HIKMAH BACAAN WAJIB SAKTAH PADA 4 TEMPAT DALAM AL-QUR'AN
Pada Suroh Ad-Dahr, ayat 15-16 ada dua kata atau lafadz yang sama yaitu :
قَوَارِيرَا @ قَوَارِيرَا..
Tetapi kedua lafadz ini saat diwaqofkan tidaklah sama bunyinya.
Menurut Imam Hafs ibn Sulaiman Al-Mughiroh Al-Kufy, lafadz قواريرا ( Qowaariiroo ) yang pertama apabila diwaqofkan tetap tidak ada perubahan pada bunyi " رَا " ( Roo ) nya, artinya tetap dibaca panjang. Tapi kalau waqof pada pada lafadz " Qowaariiroo " yang kedua maka huruf alif di buang dan huruf Ro' nya disukun, sehingga berbunyi " Qowaariir ". Sebab menurut Imam Hafs berdasarkan riwayat yang mutawatir dari Baginda Nabi SAW bahwa beliau pernah membaca demikian. Dengan demikian dua bacaan yang sama tadi tapi berbeda bunyi ketika diwaqofkan itu sesuai dengan kehendak Alloh SWT.
Sekarang kita ulas. Suroh Ad-Dahr terdiri dari 31 ayat, yang mana 30 ayat darinya diakhiri dengan huruf yang ber fathatain akhirnya, seperti اسيرًا ، شكورًا، تقديرًا dsb. Satu ayat darinya yaitu ayat ke-15 diakhiri dengan alif yang huruf sebelumnya berharokat fathah, yaitu " Qowaariiro " tidak fathatain. Dan 30 ayat yang lain kalau diwaqofkan maka tanwin ( fathatain ) dihilangkan dan bacaan dipanjangkan 2 harokat, maka menjadilah :
Taqdiiron — Taqdiiroo
Asiiron — Asiiroo
Syukuuron — Syukuuroo. dst
Dengan begitu " Qowaariiroo " yang pertama saat waqof yang tidak ada perubahan itu sama dengan akhiran ayat2 sebelum dan sesudahnya ketika diwaqofkan.
Jadi dengan demikian fashilah pada ro'sul ayat bunyi ritme nya akan seragam.
Musykilatul Qur'an, Hal 3,4 dan 5. Karya Ustadz Muhammad Amrulloh Muzayyin dan H. Husein Aziz.
—————
Pada Suroh ke 75, yaitu Al-Qiyamah, ayat 27, kita jumpai lafadz " مَن رَاقٍ / man rooqin " pada ayat ;
(وَقِيلَ مَنْ ۜ رَاقٍ) [Surat Al-Qiyama : 27]
Menurut Imam Hafs ibn Sulaiman Al-Mughiroh Al Kufy, Rowy nya Imam 'Ashim, bahwa lafadz " مَن " ( man ) disini tidak boleh di idghom-kan dengan lafadz " رَاقٍ " ( rooqin ), akan tetapi harus di saktah kan. Padahal menurut kaidah Ilmu Tajwid apabila ada Nun mati bertemu Ro' maka bacaan harus di idghomkan.
Sekarang kita analisa.
Lafadz " مَن ( man ) maknanya =Siapakah.
Lafadz " رَاقٍ ( rooqin ) maknanya = Yang dapat menyembuhkan, atau membersihkan.
Nah, kalau bacaan tadi tidak disaktahkan, maka secara otomatis harus di idghomkan dengan bunyi bacaan " مَرَّاقٍ ( marrooqin ), padahal lafadz " marrooqin " itu maknanya = pembuat / penjual kuah masakan.
Saya sangat kagum atas kejelian dan ke jeniusan para Ulama ahlul Quran dan Qiro'at dalam menjaga ke ontetikan Al-Quran serta kejelian dalam membuka rahasia2 dibalik lafadz agar jauh dari tahrif maupun pengkaburan makna ayat.
Dengan adanya saktah ini semakin jelas makna yang dimaksud ayat tersebut.
————
Pada Suroh Yasin, ayat ke-52, yang berbunyi ;
(قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا ۜ ۗ هَٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ)
Mereka berkata: "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur kami (kubur)?". Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul(Nya).
Pada penggalan ayat " مِن مَرقَدِنَا هَذَا ", menurut Imam Hafs ibn Sulaiman Al -Mughiroh Al Kufy , lafadz " Marqodinaa " harus di-saktah-kan. Kemudian dilanjutkan " Haadzaa ".
Kalau kita perhatikan lagi susunan kalimat sebelum dan sesudahnya,
يا ويلنا من بعثنا من مرقدنا
mempunyai arti " Celakalah kami, siapa yang membangkitkan kami dari kubur kami ", ini adalah ucapan orang kafir.
Kemudian malaikat menjawab ;
هذا ما وعد الرحمن..
yang artinya " Inilah yang dijanjikan Tuhan yang Maha Pemurah..
Nah..kalau bacaan tadi tidak di-saktah-kan pada lafadz " مرقدنا ( marqodinaa ), maka artinya ;" Siapa yang membangkitkan kami dari kubur kami INI. Padahal lafadz " هذا ( ini ) bukan termasuk perkataan orang-orang kafir. Maka dengan adanya saktah pada " marqodinaa " tersebut akan tampak jelas mana perkataan orang2 kafir dan mana jawaban Malaikat.
Dengan adanya saktah ini maka jelaslah pengertian makna ayat sehingga jauh dari pengkaburan arti maupun tahrif.
Selamat menerjuni Dunia Al-Qur'an.
————
Pada Suroh Al-Kahfi ayat 1 dan 2. Menurut Imam Hafs ibn Sulaiman Al-Mughiroh apabila mewasholkan bacaan ayat 1 dan 2 harus ada saktah pada akhir ayat 1 :
(بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا ۜ) [Surat Al-Kahf : 1]
(قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا) [Surat Al-Kahf : 2]
Pada akhir ayat ke-1, lafadz عوجًا dibaca عوجَا ( dengan memanjangkan JA )
Sekarang kita bahas.
Lafadz عوجًا dan قيّمًا ini menurut ilmu nahwu sah menjadi sifat dan mausuf, atau na'at dan man'ut karena sudah memenuhi syarat yang diantaranya adalah sama-sama Mudzakkar, Manshub dan Nakiroh.
Tetapi hakikat kedua lafadz tersebut bukan sifat dan mausuf. Lafadz عِوَجًا menjadi maf'ul bih dan lafadz قَيِّمًا menjadi Hal dari lafadz الكتاب. Nah, agar lafadz قَيِّمًا ini tidak dianggap sifat, maka disaktahkan pada عوجًا . Dengan adanya saktah ini justru menghindari persangkaan lain makna.
Wallohu a'lam bis showab.
boleh saya tau kitab mjusykilatul quran bisa didapat dimana? saya mencari di internet tidak menemukan.
BalasHapus