Kamis, 05 November 2015

Aku, Guruku, dan Mbah Thoyib Wringin Anom

AKU, GURUKU DAN MBAH THOYIB WRINGIN ANOM

Kisah dari pengalaman pribadi ini terjadi sekitar tahun 1999, aku dan kedua temanku dari Batam, malam itu berinisiatif sowan ke pondok Mbah Thoyib Wringin Anom, sosok kharismatik yang terkenal kewaliannya dan merupakan salah satu murid andalan dari Mbah Kyai Sahlan Tholib Sidorangu, Krian-Sidoarjo, sosok waliyulloh yang dikenal sahabat akrab Nabiyulloh Khidir as.
Sebenarnya tidak ada hal yang hendak diutarakan dari keinginan kami bertiga sowan ke Mbah Thoyib, selain sekedar ingin tahu lebih dekat saja seperti apa sosok wali yang terkenal unik ini.

Dan malam itu, jam dinding kamar pondok menunjukkan pukul 21:30. Dari kamar atas terlihat pintu gerbang pondok sudah di tutup oleh kamtib pondok. Melihat kondisi seperti itu, kedua sahabatku hendak mengurungkan niat untuk sowan ke Mbah Thoyib.

" Sudah jam segini, Kang...pintu gerbang sudah ditutup, kita lewat mana.. dan lagian jam segini mana ada angkot jurusan terminal jombang "? Tanya temanku.

" Oh..gampang itu, kita lewat atap genteng Kyai Hasan saja, nanti kalau sudah dekat talang air kita lompat ke halaman rumah Pak Haromain !?" Sahut ku menawarkan solusi. " Masalah ndak ada angkot itu gampang,..kita jalan kaki sampai pertigaan Sambong-Santren, nanti kita naik bis dari arah Kediri langsung Surabaya, Oke !".

"Yo wes, manut sampean wae lah, Kang ". Sahut mereka.

Rumah Kyai Hasan kebetulan berdekatan dengan kamar kami, hanya saja kebetulan posisi kamar kami lebih tinggi dari atap rumah beliau. Beliau adalah menantu Kyai Ahmad Nasrulloh ( keponakan KH Abdul Wahab Hasbulloh, konseptor berdirinya NU ) yang terkenal 'Alim dan waro' , yang konon dalam riyadhohnya sempat ditemui Imam Al-Ghozali dan sempat pula dibacakan kitab Ihya' Ulumiddin sampai khatam oleh Imam Al-Ghozali, begitupun kitab Shohih Bukhori beliau mengalami hal yang sama pula. Dan antara rumah beliau dengan rumah Kyai Nasrulloh ( ayah mertuanya hanya dipisah jalan keluar masuk santri.

Sebenarnya kedua teman saya ragu atas solusi yang saya ajukan. Setelah saya yakinkan bahwa kalau ada apa-apa sayalah yang bertanggung jawab, akhirnya mereka berdua pun bersedia.

Malam itu kami bertiga mengendap-endap merayap diatas genting rumah Kyai Hasan. Kedua temanku sudah sampai duluan diujung talang air dan segera saja melompat kehalaman rumah Pak Haromain. Kini hanya tinggal saya sendiri yang masih ditengah atap, dan tiba-tiba, " kletheekk " salah satu genting retak terinjak diiringi bunyi suara berdehem dari arah bawah. Ya...itu adalah suara dehem khas Kyai Hasan. Antara takut dan khawatir ketahuan, segera sampai diujung talang air saya pun melompat dan lari pontang- panting dengan mereka berdua yang sedari tadi menunggu dengan was-was.

Setelah dirasa cukup aman, sampai depan Musholla Darussalam, kami bertiga berjalan menuju arah pertigaan Sambong, dan tak lama kemudian sebuah bus arah Surabaya menghampiri kami.

Sampai depan Masjid Jamik dekat pasar Krian kami pun turun. Jam tangan menunjukkan pukul 23:00, dan setelah istirahat sejenak, kami bertiga pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju arah Desa Sumengko Kec. Wringin Anom, yang berbatasan antara kota Gresik dan Sidoarjo. Disanalah Mbah Thoyib tinggal.

Sekitar hampir 2 jam kami berjalan, oleh karena angkot jurusan Wringin Anom hanya sampai selepas Maghrib saja beroperasinya. Ada kisah unik yang saya alami, bahwa pertama kali sowan ke Mbah Thoyib dengan paman saya naik angkot tersebut, si sopir hanya narik separuh ongkos dari biasanya kalau tujuan penumpang adalah sowan ke Mbah Thoyib, dan bahkan kadang gratis. Kata para sopir2 itu, kalau ditarik ongkos penuh, maka angkot mereka bakal sepi penumpang dan begitupun sebagaimana yang dialami para tukang becak disana.

Sekitar jam 1 dini hari, kami sudah sampai depan Pondok Beliau. Entah apa nama ponpes beliau waktu itu, yang teringat jelas dibenak kami hanyalah tulisan terpampang jelas dipintu masuk yang bertuliskan " SABAR, AKAS, NERIMAN, LOMAN, TEMEN (bersungguh-sungguh) ". Uniknya, pintu gerbang pondok dibuat mungil sehingga untuk memasukinya harus sedikit merunduk ( mungkin sebagai isyarat ketawadhu'an ) dan hebatnya lagi pondok sebesar itu hanya dibangun selama 40 hari saja selesai. Disebelah pintu gerbang bagian dalam adalah Masjid tempat aktifitas beliau mengajar santri-santrinya, dan malam itu juga sungguh Alloh memberi kesempatan kami bisa menjumpai beliau sedang khusyuk berdzikir di mihrobnya dengan dua orang tamu sedang berdiri tak jauh dari tempat beliau bersimpuh dihadapanNya. Suasana malam waktu itu begitu hening, dan kami bertiga dengan setia menunggu beliau selesai dalam munajatnya.

Tak berapa lama kemudian beliau menoleh kebelakang dan beranjak bangkit menghampiri kami dan tamu tersebut. ( dialog saya terjemahkan dalam bahasa indonesia saja )

Setelah kedua tamu dan kedua teman saya bersalaman, tibalah giliran saya bersalaman dengan beliau, tapi tanpa saya duga tangan saya ditepis oleh beliau seraya bertanya pada tamu tersebut.
" Dari mana ini ?". Tanya beliau. " Dari Bogor, Kyai " sahut mereka. Setelah selesai urusan mereka pun keluar dan tibalah giliran kami.
" Ada apa kemari ?" tanya beliau dengan sorot mata tajam.
" Kami dari TambakBeras Jombang, Kyai..mau minta barokah doa Kyai " . Pada kesempatan itu kembali saya berusaha menyalami tangan beliau, tapi tetap saja ditepis oleh beliau. Saya coba lagi, ditepis lagi, coba lagi ditepis lagi.

Sambil berjalan mengikuti beliau melangkah keluar, beliau memberikan nasehat2nya, dan saya pun tak putus asa agar bisa menyalami beliau, tapi tetap saja ditepisnya. Begitu sampai depan serambi masjid, tiba-tiba beliau membalikkan badan dan menatap saya dengan tajam. Lalu beliau berujar ;

" Kamu tau kenapa saya enggan kamu salami tangan saya ?".
" Maaf Kyai, saya tidak tahu ?" jawab saya gemetar.
" Kamu ini jadi santri kok nakal ( mbeling ) betul, kepala kyai sendiri kok di injak-injak..sudah itu ndak pamitan dulu sama Kyaimu !!". Sahut beliau.
Saya pun tertunduk sambil sesekali melirik kedua teman saya nahan ketawa.
Sejenak beliau diam, sorot matanya yang tajam terus memandangi saya yang kebingungan dan salah tingkah, dalam benak saya berkata " kapan saya nginjak kepala Kyai saya ???", kalau ndak pamitan memang iya "

Tiba-tiba beliau nyeletuk " Masih belum merasa juga !!".

Saya semakin bingung ( maklum saja, orang kalau sedang dimarahi bisa bento mendadak )

Seketika suara beliau terdengar lembut ditelinga saya.
" Jangan diulangi lagi ya..Nih " ( beliau menyodorkan tangannya dan saya ciumi sepuasnya )
" Malam ini sudah larut, kamu tidur sini apa langsung pulang ?" Tanya beliau.

" Insya Alloh kami langsung pulang saja Kyai, sebab besok kami harus sekolah ".

" Ya terserah, kalau kamu pulang sekarang ya harus jalan kaki " Sahut beliau. Setelah mendoakan kami bertiga, kami pun pamit pulang, dan tak lupa saya sempatkan mencium kembali tangan lembutnya. Sembari beliau beranjak keluar masjid, sesekali saya menoleh, ada rasa kekaguman pada sosok beliau, badannya kurus dibalut jubah panjang dengan selendang penutup kepala, agak tinggi perawakannya dan dari raut wajah teduhnya menyiratkan kekhusyukan dalam dhohir batinnya, alis mata beliau hampir menjuntai menutup tepi ujung matanya, dan diusia yang ke 90an tahun itu masih terlihat enerjik dan tongseng kalau orang jawa bilang. Pada kunjungan pertama bersama paman saya dulu saya sempat melihat kamar tidur beliau tepat disamping serambi masjid, kamar seukuran 3x4 itulah rumah sekaligus tempat tidur beliau. Tempat tidurnya jauh dari sederhana, bayangkan saja tempat istirahat beliau itu terbuat dari bambu yang hanya digelari tikar pandan diatasnya, bahkan menurut sebagian muridnya bahwa bambu yang dipakai dipan ruas2 nya tidak dipangkas halus dan terkesan diabiarkan agak bergerigi agar beliau tidak merasa nyenyak dalam tidurnya, sehingga membantunya terus terjaga sepanjang malam.
Menurut cerita seorang warga, bahwa masa mudanya dulu Mbah Thoyib adalah orang kaya raya, namun setelah mengalami pergolakan bathin, Alloh mempertemukannya dengan Hadrotussyaikh Kyai Sahlan Tholib Sidorangu-Krian dan diangkat menjadi murid dengan syarat harus mau meninggalkan semua kekayaannya demi menjalani riyadhoh-riyadhoh yang diperintahkan Kyai Sahlan, dan atas idzin Alloh beliau mampu melewatinya sampai Alloh menjadikannya Ulama besar yang kharismatik.

Dalam perjalanan pulang, teman saya tak henti-hentinya menertawakan sikap saya barusan.
" He, Kang..sampean paham ndak maksud ucapan Mbah Thoyib tadi ?" Tanya seorang teman.
" Ya setelah keluar dari pondok tadi saya baru paham kesalahan saya, sudah ndak idzin Kyai Nasrulloh, eh malah lewat atap rumah Kyai Hasan..mecahin genting rumahnya pula ". Jawab saya sambil menghisap dalam-dalam rokok Gudang Garam Internasional kesukaanku. Sesekali kami tertawa, ya...menertawakan kebodohan dan kenakalan kami.
Asap rokok kami bertiga tampak mengepul lebat diudara, dengan ditemani suara deru kendaraan truk lalu lalang kami bertiga berjalan menuju arah pasar Krian.

* Kurang lebih begitulah sekelumit kisah kenakalan ku dan nasehat2 beliau kepada kami. Kini Beliau sudah tiada, nasehat2 dan isyarat2 beliau sampai sekarang masih membekas dalam hati saya.

Lahumul fatihah..

Danny Ma'shoum


———————

Foto Mbah Kyai Thoyib Sumengko-Wringin Anom

7 komentar: