى الميت كمذهب الأئمة الثلاثة، واختاره جماعة من الأصحاب منهم ابن الصلاح، والمحب الطبري، وابن أبي الدم، وصاحب الذخائر، وابن أبي عصرون، وعليه عمل الناس، وما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن، وقال السبكي: والذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت وتخفيف ما هو فيه نفعه، إذ ثبت أن الفاتحة لما قصد بها القارئ نفع الملدوغ نفعته، وأقره النبي - صلى الله عليه وسلم - بقوله: «وما يدريك أنها رقية» وإذا نفعت الحي بالقصد كان نفع الميت بها أولى اهـ.

“dan diceritakan oleh mushannif didalam Syarh Muslim dan al-Adzkar tentang suatu pendapat bahawa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayyit, seperti madzhab Imam Tiga (Abu Hanifah, Maliki dan Ahmad bin Hanbal), dan sekelompok jama’ah dari al-Ashhab (ulama Syafi’iyyah) telah memilih pendapat ini, diantaranya seperti Ibnu Shalah, al-Muhib ath-Thabari, Ibnu Abid Dam, shahib ad-Dakhair juga Ibnu ‘Abi Ishruun, dan umat Islam beramal dengan hal tersebut, apa yang oleh kaum Muslimin di pandang baik maka itu baik disisi Allah. Imam As-Subki berkata : dan yang menujukkan atas hal tersebut adalah khabar (hadits) berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila di tujukan (diniatkan) pembacaannya niscaya memberikan manfaat kepada mayyit dan meringankan (siksa) dengan kemanfaatannya. Apabila telah tsabit bahwa surah al-Fatihah ketika di tujukan (diniatkan) manfaatnya oleh si pembaca bisa bermanfaat bagi orang yang terkena sengatan, sedangkan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam taqrir atas kejadian tersebut dengan bersabda : “Dari mana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah adalah ruqiyyah ?”, jika bermanfaat bagi orang hidup dengan mengqashadkannya (meniatkannya) maka kemanfaatan bagi mayyit dengan hal tersebut lebih utama. Selesai”.

I’anathuth Thalibin lil-Imam al-Bakri Syatha ad-Dimyathi [3/258] ;

وحكى المصنف في شرح مسلم والأذكار وجها أن ثواب القراءة يصل إلى الميت، كمذهب الأئمة الثلاثة، واختاره جماعة من الأصحاب، منهم ابن الصلاح، والمحب الطبري، وابن أبي الدم، وصاحب الذخائر، وابن أبي عصرون وعليه عمل الناس وما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وقال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت وتخفيف ما هو فيه، نفعه، إذ ثبت أن الفاتحة لما قصد بها القارئ نفع الملدوغ نفعته، وأقره النبي - صلى الله عليه وسلم - بقوله: وما يدريك أنها رقية؟ وإذا نفعت الحي بالقصد كان نفع الميت بها أولى اه (قوله: لا يصل ثوابها إلى الميت) ضعيف (وقوله: وقال بعض أصحابنا يصل) معتمد

“...... (frasa, pahala bacaaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit) merupakan qaul yang lemah (frasa ; dan sebagian ashhab kami –syafi’iyyah- mengatakan sampai pahalanya kepada mayyit ) merupakan qaul yang kuat atau mukmatad”.

Tuhfatul Habib (Hasyiyah al-Bujairami) [2/302] :

وقد نقل الحافظ السيوطي أن جمهور السلف والأئمة الثلاثة على وصول ثواب القراءة للميت

“dan sungguh al-Hafidz As-Suyuthi telah menaqal bahwa Jumhur Salafush Shaleh dan Aimmatuts Tsalatsah (Imam Tiga : Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal) menyatakan sampainya pahala bacaan al-Qur’an untuk mayyit”.

[2] Lihat : Syarah Shahih Muslim [7/90].

[3] Lihat : Syarah Shahih Muslim [1/90].

[4] Lihat : al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [15/522] ; al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi hal. 165.

[5] Lihat : Mughni Muhtaj lil-Imam Syamsuddin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini (4/110).

[6] Lihat : Tafsirul Qur’an al-‘Adzim lil-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i [7/431].

================================================

||| PERMASALAHAN QAUL MASYHUR DALAM MADZHAB IMAM ASY-SYAFI'I |||

Pernyataan qaul masyhur bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada orang mati adalah tidak mutlak, itu karena ada qaul lain dari Imam asy-Syafi’i sendiri yang menyatakan sebaliknya. Yakni berhubungan dengan kondisi dan hal-hal tertentu, seperti perkataan beliau Imam Syafi’i :

قال الشافعى : وأحب لو قرئ عند القبر ودعى للميت

“asy-Syafi’i berkata : aku menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an disamping qubur dan dibacakan do’a untuk mayyit” [1]

Juga disebutkan oleh al-Imam al-Mawardi, al-Imam an-Nawawi, al-Imam Ibnu ‘Allan dan yang lainnya dalam kitab masing-masing yang redaksinya sebagai berikut :

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمهُ اللَّه: ويُسْتَحَبُّ أنْ يُقرَأَ عِنْدَهُ شيءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإن خَتَمُوا القُرآن عِنْدهُ كانَ حَسناً

“Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : disunnahkan agar membaca sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya, dan apabila mereka mengkhatamkan al-Qur’a disisi quburnya maka itu bagus” [2]

Kemudian hal ini dijelaskan oleh ‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam dalam Fathul Wahab :

أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض

“Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam an-Nawawi mengatakan didalam Syarh Muslim, yakni masyhur dari madzhab asy-Syafi’i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashhab kami menyatakan sampai, dan kelompok-kelompok ‘ulama berpendapat bahwa sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”. [3]

Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa:

وكلام الشافعي - رضي الله عنه - هذا تأييد للمتأخرين في حملهم مشهور المذهب على ما إذا لم يكن بحضرة الميت أو لم يدع عقبه

“dan perkataan Imam asy-Syafi’i ini (bacaan al-Qur’an disamping mayyit/kuburan) memperkuat pernyataan ulama-ulama Mutaakhkhirin dalam membawa pendapat masyhur diatas pengertian apabila tidak dihadapan mayyit atau apabila tidak mengiringinya dengan do’a”. [4]

Lagi, dalam Tuhfatul Muhtaj :

قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع له

“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit”.[5]

Oleh karena itu Syaikh Sulaiman al-Jumal didalam Futuuhat al-Wahab (Hasyiyatul Jumal) mengatakan pula sebagai berikut :

والتحقيق أن القراءة تنفع الميت بشرط واحد من ثلاثة أمور إما حضوره عنده أو قصده له، ولو مع بعد أو دعاؤه له، ولو مع بعد أيضا اه

“dan tahqiq bahwa bacaan al-Qur’an memberikan manfaat bagi mayyit dengan memenuhi salah satu syarat dari 3 syarat yakni apabila dibacakan dihadapan (disisi) orang mati, atau apabila di qashadkan (diniatkan/ditujukan) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh, atau mendo’akan (bacaaannya) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh juga. Intahaa”.[6]

فرع : ثواب القراءة للقارئ ويحصل مثله أيضا للميت لكن إن كانت بحضرته، أو بنيته أو يجعل ثوابها له بعد فراغها على المعتمد في ذلك .... (قوله: أما القراءة إلخ) قال م ر: ويصل ثواب القراءة إذا وجد واحد من ثلاثة أمور؛ القراءة عند قبره والدعاء له عقبها ونيته حصول الثواب له

“(Cabang) pahala bacaan al-Qur’an adalah bagi si pembaca dan pahalanya itu juga bisa sampai kepada mayyit apabila dibaca dihadapan orang mati, atau meniatkannya, atau menjadikan pahalanya untuk orang mati setelah selesai membaca menurut pendapat yang kuat (muktamad) tentang hal itu,.... Frasa (adapun pembacaan al-Qur’an –sampai akhir-), Imam Ramli berkata : pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayyit apabila telah ada salah satu dari 3 hal : membaca disamping quburnya, mendo’akan untuknya mengiringi pembacaan al-Qur’an dan meniatkan pahalanya sampai kepada orang mati.”[7]

Imam an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullah:

 فالاختيار أن يقول القارئ بعد فراغه: اللهمّ أوصلْ ثوابَ ما قرأته إلى فلانٍ؛ والله أعلم

“Dan yang dipilih (qaul mukhtar) agar berdo’a setelah pembacaan al-Qur’an : “ya Allah sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang telah aku baca”, wallahu a’lam”.[8]

والمختار الوصول إذا سأل الله أيصال ثواب قراءته، وينبغى الجزم به لانه دعاء، فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعى، فلان يجوز بما هو له أولى، ويبقى الامر فيه موقوفا على استجابة الدعاء، وهذا المعنى لا يخص بالقراء بل يجرى في سائر الاعمال، والظاهر أن الدعاء متفق عليه انه ينفع الميت والحى القريب والبعيد بوصية وغيرها

“dan pendapat yang dipilih (qaul mukhtar) adalah sampai, apabila memohon kepada Allah menyampaikan pahala bacaannya, dan selayaknya melanggengkan dengan hal ini karena sesungguhnya ini do’a, sebab apabila boleh berdo’a untuk orang mati dengan perkara yang bukan bagi yang berdo’a, maka kebolehan dengan hal itu bagi mayyit lebih utama, dan makna pengertian semacam ini tidak hanya khusus pada pembacaan al-Qur’an saja saja, bahkan juga pada seluruh amal-amal lainnya, dan faktanya do’a, ulama telah sepakat bahwa itu bermanfaat bagi orang mati maupun orang hidup, baik dekat maupun jauh, baik dengan wasiat atau tanpa wasiat”. [9]

Al-Imam al-Bujairami didalam Tuhfatul Habib :

قوله: (لأن الدعاء ينفع الميت) والحاصل أنه إذا نوى ثواب قراءة له أو دعا عقبها بحصول ثوابها له أو قرأ عند قبره حصل له مثل ثواب قراءته وحصل للقارئ أيضا الثواب

“Frasa : (karena sesungguhnya do’a bermanfaat bagi mayyit), walhasil sesungguhnya apabila pahala bacaan al-Qur’an diniatkan untuk mayyit atau di do’akan menyampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit mengiringi bacaan al-Qur’an atau membaca al-Qur’an disamping qubur niscaya sampai pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit dan bagi si qari (pembaca) juga mendapatkan pahala”. [10]

Al-‘Allamah Muhammad az-Zuhri didalam As-Siraaj :

وتنفع الميت صدقة عنه ووقف مثلا ودعاء من وارث وأجنبي كما ينفعه ما فعله من ذلك في حياته ولا ينفعه غير ذلك من صلاة وقراءة ولكن المتأخرون على نفع قراءة القرآن وينبغي أن يقول اللهم أوصل ثواب ما قرأناه لفلان بل هذا لا يختص بالقراءة فكل أعمال الخير يجوز أن يسأل الله أن يجعل مثل ثوابها للميت فان المتصدق عن الميت لا ينقص من أجره شيء

“Bermanfaat bagi mayyit yakni shadaqah mengatas namakan mayyit, misalnya waqaf, dan (juga bermanfaat bagi mayyit yakni) do’a dari ahli warisnya dan orang lain, sebagaimana bermanfaatnya perkara yang dikerjakannya pada masa hidupnya, namun yang lainnya tidak memberikan manfaat seperti shalat dan membaca al-Qur’an, akan tetapi ulama mutakhkhirin menetapkan atas bermanfaatnya pembacaan al-Qur’an, oleh karena itu sepatutnya berdo’a : “ya Allah sampaikanlah pahala apa yang telah kami baca kepada Fulan”, bahkan hal semacam ini tidak hanya khusus pembacaan al-Qur’an saja tetapi seluruh amal-amal kebajikan lainnya juga boleh dengan cara memohon kepada Allah agar menjadikan pahalanya untuk mayyit, dan sesuangguhnya orang yang bershadaqah mengatas namakan mayyit pahalanya tidak dikurangi”. .[11]

Dari beberapa keterangan ulama-ulama Syafi’iyah diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaul masyhur pun sebenarnya menyatakan sampai apabila al-Qur’an dibaca hadapan mayyit termasuk membaca disamping qubur, [12] juga sampai apabila meniatkan pahalanya untuk orang mati yakni pahalanya ditujukan untuk orang mati, dan juga sampai apabila mendo’akan bacaan al-Qur’an yang telah dibaca agar disampaikan kepada orang yang mati.
 

CATATAN KAKI :

[1] Lihat : Ma’rifatus Sunani wal Atsar [7743] lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi.

[2] Lihat : Riyadlush Shalihin [1/295] lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/426] li-Imam Ibnu 'Allan ; al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i (Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya.

[3] Lihat : Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i [2/23].

[4] Lihat : al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [2/27].

[5] Lihat : Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].

[6] Lihat : Futuhaat al-Wahab li-Syaikh Sulailman al-Jamal [2/210].

[7] Lihat : Ibid [4/67] ;

[8] Lihat : al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [293]

[9] Lihat : al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [15/522].

[10] Lihat : Tuhfatul Habib (Hasyiyah al-Bujairami alaa al-Khatib) [2/303]

[11] Lihat : as-Sirajul Wahaj ‘alaa Matni al-Minhaj lil-‘Allamah Muhammad az-Zuhri [1/344]

[12] Banyak komentar dan anjuran ulama Syafi’iyyah tentang membaca al-Qur’an di quburan untuk mayyit, sebagaimana yang sebagiannya telah disebutkan termasuk oleh al-Imam Syafi’i sendiri. Adapun berikut diantara komentar lainnya, yang juga berasal dari ulama Syafi’iyyah diantara lain : al-Imam Ar-Rafi’i didalam Fathul ‘Aziz bisyarhi al-Wajiz [5/249]  

والسنة ان يقول الزائر سلام عليكم دار قوم مؤمنين وانا ان شاء الله عن قريب بكم لاحقون اللهم لا تحرمنا أجرهم ولا تفتنا بعدهم وينبغي أن يدنو الزائر من القبر المزور بقدر ما يدنو من صاحبه لو كان حيا وزاره وسئل القاضى أبو الطيب عن ختم القرآن في المقابر فقال الثواب للقارئ ويكون الميت كالحاضرين يرجى له الرحمة والبركة فيستحب قراءة القرآن في المقابر لهذا المعني وأيضا فالدعاء عقيب القراءة أقرب الي الاجابة والدعاء ينفع الميت

“dan sunnah agar peziarah mengucapkan : “Salamun ‘Alaykum dara qaumi Mukminiin wa Innaa InsyaAllahu ‘an qariibi bikum laa hiquun Allahumma laa tahrimnaa ajrahum wa laa taftinnaa ba’dahum”, dan sepatutnya zair (peziarah) mendekat ke kubur yang diziarahi seperti dekat kepada sahabatnya ketika masih hidup ketika mengunjunginya, al-Qadli Abu ath-Thayyib ditanya tentang mengkhatamkan al-Qur’an dipekuburan maka beliau menjawab ; ada pahala bagi pembacanya, sedangkan mayyit seperti orang yang hadir yang diharapkan mendapatkan rahmat dan berkah baginya, Maka disunnahkan membaca al-Qur’an di pequburan berdasarkan pengertian ini (yaitu mayyit bisa mendapatkan rahmat dan berkah dari pembacaan al-Qur’an) dan juga berdo’a mengiringi bacaan al-Qur’an niscaya lebih dekat untuk diterima sebab do’a bermanfaat bagi mayyit”.

Al-Imam Ar-Ramli didalam Nihayatul Muhtaj ilaa syarhi al-Minhaj [3/36] :

ويقرأ ويدعو) عقب قراءته، والدعاء ينفع الميت وهو عقب القراءة أقرب للإجابة

“dan (disunnahkan ketika ziarah) membaca al-Qur’an dan berdo’a mengiri pembacaan al-Qur’an, sedangkan do’a bermanfaat bagi mayyit, dan do’a mengiringi bacaan al-Qur’an lebih dekat di ijabah”

Al-‘Allamah Syaikh Zainuddin bin ‘Abdil ‘Aziz al-Malibari didalam Fathul Mu’in [hal. 229] :

ويسن كما نص عليه أن يقرأ من القرآن ما تيسر على القبر فيدعو له مستقبلا للقبلة

“disunnahkan –sebagaimana nas (hadits) yang menerangkan tentang hal itu- agar membaca apa yang dirasa mudah dari al-Qur’an diatas qubur, kemudian berdo’a untuk mayyit menghadap ke qiblat”

Imam Ahmad Salamah al-Qalyubiy didalam Hasyiyatani Qalyubi wa ‘Umairah pada pembahasan terkait ziarah qubur :

قوله: (ويقرأ) أي شيئا من القرآن ويهدي ثوابه للميت وحده أو مع أهل الجبانة، ومما ورد عن السلف أنه من قرأ سورة الإخلاص إحدى عشرة مرة، وأهدى ثوابها إلى الجبانة غفر له ذنوب بعدد الموتى فيها

“frasa (dan –disunnahkan- membaca al-Qur’an) yakni sesuatu yang mudah dari al-Qur’an, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada satu mayyit atau bersamaan ahl qubur lainnya, dan diantara yang telah warid dari salafush shalih adalah bahwa barangsiapa yang membaca surah al-Ikhlas 11 kali, dan menghadiahkan pahalanya kepada ahl qubur maka diampuni dosanya sebanyak orang yang mati dipekuburan itu”.

Syaikh Mushthafa al-Buhgha dan Syaikh Mushthafaa al-Khin didalam al-Fiqhul Manhaji ‘alaa Madzhab al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah [juz I, hal. 184] :

من آداب زيارة القبور: إذا دخل الزائر المقبرة، ندب له أن يسلم على الموتى قائلاً: " السلام عليكم دار قوم مؤمنين، وإنا إن شاء الله بكم لاحقون. وليقرأ عندهم ما تيسر من القرآن، فإن الرحمة تنزل حيث يُقرأ القرآن،ثم ليدع لهم عقب القراءة، وليهدِ مثل ثواب تلاوته لأرواحهم، فإن الدعاء مرجو الإِجابة، وإذا استجيب الدعاء استفاد الميت من ثواب القراءة. والله اعلم.

“Diantara adab ziarah qubur : apabila seorang peziarah masuk area pekuburan, disunnahkan baginya mengucapkan salam kepada orang yang mati dengan ucapan : Assalamu ‘alaykum dara qaumin mukminiin wa innaa InsyaAllahu bikum laa hiquun”, kemudian disunnahkan supaya membaca apa yang mudah dari al-Qur’an disisi qubur mereka, sebab sesungguhnya rahmat akan diturunkan ketika dibacakan al-Qur’an, kemudian disunnahkan supaya mendo’akan mereka mengiringi bacaan al-Qur’an, dan menghadiahkan pahala tilawahnya untuk arwah mereka, sebab sesungguhnya do’a diharapkan di ijabah, apabila do’a dikabulkan maka pahala bacaan al-Qur’an akan memberikan manfaat kepada mayyit , wallahu ‘alam.”

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali didalam kitab monumentalnya yaitu Ihyaa’ ‘Ulumuddin [4/492] :

ولا بأس بقراءة القرآن على القبور

“tidak apa-apa dengan membaca al-Qur’an diatas qubur”

================================================

 ||| HILANGNYA PERSELISIHAN DAN PENERAPAN DALAM TAHLILAN |||

Setelah memahami maksud dari qaul masyhur maka marilah ketahui tentang keluasan ilmu dan kebijaksaan ‘ulama yang telah merangkai tahlilan. Yakni bahwa didalam tahlilan sudah tidak ada lagi perselisihan mengenai membaca al-Qur’an untuk orang mati. Sebab semua dzikir yang dibaca, shalawat hingga pembacaan al-Qur’an dalam rangkaian tahlilan ; seluruhnya diniatkan untuk orang yang meninggal dunia yakni pada permulaan tahlilan. Sedangkan diakhir rangkaian tahlilan adalah ditutup dengan do’a yang berisi pemohonan ampun untuk yang meninggal, doa-doa yang lainnya serta do’a agar pahala bacaannya disampaikan kepada mayyit, sedangkan do’a sendiri memberikan bermanfaat bagi mayyit. Jika sudah seperti ini, tidak ada khilaf (perselisihan) lagi. Sungguh sangat bijaksana.

Lebih jauh lagi, ulama bahkan mengatakan membacakan al-Qur’an kepada orang mati telah menjadi Ijma’ sebab tidak ada yang mengingkarinya. Sebagaimana yang disebutkan oleh al-Imam al-Hafidz Jalalauddin As-Suyuthi didalam Syarh Ash-Shuduur : [1]

إختلف في وصول ثواب القراءة للميت فجمهور السلف والأئمة الثلاثة على الوصول وخالف في ذلك إمامنا الشافعي مستدلا بقوله تعالى {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} وأجاب الأولون عن الآية بأوجه. أحدها أنها منسوخة بقوله تعالى {والذين آمنوا واتبعتهم ذريتهم} الآية أدخل الأبناء الجنة بصلاح الآباء. الثاني أنها خاصة بقوم إبراهيم وقوم موسى عليه السلام فأما هذه الأمة فلها ما سعت وما سعي لها قال عكرمة . الثالث أن المراد بالإنسان هنا الكافر فأما المؤمن فله ما سعى وما سعي له قاله الربيع بن أنس الرابع ليس للإنسان إلا ما سعى من طريق العدل فأما من باب الفضل فجائز أن يزيده الله تعالى ما شاء قاله الحسين بن الفضل. الخامس أن اللام في {للإنسان} بمعنى على أي ليس على الإنسان إلا ما سعى. واستدلوا على الوصول بالقياس على ما تقدم من الدعاء والصدقة والصوم والحج والعتق فإنه لا فرق في نقل الثواب بين أن يكون عن حج أو صدقة أو وقف أو دعاء أو قراءة وبالأحاديث الآتي ذكرها وهي وإن كانت ضعيفة فمجموعها يدل على أن لذلك أصلا وبأن المسلمين ما زالوا في كل عصر يجتمعون ويقرؤون لموتاهم من غير نكير فكان ذلك إجماعا ذكر ذلك كله الحافظ شمس الدين بن عبد الواحد المقدسي الحنبلي في جزء ألفه في المسألة. قال القرطبي وقد كان الشيخ عز الدين بن عبد السلام يفتي بأنه لا يصل إلى الميت ثواب ما يقرأ له فلما توفي رآه بعض أصحابه فقال له إنك كنت تقول إنه لا يصل إلى الميت ثواب ما يقرأ ويهدى إليه فكيف الأمر قال له كنت أقول ذلك في دار الدنيا والآن فقد رجعت عنه لما رأيت من كرم الله في ذلك وأنه يصل إليه ثواب ذلك وأما القراءة على القبر فجزم بمشروعيتها أصحابنا وغيرهم وقال الزعفراني سألت الشافعي رحمه الله عن القراءة عند القبر فقال لا بأس به وقال النووي رحمه الله في شرح المهذب يستحب لزائر القبور أن يقرأ ما تيسر من القرآن ويدعو لهم عقبها نص عليه الشافعي واتفق عليه الأصحاب وزاد في موضع آخر وإن ختموا القرآن على القبر كان أفضل وكان الإمام أحمد بن حنبل ينكر ذلك أولا حيث لم يبلغه فيه أثر ثم رجع حين بلغه ومن الوارد في ذلك ما تقدم في باب ما يقال عند الدفن من حديث إبن العلاء بن اللجلاج مرفوعا كلاهما

“Ulama berselisih tentang sampainya pahala bacaan al-Qur’an untuk orang mati. Pendapat jumhur Salafush shaleh dan Imam tiga (Abu Hanifah, Malik, Ahmad) menyatakan sampai, sedangkan Ima

“Ulama berselisih tentang sampainya pahala bacaan al-Qur’an untuk orang mati. Pendapat jumhur Salafush shaleh dan Imam tiga (Abu Hanifah, Malik, Ahmad) menyatakan sampai, sedangkan Imam kami yakni Imam Syafi’i menyelisihi yang demikian, beliau beristidlal dengan firman Allah Ta’alaa : 

وَأَن لَيْسَ للْإنْسَان إِلَّا مَا سعى

“dan tiada bagi manusia kecuali apa yang di usahakan” (QS. an-Najm : 39)

Aku mengawali jawaban tentang ayat ini dengan berbagai sudut pandangan jawaban : Pertama, ayat tersebut manshukh (hukumnya dihapus) dengan firman Allah Ta’alaa :

وَالَّذين آمنُوا وَاتَّبَعتهمْ ذُرِّيتهمْ

“dan orang-orang yang beriman, kami hubungkan mereka dengan keturunan-keturunan mereka”

Berdasarkan ayat tersebut, anak-anak masuk surga karena keshalihan (kebajikan) ayah-ayahnya.

Kedua, ayat tersebut hanya khusus qaum Nabi Ibrahim ‘alayhis salaam dan Nabi Musaa ‘alayhis salaam, adapun umat ini maka baginya apa yang diusahakan dan apa yang diusahakan (orang lain) untuknya. ‘Ikrimah telah menuturkan hal ini.

Ketiga, bahwa yang dimaksud dengan manusia (al-Insaan) pada ayat tersebut dalah orang kafir, (maksudnya adalah “tiada bagi orang kafir, kecuali apa yag diusahakan”, ket), sedangkan orang-orang beriman, maka baginya apa yang diusahakannya dan apa yang diusahakan orang lain untuknya. Ini qaul Ar-Rabi’ bin Anas.

Keempat, tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan seperti dari segi keadilan, adapun terkait keutamaan (fadlilah) maka jaiz bagi Allah Ta’alaa menambahkan apa yang dikehendaki. Ini qaul al-Husain bin al-Fadll.

Kelima, huruf Lam (ل) pada ladzhaf {lil-Insaan} bermakna ‘alaa (على) maksudnya tiada atas manusia kecuali apa yang diusahakan.

Dan para ulama beristidllal atas sampainya (bacaan al-Qur’an) dengan Qiyas terhadap perkara sebelumnya seperti do’a, shadaqah, puasa, haji dan membebaskan budak, maka tidak ada perbedaan terkait perpindahan pahala antara haji, shadaqah, waqaf, do’a dan membaca al-Qur’an, dan berdasarkan hadits-hadits sebelumnya yang telah disebutkan, dimana jikalau kedudukan haditsnya memang dlaif, namun pengumpulannya (banyak dihimpunnya hadits tersebut) itu menunjukkan bahwa yang demikian merupakan pokok (al-Ashl) dan bahwa kaum Muslimin tidak pernah meninggalkan amalan tersebut disepanjang masa , mereka berkumpul, mereka membaca al-Qur’an untuk orang-orang mati diantara mereka tanpa ada yang mengingkari, maka jadilah itu sebagai Ijma’, semua itu telah dituturkan oleh al-Hafidz Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi al-Hanbali pada sebagian dari beberapa masalah.”

Imam al-Qurthubi berkata : Syaikh ‘Izzuddin bin Abdis Salam berfatwa bahwa bacaan al-Qur’an untuk mayyit tidak sampai kepada mayyit, maka tatkala beliau wafat, sebagian shahabat-shahabatnya (bermimpi) melihatnya, kemudian berkata : “sesungguhnya engkau pernah mengatakan bahwa pahala apa yang dibaca (bacaan al-Qur’an) tidak sampai kepada mayyit walaupun menghadiahkannya, bagaimanakah masalah tersebut ?” kemudian ia menjawab : aku memang mengatakan demikian ketika di dunia, dan sekarang sungguh aku telah ruju’ darinya tatkala aku melihat karamah Allah tentang hal tersebut, dan sesungguhnya yang demikian itu sampai kepada mayyit.

Adapun membaca al-Qur’an di atas qubur. Ashhabunaa (ulama-ulama syafi’iyah kami) serta yang lainnya telah menetapkan disyariatkannya hal tersebut.

Imam Az-Za’farani berkata : aku pernah bertanya kepada Imam asy-Syafi’i rahimahullah tentang pembacaan al-Qur’an diatas qubur, lalu beliau menjawab : “tidak apa-apa dengan yang demikian”.

al-Imam an-Nawawi rahimahullah didalam Syarhul Muhadzdzab berkata : disunnahkan bagi peziarah qubur agar membaca apa yang dirasa mudah dari al-Qur’an dan berdo’a untuk mereka mengiringi bacaan al-Qur’an, nas atasnya oleh asy-Syafi’i dan Ashhabusy Syafi’i telah menyepakatinya, dan ditempat lain ditambahkan yakni jika mereka mengkhatamkan al-Qur’an diatas qubur maka itu lebih afdlal (utama).

al-Imam Ahmad bin Hanbal awalnya mengingkari yang demikian (membaca al-Qur’an diatas qubur) ketika belum sampai atsar terkait hal itu kepada beliau, namun kemudian beliau ruju’ ketika atsar terkait hal tersebut sampai kepadanya,[2] dan diantara yang warid tentang yang demikian yakni apa yang telah berlalu pada sebuah Bab Maa Yuqaal ‘Inda ad-Dafni dari hadits Ibnu al-‘Alaa’ bin al-Lajlaj secara marfu’ pada kalam keduanya.”

CATATAN KAKI :

[1] Lihat : Syarhush Shuduur bi-Ahwaalil Mawtaa wal Qubuur [1/302-303], karya al-Imam al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi rahimahullah.

[2] Kronologis tentang Imam Ahmad bin Hanbal yang awalnya mengingkari kemudian meruju’ setelah sampai kepadanya sebuah atsar tentang yang demikian, ini banyak disebutkan dalam kitab-kitab Madzhab Hanbali seperti oleh pembesar Hanabilah al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisini didalam al-Mughni [2/422].

==================================================================================================

||| JAMUAN MAKAN PARA PERKUMPULAN KEGIATAN TAHLIL |||

Dalam kegiatan tahlilan, kadang terdapat hidangan dari tuan rumah baik ala kadarnya (makanan ringan) dan ada juga yang berupa jamuan makan. Namun, ada juga yang hanya berupa minuman saja. Apapun itu tidak menjadi masalah dalam tahlilan. Sebab itu bukan tujuan dari tahlilan, namun tuan rumah kadang memiliki motivasi tersendiri seperti dalam rangka menghormati tamu atau bermaksud untuk bershadaqah yang pahalanya dihadiahkan kepada anggota keluarganya yang meninggal dunia.

Ada hal yang sering di permasalahkan oleh para pengingkar terkait yang ada di dalam kegiatan tahlilan. Mereka mencari-cari “dalih” dalam kitab-kitab para imam untuk mengharamkan tahlilan, padahal tidak ada yang mengharamkannya.

Pada dasarnya bahasan ini bukan mengenai tahlilan secara keseluruhan, akan tetapi mengenai jamuan makan dari keluarga almarhum dan berkumpulnya manusia padanya setelah kematian. Jamuan makan adalah satu hal, dan tahlilan juga satu hal. Namun, karena jamuan makan juga ada pada kegiatan tahlilan maka pembahasannya pun terkait dengan tahlilan. Walaupun demikian, tidak bisa dikatakan jamuan makan adalah tahlilan atau tahlilan adalah jamuan makan, sebab memang bukan seperti itu. Orang yang melarang tahlilan dengan alasan adanya jamuan makan sebagaimana disebarkan oleh mereka yang benci tahlilan maka itu benar-benar telah keliru dan tidak merinci sebuah permasalahan dengan tepat.

Tahlilan hukumnya boleh, sedangkan unsur-unsur dalam tahlilan merupakan amaliyah-amaliyah masyru’ seperti berdo’a, membaca dzikir baik tasybih, tahmid, takbir, tahlil hingga shalawat, dan juga membaca al-Qur’an yang pahalanya untuk mayyit. Disamping itu juga terkait dengan hubungan sosial masyarakat yang dianjurkan dalam Islam yakni shilaturahim.

Adapun jamuan makan dalam kegiatan tahlilan (kenduri arwah) jika bukan karena tujuan untuk kebiasaan (menjalankan adat) dan tidak memaksakan diri jikalau tidak mampu serta bukan dengan harta yang terlarang. Maka, membuat dengan niat tarahhum (merahmati) mayyit dengan hati yang ikhlas serta dengan niat menghadiahkan pahalanya kepada mayyit (orang mati) maka itu mustahab (sunnah). Itu merupakan amalan yang baik karena tujuannya adalah demikian. Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :

إنما الأعمال بالنيات

“Sesungguh sesuatu perbuatan tergantung dengan niat” [1]

Juga sebuah qaidah menyatakan : 

الأمور بمقاصدها

“Suatu perkara tergantung pada tujuannya”. [2]

Serta, orang yang melakukannya dengan tujuan (niat) tersebut akan mendapatkan pahala, sebab telah shahih hadits dari Ibnu ‘Umar radliyallah ‘anh :

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً

“Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan, kemudian menjelakan yang demikian, maka barangsiapa yang berkeinginan melakukan kebaikan namun tidak sampai melakukannya niscaya Allah akan mencatatkan untuknya kebaikan yang sempurna, maka jika ia berkeinginan dengannya kemudian melakukannya niscaya Allah akan mencatatkan untuknya sepuluh macam kebaikan sampai 700 kali lipat kemudian hingga berlipat-lipat yang banyak ; barangsiapa yang berkeinginan melakukan keburukan namun ia tidak mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan untuknya kebaikan yang sempurna, namun jika ia mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan untuknya satu macam keburukan”. [3]

Dan juga telah tsabit didalam shahih al-Bakhari dari Abdullah bin ‘Umar bin al-‘Ash, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :

 أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ: «تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

“Ya Rasulullah apakah amal yang baik dalam Islam ? Nabi menjawab : “memberikan makan, mengucapkan salam kepada orang yang dikenal dan tidak dikenal” [4]

Lafadz “ith’am” pada hadits meliputi makan, minum, jamuan juga shadaqah dan yang lainnya, sebab lafadz tersebut umum. Dalam sebuah hadits dari Thawus radliyallahu ‘anh menyebutkan :

 ان الموت يفتنون فى قبورهم سبعا . فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام

“Sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam kubur mereka selama 7 hari, maka mereka menganjurkan untuk memberi jamuan makan yang pahalanya untuk mayyit selama masa 7 hari tersebut”. [5]

Imam al-Hafidz As-Suyuthi mengatakan bahwa lafadz “kanuu yustahibbuna”, memiliki makna kaum Muslimin (sahabat) yang hidup pada masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa salllam , sedangkan Nabi mengetahuinya dan taqrir atas hal itu. Namun, dikatakan juga sebatas berhenti pada pada sahabat saja dan tidak sampai pada Rasulullah. [6]

Berdasarkan hal diatas, maka memberikan makanan yang pahalanya untuk orang mati merupakan amalan yang memang dianjurkan. Adapun melakukannya setelah kematian juga tidak masalah selama diniatkan untuk menshadaqahkan dalam rangka merahmati mayyit.
 

CATATAN KAKI :

[1] Shahih al-Bukhari [1/9]

[2] Lihat : al-Asybah wa an-Nadlair lil-Imam Tajuddin Abdul Wahab As-Subki [1/54]

[3] Shahih al-Bukhari no. 6491 ; Shahih Muslim no. 131 ; Musnad Ahma no. 2827.

[4] Shahih al-Bukahri no. 12 ; Shahih Muslim no. 39 ; Sunan Abi Daud no. 5194 ; Sunan an-Nasaa’i no. 5000 ; Sunan Ibnu Majah no. 3253 ; al-Mu’jam al-Kabir lil-Thabraniy no. 149.

[5] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad didalam az-Zuhd dan Abu Nu’aim didalam al-Hilyah.

[6] Lihat : al-Hawi lil-Fatawi lil-Imam as-Suyuthi [2/377],
 
==================================================================================================

||| PENJELASAN TERKAIT HADITS KELUARGA JA'FAR |||

Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :

 اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا، فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ

“hidangkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, sebab sesungguhnya telah tiba kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”. [1]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah didalam al-Umm beristidlal dengan hadits diatas terkait anjuran memberi makan untuk keluarga almarhum :

وأحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت، وليلته طعاما يشبعهم فإن ذلك سنة، وذكر كريم، وهو من فعل أهل الخير قبلنا، وبعدنا لأنه لما «جاء نعي جعفر قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - اجعلوا لآل جعفر طعاما فإنه قد جاءهم أمر يشغلهم

“Aku mengajurkan bagi tetangga almarhum atau kerabat-kerabatnya agar membuatkan makanan pada hari kematian dan malamnya, sebab itu merupakan sunnah, dzikr yang mulya dan termasuk perbuatan ahlul khair sebelum kita serta sesudah kita”.[2]

Demikian juga dengan Imam Asy-Syairazi didalam al-Muhadzdzab :

فصل: ويستحب لأقرباء الميت وجيرانه أن يصلحوا لأهل الميت طعاماً لما روي أنه لما قتل جعفر بن أبي طالب كرم الله وجهه

“sebuah fashal, yakni disunnahkan bagi kerabat-kerabat almarhum dan tetangganya agar mengurusi keperluan makan untuk keluarga almarhum berdasarkan riwayat tentang wafatnya Ja’far bin Abi Thalib”. [3]

Berdasarkan hadits itu pula al-Imam an-Nawawi mengatakan :

ويستحب لا قرباء الميت وجيرانه أن يصلحوا لأهل الميت طعاما لما روى أنه لما قتل جعفر ابن أبي طالب رضي الله عنه قال النبي صلى الله عليه وسلم اصنعوا لآل جعفر طعاما فانه قد جاء هم أمر يشغلهم عنه

“disunnahkan bagi kerabat-kerabat mayyit dan tetangganya supaya mereka mengurusi keperluan makan keluarga mayyit, berdasarkan riwayat bahwa tatkala Ja’far bin Abi Thalib terbunuh, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “hidangkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, sebab sesungguhnya telah tiba kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”. [4]

Al-Imam al-Khathib asy-Syarbini didalam Mughni al-Muhtaj :

(و) يسن (لجيران أهله) ولأقاربه الأباعد وإن كان الأهل بغير بلد الميت (تهيئة طعام يشبعهم) أي أهله الأقارب (يومهم وليلتهم) لقوله - صلى الله عليه وسلم - «لما جاء خبر قتل جعفر: اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم» حسنه الترمذي وصححه الحاكم

“dan disunnahkan tetangga keluarga mayyit dan kerabat-kerabatnya yang jauh, walaupun berada didaerah negeri lainnya agar menyiapkan makanan yang mengenyangkan mereka pada siang dan malamnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam “ketika datang berita terbunuhnya Ja’far ; “hidangkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, sebab sesungguhnya telah tiba kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”, a-Turmidzi menghasankannya dan al-Hakim menshahihkannya.”[5]

Seperti ini juga komentar-komentar ulama Syafi’iyah lainnya. Namun, walaupun hadits tersebut merupakan anjuran memberi makan atau mengurusi keperluan makan untuk keluarga almarhum, namun bukan merupakan dalil larangan bagi keluarga almarhum membuat makanan dan mengundang masyarakat ke jamuan makan di keluarga almarhum. Terdapat hadits lain yang dianggap merupakan larangan berbuat hal seperti yang demikian, yakni
 
CATATAN KAKI :

[1] Sunan Abi Daud no. 3132 ; Sunan Ibnu Majah no. 1610, hadits ini dikatakan shahih.

[2] Lihat : al-Umm lil-Imam asy-Syafi’i [1/317]

[3] Lihat : al-Muhadzdzab fi Fiqhi al-Imam asy-Syafi’i lil-Imam Abu Ishaq asy-Syairazi [1/259].

[4] Lihat : al-Majmu Syarh al-Muhadzdab , Imam an-Nawawi [5/317]

[5] Lihat ; Mughni al-Muhtaj [2/61] lil-Imam al-Khathib asy-Syarbainy

==================================================================================================

||| PENJELASAN TERKAIT HADITS JARIR BIN ABDULLAH |||

كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ

“Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul ke (kediaman) keluarga almarhum serta (keluarga almarhum) menghidangkan makanan setelah pemakaman bagian dari niyahah”. [1]

Hadits terkait para sahabat ini banyak digunakan sebagai dalil yang menghukumi makruh bagi ahlul mayyit membuat makanan dan berkumpul dikediaman keluarga almarhum. Kalau ditela’aah lebih mendetail, sesungguhnya frasa “مِنَ النِّيَاحَةِ” adalah bermakna “min asbabin niyahah”, [2]yakni bagian dari sebab dikhawatirkannya akan terjadi niyahah. Oleh karena itu, bukanlah berkumpul dan membuat makanan yang disebut sebagai niyahah, sebab jikalau itu yang disebut niyahah maka ulama akan mengharamkannya, bukan malah hanya menghukumi makruh. Sebab niyahah ketika terjadi mushibah kematian hukumnya haram. Hal ini telah menjadi kesepakatan, sebagaimana yang dituturkan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah : ...
 

CATATAN KAKI :

[1] Musnad Ahmad bin Hanbal no. 6905. Niyahah adalah berteriak-teriak dan menangis dengan menyebut kebaikan-kebaikan mayyit ketika terjadi mushibah kematian.

[2] Lihat : Khulasah al-Mardhiyyah fi Masail al-Khilafiyyah
 
==================================================================================================

||| HARAMNYA NIYAHAH (MERATAP) DAN PENGERTIAN NIYAHAH |||
 

أجمعت الأمّةُ على تحريم النياحة، والدعاء بدعوى الجاهلية، والدعاء بالويل والثبور عند المصيبة‏‏

“Umat bersepakat atas haramnya niyahah, dan berdo’a dengan seruan orang jahiliyah serta do’a dengan kejelekan dan keburukan ketika terjadi mushibah”. [1]

Imam al-‘Imraniy didalam al-Bayan mengatakan :

ويحرم النوح على الميت، وشق الجيوب، ونشر الشعور، وخمش الوجوه

“dan haram meratap atas orang mati, merobek-robek saku baju, menjambak-jambak rambut dan mencoreng-coreng wajah”. [2]

al-Imam Ar-Rafi’i didalam Fathul ‘Aziz :

وكذا النياحة والجزع بضرب الخد وشق الثوب ونشر الشعر كل ذلك حرام

“demikian juga niyahah (meratap), mengeluh dengan memukul pipi, menyobek pakaian dan menjambak-jambak (mengacak-acak) rambut, semuaa itu haram”.

Adapun pengertian niyahah sendiri, sebagaimana yang Imam Nawawi sebutkan adalah :

واعلم أن النياحة‏ :‏ رفع الصوت بالندب، والندب‏:‏ تعديد النادبة بصوتها محاسن الميت، وقيل‏:‏ هو البكاء عليه مع تعديد محاسنه‏.‏ قال أصحابنا‏:‏ ويحرم رفع الصوت بإفراط في البكاء‏.‏ وأما البكاء على الميت من غير ندب ولا نياحة فليس بحرام

“Ketahuilah, sesungguhnya niyahah adalah menyaringkan suara dengan an-nadb, adapun an-Nadb sendiri adalah mengulang-ngulang meratapi dengan suara (atau menyebut berulang-ulang) tentang kebaikan mayyit. qiil (ulama juga ada yang mengatakan) bahwa niyahah adalah menangisi mayyit disertai menyebut-menyebut kebaikan mayyit”. Ashhab kami (ulama syafi’iyah kami) mengatakan : “haram menyaringkan suara dengan berlebih-lebihan dalam menangis”. Adapun menangisi mayyit tanpa menyebut-menyebut dan tanpa meratapinya maka itu tidak haram”.[3]

والنياحة رفع الصوت بالندب قال الشافعي والأصحاب البكاء على الميت جائز قبل الموت وبعده ولكن قبله أولى

“Niyahah adalah menyaringkan suara dengan an-nadb, al-Imam Asy-Syafi’i dan Ashhabusy Syafi’i (ulama syafi’iyah) mengatakan, menangisi orang mati boleh baik sebelum mati atau setelah mati, akan tetapi menangisi sebelum mati itu lebih utama”. [4]

Oleh karena itu, penetapan hukum bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh) karena bisa menjadi sebab adanya niyahah atau bisa membawa pada niyahah. Jika mengikuti kaidah ushul, inilah yang menjadi illat dihukuminya makruh (bid’ah makruhah). Namun, jika illatnya tidak ada maka hukumnya juga berubah. Maka pertanyaannya sekarang adalah : apakah tahlilan (kenduri arwah) yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan digagas oleh ulama besar seperti para wali Allah (wali songo) bersifat seperti itu ? Apakah tahlilan (kenduri arwah) mengarah pada niyahah atau menjadi sebab terjadinya niyahah ?! Tentu saja tidak akan terjadi pada kegiatan tahlil yang benar.
 

CATATAN KAKI :

[1] Lihat : al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [146].

[2] Lihat : al-Bayaan fiy Madzhab al-Imam asy-Syafi’i lil-Imam al-‘Imraniy []

[3] Lihat ; al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [147].

[4] Lihat : al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab [5/ 307] lil-Imam an-Nawawi.
 
==================================================================================================

||| KONTRA : PENJELASAN TERKAIT HADITS 'ASHIM BIN KULAIB |||

Lebih jauh, juga perlu di ingat bahwa dalam menghukumi sesuatu haruslah menyeluruh dan harus mempertimbangkan hadits-hadits lain yang saling terkait. Dalam hal ini, ada sebuah hadits lain yang shahih diriwayatkan oleh Abu Daud, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari sahabat Anshar, yang redaksinya sebagai berikut :

قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ: «أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ، أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ» ، فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ، ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ، فَأَكَلُوا، فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ، ثُمَّ قَالَ: «أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا» ، فَأَرْسَلَتِ الْمَرْأَةُ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً، فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدِ اشْتَرَى شَاةً، أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا، فَلَمْ يُوجَدْ، فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَطْعِمِيهِ الْأُسَارَى»

“Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada sebuah jenazah, maka aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berada diatas kubur berpesan kepada penggali kubur : “perluaskanlah olehmu dari bagian kakinya, dan juga luaskanlah pada bagian kepalanya”, Maka tatkala telah kembali dari kubur, seorang wanita (istri mayyit, red) mengundang (mengajak) Rasulullah, maka Rasulullah datang seraya didatangkan (disuguhkan) makanan yang diletakkan dihadapan Rasulullah, kemudian diletakkan juga pada sebuah perkumpulan (qaum/sahabat), kemudian dimakanlah oleh mereka. Maka ayah-ayah kami melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan dengan suapan, dan bersabda: “aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin pemiliknya”. Kemudian wanita itu berkata : “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mengutus ke Baqi’ untuk membeli kambing untukku, namun tidak menemukannya, maka aku mengutus kepada tetanggaku untuk membeli kambingnya kemudian agar di kirim kepadaku, namun ia tidak ada, maka aku mengutus kepada istinya (untuk membelinya) dan ia kirim kambing itu kepadaku, maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “berikanlah makanan ini untuk tawanan”. [1]

Hadits ini tentang Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam sendiri dan para sahabat beliau yang berkumpul dan makan di kediaman keluarga almarhum, yang berarti bahwa hadits ini menunjukkan atas kebolehan keluarga almarhum membuatkan makanan (jamuan) dan mengajak manusia memakannya.

Secara dhahir hadits Jarir telah berlawanan dengan hadits dari ‘Ashim bin Kulaib ini, sedangkan dalam kaidah ushul fiqh mengatakan jika dua dalil bertentangan maka harus dikumpulkan jika dimungkinkan untuk dikumpulkan. [2] Maka, kedua hadits diatas dapat dipadukan yakni hadits Jarir bin Abdullah dibawa atas pengertian jamuan karena menjalankan adat, bukan dengan niat “ith’am ‘anil mayyit (memberikan makan atas nama mayyit/shadaqah untuk mayyit) “ atau hal itu bisa membawa kepada niyahah yang diharamkan, kesedihan yang berlarut-larut dan lain sebagainya. Sedangkan hadits ‘Ashim bin Kulaib dibawa atas pengertian jamuan makan bukan karena menjalankan adat (kebiasaan), melainkan jamuan makan dan berkumpul dengan niat “ith’am ‘anil mayyit” atau pun ikramudl dlayf (memulyakan tamu). Oleh karena itu larangan tersebut tidaklah mutlak, tetapi memiliki qayyid yang menjadi ‘illat hukum tersebut. Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam Tuhfatul Muhtaj mengatakan :

وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس عليه بدعة مكروهة كإجابتهم لذلك لما صح عن جرير كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن

“dan apa yang diadatkan (dibiasakan) daripada keluarga almarhum membuat makanan demi mengajak manusia atasnya maka itu bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh), sebagaimana menerima mereka untuk hal yang demikian berdasarkan hadits shahih dari Jarir “Kami (sahabat) menganggap berkumpul ke (kediaman) keluarga almarhum serta (keluarga almarhum) menghidangkan makanan setelah pemakaman bagian dari niyahah”, dan sisi dianggapnya bagian dari niyahah yakni apa yang terdapat didalamnya daripada berlebihan-lebihan dengan perkara kesedihan”. [3]

Hal ini juga disebutkan oleh al-‘Allamah as-Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi dalam I’anatuth Thalibin. [4] Maka, illat tersebut tidak terdapat pada kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yang dilakukan oleh kaum muslimin yang memang paham mengenai kenduri arwah (tahlilan). Jika tidak ada illat maka hukum makruh pun tidak ada, sebab dalam kaidah syafi’iyah hukum itu meliputi disertakannya illat. [5] Oleh karena itu, berkumpul (berhimpun) yang dimaksud pada hadits Jarir adalah jika bukan karena untuk membaca al-Qur’an, berdo’a dan dzikir-dzikir lain.

CATATAN KAKI :

[1] Sunan Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul Kubrra lil-Baihaqi no. 10825 ; hadits ini shahih ; Misykaatul Mafatih [5942] At-Tabrizi dan Mirqatul Mafatih syarh Misykah al-Mashabih [5942] karangan al-Mulla ‘Alial-Qari, hadits tersebut dikomentari shahih. Lebih jauh lagi, didalam kitab tersebut disebutkan dengan lafadz berikut :

(استقبله داعي امرأته) ، أي: زوجة المتوفى

              “Rasulullah menerima ajakan wanitanya, yakni istri dari yang wafat”.

Dikatakan pula bahwa hadits ini memang bertentangan dengan yang ditetapkan sebelumnya  

(ثم وضع القوم) ، أي أيديهم (فأكلوا) ، هذا الحديث بظاهره يرد على ما قرره أصحاب مذهبنا من أنه يكره اتخاذ الطعام في اليوم الأول أو الثالث، أو بعد الأسبوع كما في البزازية

“(Kemudian sebuah kelompok meletakkan) yakni tangan mereka (kemudian mereka makan), hadits ini (‘Ashim bin Kulaib) berdasarkan dhahirnya bertentangan atas apa yang telah di tetapkan oleh Ashhab madzhab kami yaitu ulama yang memakruhkan menghidangkan makanan pada hari pertama atau ke tiga atau setelah sepekan sebagaimana didalam al-Bazaziyyah”.

Juga terkait hadits ‘Ashim bin Kulaib, dinaqal didalam ‘Aunul Ma’bud [3332] :

 وفي المشكاة داعي امرأته بالإضافة إلى الضمير قال القارىء أي زوجة المتوفى

“dan didalam al-Misykah “ajakan perempuannya” dengan lafadz idlafah kepada dlamir, Mulla ‘Ali al-Qarii berkata : yakni istri dari yang wafat”.

Bariqatul Mahmudiyyah li-Abi Sa’id al-Khadami al-Hanafi [3/205] :

قال في شرحه عن كبير الحلبي «إنه - صلى الله تعالى عليه وسلم - حين رجع من دفن أنصاري استقبله داعي امرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ووضع القوم فأكلوا ورسول الله - صلى الله تعالى عليه وسلم - يلوك أي يمضغ لقمة في فيه» فهذا يدل على إباحة وضع أهل الميت الطعام والدعوة إليه انتهى

“Mushannif berkata didalam syarahnya dari pembesar al-Halabi “sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika kembali dari pemakaman orang Anshar, Rasulullah menerima ajakan wanitanya, maka datang dan dihidangkanlah makanan, kemudian Rasulullah menelatakkan tangannya dan di ikutilah orang rombongan (sahabat), kemudian Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan sesuapan yaitu secabik daging ke mulutnya”. Maka ini menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit menyajikan makanan dan mengundang orang lain kepadanya. Selesai”.

Kemudian juga dijelaskan didalam Hasyiyah ath-Thahthawi ‘alaa Muraqi al-Falaah Syarh Nuur al-Iydlaah [1/617] Ahmad bin Muhammad bin Isma’il ath-Thahthawi al-Hanafi :

عن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فلما رجع استقبله داعي امرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ووضع القوم فأكلوا ورسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك اللقمة في فيه الحديث فهذا يدل على إباحة صنع أهل الميت الطعام والدعوة إليه بل ذكر في البزازية أيضا من كتاب الاستحسان وإن اتخذ طعاما للفقراء كان حسنا اهـ

“... Maka hadits ini (‘Ashim bin Kulaib) menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit menghidangkan makanan dan mengajak manusia padanya bahkan juga di sebutkan didalam al-Bazaziyyah dari kitab al-Ihtihsan “dan jika menghidangkan makanan untuk fuqaraa’ maka itu bagus”. Selesai.

Sebagian ada yang mengatakan bahwa wanita yang dimaksud bukan istri yang wafat namun orang lain. Hal ini disebutkan didalam Mir’atul Mafatih syarh Misykah al-Mashabih [5/481] li-Abi al-Hasan ‘Ubaidillah al-Mubarakfuri dan juga didalam Tuhfatul Ahwadzi [4/67] li-Abi al-‘Allaa Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri.

Selain itu ada hadits lain yang juga menjadi sandaran masalah ini, sebagaimana yang dicantumkan oleh al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (al-Syafi’i) didalam kitab al-Mathalib al-‘Aliyyah bi-Zawaidil Masaanid al-Tsamaniyyah [5/328] pada bab menghidangkan makanan untuk ahl mayyit . Diantaranya beliau menyebutkan riwayat Thawus (penjelasannya telah berlalu) dan riwayat dari Ahmad bin Mani’ berikut ini :

قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه

“Ahmad bin Mani’ berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai ‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib radliyallahu ‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah selengkapnya dalam Manaqib ‘Umar radliyallah ‘anh”.

Riwayat ini, disebutkan juga oleh Syihabuddin Ibnu Utsman al-Bushiri al-Kinani al-Syafi’i didalam Ittihaf al-Khiyarah al-Mihrah bi-Zawaidil Asaanid al-Asyarah [2/507-509] pada Bab al-Ta’ziyah wa Tahyiah Tha’aamin Yub’atsu bihi li-Ahli al-Mayyit :

وَعَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: "كُنْتُ أَسْمَعُ عمر بن الحنطاب- رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- يَقُولُ: لَا يَدْخُلُ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِي بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ. فَلَا أَدْرِي مَا تَأْوِيلُ قَوْلِهِ، حَتَّى طُعِنَ عُمر فأَمر صُهيبًا أَن يُصلِّي بِالنَّاسِ ثلاثَا، وَأَمَرَ بِأَنْ يَجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَامًا، فَلَمَّا رَجَعُوا مِنَ الْجِنَازَةِ جَاءُوا وَقَدْ وُضعت الْمَوَائِدُ فأَمسك النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِي هُمْ فِيهِ، فجاء العباس بن عبد المطلب قال: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، أيها الناس كلوا من هذا الطعام. فمد يده وَمَدَّ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ فَأَكَلُوا، فَعَرَفْتُ تَأْوِيلَ قَوْلِهِ ". رَوَاهُ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ بِسَنَدٍ فِيهِ عَلِيُّ بْنُ زَيْدِ بْنِ جُدْعَا

“Dan dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku mendengar ‘Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali manusia masuk bersamanya. Maka aku tidak maksud dari perkataannya, sampai ‘Umar di tikam kemudian memerintahkan kepada Shuhaib agar shalat bersama manusia dan membuatkan makanan hidangan makan untuk manusia selama tiga hari. Ketika mereka telah kembali dari mengantar jenazah, mereka datang dan sungguh makanan telah dihidangkan namun mereka tidak menyentuhnya karena kesedihan pada diri mereka. Maka datanglah sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata : “wahai manusia, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah wafat, dan kita semua makan dan minum setelahnya, Abu Bakar juga telah wafat dan kita makan serta minum setelahnya, wahai manusia.. makanlah oleh kalian dari makanan ini, maka sayyidina ‘Abbas mengulurkan tanggan (mengambil makanan), diikuti oleh yang lainnya kemudian mereka semua makan. Maka aku (al-Ahnaf) mengetahui maksud dari perkataannya. Ahmad bin Mani telah meriwayatkannya dengan sanad didalamnya yakni ‘Ali bin Zayd bin Jud’an”.

Disebutkan juga Majma’ az-Zawaid wa Manba’ul Fawaid (5/159) lil-Imam Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w. 807 H), dikatakan bahwa Imam ath-Thabrani telah meriwayatkannya, dan didalamnya ada ‘Ali bin Zayd, dan haditsnya hasan serta rijal-rijalnya shahih ; Kanzul ‘Ummal fiy Sunanil Aqwal wa al-Af’al lil-Imam ‘Alauddin ‘Ali al-Qadiriy asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat al-Kubra (4/21) lil-Imam Ibni Sa’ad (w. 230 H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh (1/110) lil-Imam Abu Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H) ; Tarikh Baghdad (14/320) lil-Imam Abu Bakar Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H).

[2] Lihat : at-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh lil-Imam asy-Syairazi [1/153]

[3] Lihat : Tuhfatul Muhtaj lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [3/ 207]

[4] Lihat : I’anathuth Thalibin lil-‘Allamah Asy-Sayyid al-Bakri Syatha [2/165]

[5] Lihat : Kifayatul Akhyar lil-Imam Taqiyuddin al-Hishni [1/526] ; Asnal Mathalib lil-Imam Zakariya al-Anshari [3/105]
 
==================================================================================================

||| KOMENTAR ULAMA YANG MEMAKRUHKAN |||

Adapun jika berkumpul untuk tujuan tersebut, maka itu tidak makruh, sebagaimana telah jelas perkataan Syaikhul Madzhab Syafi’i yakni Imam an-Nawawi rahimahullah :

فرع : لا كراهة في قراءة الجماعة مجتمعين بل هي مستحبة

"Sebuah cabang : tidak dihukumi makruh pada pembacaan Qur’an secara berkumpul (berhimpun) bahkan itu mustahabbah (sunnah)” [1]

Bahkan telah warid didalam hadits Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tentang perkumpulan dzikir ;

لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ، إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ

“Tidaklah sebuah qaum (perkumpulan) duduk berdzikir kepada Allah, melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, mereka diliputi oleh rahmat serta turun atas mereka ketetapan hati”. [2]

Juga sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :

مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوا يَذْكُرُونَ اللهَ، لَا يُرِيدُونَ بِذَلِكَ إِلَّا وَجْهَهُ، إِلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: أَنْ قُومُوا مَغْفُورًا لَكُمْ، قَدْ بُدِّلَتْ سَيِّئَاتُكُمْ حَسَنَاتٍ

“Tidaklah sebuah qaum berkumpul berdzikir kepada Allah, karena mereka tiada menginginkan dengan hal itu kecuali keridlaan Allah, maka malaikat akan menyeru dari langit, bahwa berdirilah kalian dengan pengampunan bagi kalian, sungguh keburukan kalian telah digantikan dengan kebaikan”. [3]

لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah sekelompok orang berkumpul dan berdzikir menyebut Nama-nama Allah kecuali mereka dikelilingi oleh para Malaikat, diliputi rahmat, diturunkan kepada mereka ketenangan, dan Allah sebut mereka di kalangan para Malaikat yang mulia”. [4]

Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman ;

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ

“(Yaitu) orang-orang yang berdzikir kepada Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring” (QS. Ali Imran : 3)

Ayat ini berkorelasi dengan hadits sebelumnya,[5] yakni juga bermakna majelis dzikir. Itu karena frasa “yadzkuruuna atau mereka berdzikir” adalah dengan lafadz jama’. Artinya berdzikir bersama-sama.

Maka dari hal ini, dapat dipahami bahwa dzikir dengan berhimpun adalah lebih utama daripada seorang diri. Berkumpul berdzikir meliputi segala jenis bacaan dzikir serta dimana saja, termasuk juga dimajelis tahlil (kegiatan tahlilan), sebab tidak ada larangan baik al-Qur’an maupun hadits yang melarang berdzikir seperti membaca do’a untuk mayyit, shalawat, membaca al-Qur’an serta dzikir-dzikir lainnya yang dilakukan di kediaman keluarga almarhum.

Bahkan lebih jauh lagi, walaupun membuat jamuan makan karena menjalankan adat tapi jika dalam rangka menghilangkan (menangkis) ocehan orang-orang awam (daf’u alsinatil juhhal) serta untuk menjaga kehormatan dirinya, maka dalam rangka hal tersebut tidak apa-apa, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa. [6]

Oleh karena itu, komentar-komentar ulama yang mengatakan makruh bukanlah dalam pengertian tujuan shadaqah atau “ith’am ‘anil mayyit’”, melainkan disebabkan adanya illat. Seperti misalnya perkataan Imam Ibu Hajar diatas, juga seperti : Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab menukil perkataan ‘ulama lainnya didalam al-Majmu’ :

وأما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضي الله عنه قال " كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة " رواه أحمد بن حنبل وابن ماجه بإسناد صحيح وليس في رواية ابن ماجه بعد دفنه

“Shahibusy Syamil dan yang lainnya berkata ; adapun keluarga almarhum mengurusi (membuat) makanan serta berkumpulnya manusia padanya, maka itu pernah dinukil sesuatu pun tentangnya, dan itu adalah bid’ah ghairu mustahabbah, inilah perkataan shahibusy Syamil. dan istidlal untuk hal ini berdasarkan hadits Jarir bin Abdullah radliyallah ‘anh, ia berkata : “Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah”, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah telah meriwayatkannya dengan sanad yang shahih, namun dalam riwayat Ibnu Majah tidak ada kata “setelah pemakaman mayyit”. [7]

Al-Imam al-Khathib as-Sarbini didalam al-Iqna’ :

وحرم تهيئته لنحو نائحة كنادبة لأنها إعانة على معصية قال ابن الصباغ وغيره أما اصطناع أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فبدعة غير مستحبة

“dan haram menyiapkan makanan untuk semisal wanita-wanita yang merapat (melakukan niyahah) seperti menyebut-menyebut, karena itu sama saja membantu kemaksiatan, Ibnu Ash-Shabbagh dan yang lainnya mengatakan : adapun mengurusi makanana ahlu mayyit dan manusia berkumpul padanya, maka itu bid’ah ghairu mustahibbah”. [8]

Al-‘Allamah Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi dalam I’anathuth Thalibin menyebutkan :

ويكره لأهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت - ولو أجانب - ومعارفهم - وإن لم يكونوا جيرانا - وأقاربه الأباعد - وإن كانوا بغير بلد الميت - أن يصنعوا لأهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الأكل. ويحرم صنعه للنائحة، لأنه إعانة على معصية

“dimakruhkan bagi ahlul mayyit duduk untuk ta’ziyah, menghidangkan makananyang masyarakat berkumpul padanya, telah diriwayatkan oleh Ahmad dari Jarir bin Abdullah al-Bajali, ia berkata ; “kami memandang berkumpul pada keluarga mayyit juga mereka menghidangkan makanan setelah proses pemakaman termasuk bagian dari niyahah”. Disunnahkan bagi tetangga mayyit –walaupun orang lain – dan orang yang mengetahui – walaupun bukan sebagai tetangga – dan kerabat-kerabatnya yang jauh – walaupun berada di negeri yang berbeda dengan mayyit – supaya menghidangkan makanan untuk keluarga mayyit yang mencukupi kebutuhan mareka baik siang maupun malamnya, dan supaya mereka memaksa keluarga mayyit untuk makan, dan diharamkan menyiapkan makanan untuk wanita-wanita yang meratap, karena itu membantu kepada kemaksiatan”.

ويحرم تهيئه للنائحات لأنه إعانة على معصية، وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة - كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن

“dan diharamkan menyiapkan makanan untuk wanita-wanita yang meratap, karena itu membantu kemaksiatan, dan perkara yang diadatkan (dibiasakan) seperti ahlul mayyit membuat makanan untuk mengajak manusia padanya, itu bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh) – seperti menerima mereka untuk yang demikian, karena telah shahih hadits dari Jarir radliyallahu ‘anh : kami memandang berkumpul pada keluarga mayyit juga mereka menghidangkan makanan setelah proses pemakaman termasuk bagian dari niyahah”, dan segi dianggapnya sebagai bagian dari niyahah adalah apa yang ada didalamnya berupa perhatian yang sangat terhadap perkara kesedihan”.

وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك اه

“dan didalam Hasyiyah al-‘Allamah al-Jamal ‘alaa syarhil Minhaj : termasuk bid’a munkarah dan makruh mengerjakannya yakni : perkara yang telah dilakukan manusia berupa al-wahsyah (duka cita), perkumpulan dan empat puluh harian, bahkan semua itu haram jika berasal dari harta yang terlarang, atau dari harta mayyit yang masih memiliki tanggungan hutang atau mengakibatkan terjadinya dlarar atau semisalnya. Selesai”. [9]

Syaikh Ibnu ‘Umar an-Nawawi al-Bantani didalam Nihayatuz Zain :

أما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم كذا في كشف اللثام

“Adapun acara makan-makan yang masyarakat berkumpul disana pada malam hari ketika prosesi pemakaman yang dikenal dengan al-wahsyah (berduka cita) maka itu makruh selama tidak ada harta anak yatim kecuali ada (harta anak yatim) maka itu haram, sebagaimana telah didalam kitab Kasyfu al-Litsam”.[10]

Dan masih banyak yang menjadikan hadits diatas sebagai dalil untuk hal serupa, yang intinya bukan untuk tujuan ith’am ‘anil mayyit’ (shadaqah) ataupun tujuan mulya lainnya, melainkan tujuan-tujuan yang hanya menjalankan kebiasaan semata atau yang lainnya, yang kadang memberatkan (membebani) keluarga almarhum dan melakukannya secara terpaksa hanya karena rasa malu atau sebagainya. Sehingga tentunya, berbeda apabila memberikan makanan itu dengan suka rela (keikhlasan hati), paham maksud dan tujuannya yakni seperti motivasi ingin menshadaqahkan hartanya yang pahalanya untuk mayyit maka ini hukumnya sunnah (mustahab), sedangkan pahalanya sampai dan bermanfaat bagi mayyit berdasarkan nas-nas yang kuat. Adapun orang yang melakukan shadaqah maka terdapat pahala baginya. Hal ini karena terkait dengan hukum shadaqah itu sendiri.

CATATAN KAKI :

[1] Lihat : al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [2/166]

[2] Sunan Abi Daud no. 2347 ; Musnad Ahmad no. 11875 ; Mu’jam Ibnu ‘Asakir no. 684

[3] Musnad Ahmad bin Hanbal no. 12453

[4] Shahih Muslim no. 2700 ; Musnad Ahmad no. 11875

[5] Lihat : Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil lil-Imam al-Baidlawi [2/54]

[6] Lihat : Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubraa lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [2/7]

[7] Lihat : al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [5/320] ; Raudlatuth Thalibin (1/145).

[8] Lihat : al-Iqna’ fi Halli Alfadh Abi Syuja’ [1/210] ; Mughniy Muhtaj al-Khathib As-Syarbini [2/61]

[9] Lihat : I’anatuth Thalibin Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi [5/165] ; Futuhatul Wahab lil-Syaikh Sulaiman al-Jamal [2/216] ; Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umairah [1/414] ; Hasyiyah al-Bujairami ‘ala syarhi al-Minhaj [1/503].

[10] Nihayatuz Zain li-Syaikh Ibnu Umar an-Nawawi al-Bantani asy-Syafii’i..
 
==================================================================================================

||| MEMULYAKAN TAMU |||

Demikian juga jika keluarga almarhum memiliki motivasi lain yakni penghormatan kepada tamu-tamu (ikramudldlayf) yang hadir yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mendo’akan dan membaca al-Qur’an untuk salah satu keluarga yang meninggal dunia. Maka ini terkait dengan hukum memulyakan tamu, dimana Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ  

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah menyakiti tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah serta hari akhir bmaka hormatilah tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah serta hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam (dari ucapakan yang tidak baik)”.[1]
 
CATATAN KAKI :

[1] Shahih Bukhari no. 6018 ; Shahih Muslim no. 47 ; Sunan Abi Daud no. 5154 ; dan lain-lain.

==================================================================================================

||| RINGKASAN : SUPAYA MUDAH MEMAHAMI |||

Haram : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan) dalam tahlilan yang berasal dari harta mayyit yang mayyit masih memiliki tanggungan hutang yang belum diselesaikan ; berasal dari harta anak yatim ; berasal dari harta mayyit sedangkan ahli warisnya bukan orang yang berhak (tidak dibenarkan oleh syariat) untuk mengurus harta mayyit, seperti anak-anak atau seumpamanya ; jamuan berasal dari harta mayyit tanpa ada izin (persetujuan) dari ahli-ahli warisnya ; jamuan diadakan untuk niyahah atau jamuan diberikan kepada wanita yang meratap.

Makruh : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan) didalam tahlilan diadakan untuk menghilangkan kesunyian dan perasaan duka cita samata ; jamuan makan diadakan tanpa ada tujuan apa-apa atau hanya karena mengikuti kebiasaan setempat dan hari hari tertentu dan lain sebagainya.

Mubah bahkan Sunnah : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan) diadakan untuk tujuan mendo’akan (merahmati) yang mati dan memperat shilaturahim, yang mana ini memotivasi diri dan mendorong hati untuk mendo’akan (merahmati) untuk mayyit ; jamuan makan untuk tujuan / niat untuk shadaqah yang pahalanya untuk mayyit, ini hukumnya sunnah (mustahab) dan pahalanya sampai kepada mayyit. Shadaqah tidak selalu berupa jamuan makan melainkan juga bisa dalam bentuk yang lainnya.

Kegiatan yang tidak bertentangan seperti diatas telah diceritakan oleh Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah (salah satu pengarang kitab tafsir Jalalain) sebagai kegiatan yang memang tidak pernah di tinggalkan kaum Muslimin, didalam al-Hawi lil-Fatawi disebutkan :
 

==================================================================================================

||| SEJAK DAHULU KALA DAN TERJADI DI MAKKAH DAN MADINAH |||

Kegiatan yang tidak bertentangan seperti diatas telah diceritakan oleh Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah (salah satu pengarang kitab tafsir Jalalain) sebagai kegiatan yang memang tidak pernah di tinggalkan kaum Muslimin, didalam al-Hawi lil-Fatawi disebutkan :

أن سنة الإطعام سبعة أيام، بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة، فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول

“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasi awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [1]

Ini sekaligus persaksian (saksi mata) adanya kegiatan kenduri 7 hari di Makkah dan Madinah sejak dahulu kala. Hal ini kembali di kisahkan oleh al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis didalam kitab beliau yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni “Kasyful Astaar” dengan menaqal perkataan Imam As-Suyuthi :

أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني و رأيته أنها مستمرة إلى الأن بمكة والمدينة من السنة 1947 م إلى ان رجعت إلى إندونيسيا فى السنة 1958 م. فالظاهر انها لم تترك من الصحابة إلى الأن وأنهم أخذوها خلفاً عن سلف إلى الصدر الإول. اه. وهذا نقلناها من قول السيوطى بتصرفٍ. وقال الإمام الحافظ السيوطى : وشرع الإطعام لإنه قد يكون له ذنب يحتاج ما يكفرها من صدقةٍ ونحوها فكان فى الصدقةِ معونةٌ لهُ على تخفيف الذنوب ليخفف عنه هول السؤل وصعوبة خطاب الملكين وإغلاظهما و انتهارهما.

“Sungguh sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai informasi kepadaku dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima (memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal Islam. Ini saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit perubahan. al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “disyariatkan memberi makan (shadaqah) karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan sebuah penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu sebagai bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat, kebegisannyaa dan gertakannya”. [2]

Istilah 7 hari tersebut adalah berdasarkan riwayat shahih dari Thawus sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [3] Yang mana sebagian ulama mengatakan bahwa riwayat tersebut juga atas taqrir dari Rasulullah, sebagian juga mengatakan hanya dilakukan oleh para sahabat dan tidak sampai pada masa Rasulullah.
 

CATATAN KAKI :

[1] Lihat : al-Hawi al-Fatawi [2/234] lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.

[2] Lihat : Kasyful Astaar lil-‘Allamah al-Jalil Muhammad Nur al-Buqir, beliau merupakan murid dari ulama besar seperti Syaikh Hasan al-Yamani, Syaikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutubi, Syaikh Sayyid Alwi Abbas al-Maliki, Syaikh ‘Ali al-Maghribi al-Maliki, Syaikh Hasan al-Masysyath dan Syaikh Alimuddin Muhammad Yasiin al-Fadani.

[3] Oleh karena itu, keliru jika dikatakan bahwa 7 hari semata-mata di ambil dari budaya hindu hanya karena adanya kemiripan. Mirip tidak berarti bahwa itu sama, bahkan dari segi asasnya pun sudah berbeda. Adapun terkait istilah 14 hari, 20 hari, 40 hari, 100 hari, haul (setahun), 1000 hari dan seterusnya maka itu boleh dengan penentuan hari untuk melakukan kebajikan atau tanpa penentuan hari sebab itu bisa di lakukan kapan saja. Sebab amaliyah tersebut boleh dilakukan kapan saja atau dengan penentuan waktu. Seperti halnya penentuan waktu belajar (menuntut ilmu tertentu) sedangkan menuntut ilmu sendiri merupakan kewajiban, menentukan hari dalam mengkhatamkan al-Qur’an dengan menetapkan semisal satu hari menyelesaikan satu juz atau sejumlah ayat tertentu, ini boleh demi ketertiban (bab tartib), dan lain sebagainya. Demikian juga mendo’akan orang mati dan dzikir-dzikir lain adalah tidak apa-apa (boleh) dilakukan di hari-hari apa saja atau menentukannya sesuai keadaan tertentu apalagi dipandangan sebagai sebuah kemaslahatan dan tidak ada larangannya. Oleh karena itulah, al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy asy-Syafi’i mengatakan ketika mengomentari sebuah hadits al-Bukhari no. 1118 terkait juga penentuan hari, sebagai berikut ;

وفي هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحة والمداومة على ذلك

“Dan didalam hadits ini jalurnya diperselisihkan, yang menunjukkan atas kebolehkan (jaiz) pengkhususan sebagian hari-hari dengan amal-amal shalihah dan berkelanjutan (terus-terusan) melakukannya”.

Dengan demikian, tidaklah masalah menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan amal-amal shalih, dan ini tidak hanya dalam hal tahlilan saja, termasuk kegiatan-kegiatan lainnya selama bukan ibadah mahdlah atau ibadah yang terikat dengan rukun, waktu dan sebagainya seperti shalat fardlu dan lainnya.

Meskipun, seandainya penentuan hari seperti itu bermula dari warisan ajaran hindu, namun hal tersebut telah menjadi kultur budaya masyarakat sehingga pembahasannya pun terkait dengan “al-Adaat”. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dan dai-dai Islam lainnya dengan hanya menggiring dan mengarahkan budaya yang penuh kemusyrikan tersebut ke budaya yang benar sesuai dengan syariat Islam berdasarkan pertimbangan dengan kaidah-kaidah syariat, sehingga yang awalnya (seperti) menyiapkan makanan sesajen untuk roh orang mati dengan menyakini bahwa roh orang mati memakan sesajen tersebut, maka diarahkan agar makanan tersebut sebagai bentuk shadaqah atas nama orang mati yang diberikan kepada orang yang masih hidup, dan orang mati mendapatkan manfaat dengan hal tersebut atas rahmat Allah Ta’alaa, inilah yang tepat menurut syariat Islam. Hal semacam ini tidaklah keluar dari tatanan syariat Islam bahkan sesuai dengan syarit Islam, sebagaimana sebuah kisah ketika digantinya budaya Jahiliyyah yakni melumuri kepala bayi dengan darah hewan sembelihan kemudian diganti dengan melumurinya dengan miyak za’faraan, disebutkan pada sebuah hadits shahih yang tercantum didalam Sunan Abi Daud [2843] dan As-Sunan al-Kubraa lil-Imam al-Baihaqi [9/509] :

عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي بُرَيْدَةَ، يَقُولُ: كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِنَا غُلَامٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا، فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ كُنَّا «نَذْبَحُ شَاةً، وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنُلَطِّخُهُ بِزَعْفَرَانٍ

“Dari ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : aku mendengar Abu Buraidah mengatakan : ketika kami masih di masa Jahiliyyah, apabila seorang bayi di lahirkan pada salah satu dari kami, menyembelih seekor kambing, dan melumuri kepalanya dengan darah kambing sembelihan, maka tatkala Allah mendatangkan Islam, kami tetap menyembelih kambing, memotong rambutnya namun melumuri kepalanya dengan minyak za’faraan”.

Al-Syawkani didalam Nailul Awthar [5/ 16] dan disebutkan juga didalam ‘Aunul Ma’bu [8 33]dikomentari sebagai berikut :

قوله: (ونلطخه بزعفران) فيه دليل على استحباب تلطيخ رأس الصبي بالزعفران أو غيره من الخلوق كما في حديث عائشة المذكور

“Frasa : (dan kami melumurinya dengan minyak za’faraan), padanya merupakan dalil atas disunnahkannya melumuri kepala bayi dengan minyak za’faraan atau yang lainnya sebagaimana didalam hadits ‘Aisyah yang telah disebutkan”.

Lebih jauh lagi, istilah 40 hari pun sebenarnya dikenal dalam sebuah riwayat ‘Ubaid bin ‘Umair. Ini disebutkan didalam Hasyiyah al-Suyuthi ‘alaa Sunan al-Nasaa’i [4/104] karangan Imam al-Suyuthi (w 911 H).

وروى بن جريج في مصنفه عن الحرث بن أبي الحرث عن عبيد بن عمير قال يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا

“Ibnu Juraij meriwayatkan didalam Mushannafnya dari al-Harits bin Abul Harits, dari ‘Ubaid bin Umair, ia berkata : “dua orang mengalami fitnah qubur yaitu orang mukmin dan orang munafiq ; orang mukmin mengalami fitnah qubur selama 7 hari, sedangkan orang munafiq mengalami fitnah qubur selama 40 hari”.

Imam al-Suyuthi juga menyebutkan didalam kitab al-Daibah ‘alaa Shahih Muslim atau dikenal dengan Syarh al-Suyuthi ‘alaa Muslim [2/491] sebagai berikut :

روى أَحْمد بن حَنْبَل فِي الزّهْد وَأَبُو نعيم فِي الْحِلْية عَن طَاوس أَن الْمَوْتَى يفتنون فِي قُبُورهم سبعا فَكَانُوا يستحبون أَن يطعموا عَنْهُم تِلْكَ الْأَيَّام إِسْنَاده صَحِيح وَله حكم الرّفْع وَذكر بن جريج فِي مُصَنفه عَن عبيد بن عُمَيْر أَن الْمُؤمن يفتن سبعا وَالْمُنَافِق أَرْبَعِينَ صباحا وَسَنَده صَحِيح أَيْضا وَذكر بن رَجَب فِي الْقُبُور عَن مُجَاهِد أَن الْأَرْوَاح على الْقُبُور سَبْعَة أَيَّام من يَوْم الدّفن لَا تُفَارِقهُ

“.... sanadnya shahih juga, dan Ibnu Rajab menyebutkan tentang qubur dari Mujahid bahwa ruh-ruh berada diatas qubur selama 7 hari sejak di makamkan serta tidak memisahkannya”.

Wallhu A’lam.

==================================================================================================

Sidoarjo.
*Artikel merupakan sumbangsih dari akhi fillah Nurul Huda al-Junaidy-  Jambi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar